3. Tanggung Jawab

774 96 4
                                    

Part 3 Tanggung Jawab

Jihan tercengang hebat dengan keberadaan sang sahabat di ambang pintu tuang rawatnya. Masih mengenakan setelan rapi dan dengan dasi pilihannya. Pria itu tak seharusnya ada di sini.

“Apa benar yang baru saja kudengar?” ulang pria itu bertanya.

Tubuh Jihan semakin menegang dengan langkah Sean yang semakin masuk ke dalam ruang rawatnya. Sementara Maura semakin diselimuti ketegangan.

“Kenapa kau di sini?” Suara Jihan diselimuti getaran yang hebat. Bahkan matanya tak sanggup bertatapan dengan pria itu.

“Mama yang memanggilnya,” jawab Maura.

“Sean, kau sudah datang?” Maura melengkungkan seulas senyum menyambut kedatangan pria itu. Kepucatan di wajah Sean sama sekali tak membuatnya curiga, karena pria muda yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri itu juga pasti mencemaskan Jihan sama seperti ia mencemaskan sang putri.

“Ya, Tante. Begitu saya mendengar kalau Jihan di rumah sakit, saya langsung kemari.” Sean berusaha keras menjawab pertanyaan tersebut tanpa lengah dari apa yang baru saja ia dengar. “Apakah benar kalau Jihan …”

“Hamil. Ya.” Maura dengan penuh antusias menyambung pertanyaan Sean menjadi sebuah pernyataan. “Itulah alasan tante ingin berbicara denganmu. Apa kau tahu siapa kekasihnya?”

“Ma?” Jihan berusaha mencegah pembicaraan tersebut. Sean jelas bukan orang yang tepat untuk pembicaraan ini.

“Mama sudah memberimu kesempatan bicara, Jihan. Kau tahu kalau papamu yang bertindak, pria yang menghamilimu tak akan memiliki kesempatan apa pun untuk bertanggung jawab.”

“Pria itu tidak akan bertanggung jawab. Ini sepenuhnya kesalahan Jihan.” Jihan bisa merasakan tatapan Sean yang menusuk sisi wajahnya, tapi ia tak berani membalas tatapan pria itu.

Maura kembali beralih pada Sean. “Sean, apakah kau tahu siapa yang menghamilinya?”

Sean masih membeku, wajah pria itu memucat. Sebelum kemudian memberikan satu anggukan tipis pada Maura.

“Sean?” Jihan memanggil, dengan nada permohonan yang sangat jelas. Sementara Maura seketika tampak antusias dengan anggukan tersebut.

“Siapa dia? Bisakah kau menjelaskan kenapa Jihan tak ingin memberitahu tante tentang rahasia ini sampai ingin pergi keluar negeri dan mengurus masalah ini sendirian.”

Mata Sean melebar. Menatap Maura dan lebih lama pada Jihan. Bercampur kekesalan yang sangat jelas. Yang membuat pandangan perempuan itu mengerjap dengan gugup. Pun begitu, tampaknya Jihan masih bersikeras untuk menyelesaikan permasalahan mereka seorang diri.

“Ma. Bisakah mama keluar sebentar? Jihan ingin bicara dengan Sean.”

“Untuk menyuapnya agar tak membuka mulut pada mama?” sambar Maura semakin kesal. Putrinya memang sekeras kepala itu.

“Hanya lima menit.” Kedua mata Jihan menyiratkan permohonan yang begitu kental. “Jihan mohon, Ma.”

Ujung bibir Sean menipis keras. “Kami membutuhkannya, Tante.”

Hanya untuk sedetik Jihan bernapas lega dengan kalimat Sean, tetapi kelanjutan kalimat pria itu membuatnya tersambar petir. Tanpa melepaskan pandangan darinya, Sean berkata, “Kami butuh membicarakan masa depan anak kami.”

Jihan terkesiap keras, matanya membeliak terkejut, begitu pun dengan Maura. Untuk beberapa detik yang serasa begitu lama, ketiganya diselimuti keheningan. 

“S-sean?”

Sean beralih pada Maura. “Seanlah pria yang tak bertanggung jawab atas masalah ini.”

Maura membekap mulutnya, masih kehilangan kata-kata untuk berkomentar.

“Tidak, Ma.” Jihan menggelengkan kepalanya dengan keras. “Sean berbohong.”

“Maafkan Sean, Tante. Maafkan akan ketidak tahuan Sean sehingga membuat Jihan menderita seperti ini.”

“Ini semua bukan kesalahan Sean, Ma. Dia tak perlu minta maaf. Jihan yang bersalah.”

“Mulai hari ini, Sean akan bertanggung jawab atas anak dalam kandungan Jihan.”

“B-bagaimana semua ini bisa terjadi?” Suara Maura tercekat dengan keras. menatap keduanya bergantian.

“Kau tak perlu berbohong untuk melibatkan diri dalam masalahku, Sean!” Suara Jihan mulai terdengar emosional.

Emosi di wajah Sean seketika berubah dingin. Kepalanya berputar menatap tajam sang sahabat. Ketegasan yang terpancar di kedua bola matanya seketika membuat Jihan merapatkan mulut. “Dua bulan yang lalu, kami pergi ke klub malam bersama ketika kami mabuk dan bangun di kamar hotel yang ada di lantai 18.”

Jihan menggelengkan kepala. Masih berharap Sean akan berhenti berbicara.

“Seharusnya Sean menjaga Jihan malam itu. Tapi …” Kalimat penuh penyesalan Sean terhenti. “Maafkan Sean malah membuat situasi kami menjadi rumit seperti ini.”

*** 

“Keluar negeri?” dengus Sean yang masih diselimuti kedongkolan atas rahasia yang berusaha disembunyikan oleh Jihan. Bahkan wanita itu berniat membawa lari masalah yang sudah ia berikan padanya. “Menyelesaikan masalah sendiri? Seolah kau bisa memutuskan hubungan kita begitu saja, Jihan.”

Jihan menggigit bibir bagian dalamnya. Wajahnya tertunduk dalam ketika membalas kalimat Sean dengan suara yang lirih. “Kita akan melupakannya. Anggap saja semua ini tak pernah terjadi. Bukankah itu yang kau katakan pagi itu.”

“Aku tak mengira hal itu akan menimbulkan masalah seserius ini.”

“Tidak akan. Jika kau tak mengakuinya di depan mamaku.”

“Dan kau akan melarikan diri dengan membawa anakku?”

“Malam itu, sepenuhnya adalah kesalahanku, Sean.”

“Kau membuatku merasa menjadi pria dan sahabat yang paling buruk, Jihan.”

“Aku tidak.” Jihan menggeleng. “A-aku … aku hanya tak ingin menghancurkan kebahagiaanmu. Kau akan menikah dengan Naura, kan?”

Sean mendesah kasar. “Kau pikir aku akan bahagia setelah menghancurkan hidupmu? Setelah mencampakkanmu dan anakku?”

“Kau tidak mencampakkan kami, Sean.”

Mata Sean terpejam, menggusurkan kesepuluh jemarinya di rambut rapinya yang disisir ke belakang.

“Katakan pada mamaku bahwa semua ini kebohongan. Kau mengatakan semua itu karena ingin melindungiku. Mama dan papaku pasti akan percaya jika kau yang mengatakannya.”

Satu helaan kasar keluar dari kedua lubang hidung Sean. Kedua tangan pria itu turun dan saat matanya terbuka, tatapan menusuknya membuat bibir Jihan seketika merapat. “Tidak. Aku tak akan membohongi mereka.”

“S-sean. Kau tak tahu apa yang …”

“Kau yang tak tahu apa yang kau katakan, Jihan,” tandas Sean. Kali ini berhasil membuat Jihan membeku. “Jika kau masih nekat melarikan diri, jangan salahkan aku atas kebencian yang akan kau dapatkan dariku.”

Kedua mata Jihan mulai memanas. Tak berani melepaskan pandangan Sean yang menguncinya.

“Aku akan bicara dengan kedua orang tuaku untuk menemui kedua orang tuamu. Membicarakan pernikahan kita.” Sean sengaja memberi jeda sejenak. Memastikan Jihan mendengarkan dengan seksama. “Sebelum kandunganmu semakin besar.”

Partner In Bed (Married With Bestfriend)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang