Part 18

422 60 10
                                    

“Tadi mama sudah bilang ke Satya kalau hari ini kau tak perlu pergi ke kantor. Mama ingin mengajakmu pergi berbelanja. Kau mau?”

Jihan terdiam, tampak mempertimbangkan. Jika ia tak pergi ka kantor, maka ia tak perlu bertemu dengan Sean. Tapi … di rumah ada Naura dan ia masih belum siap untuk bertemu wanita itu sebagai istri Sean yang harus menghadapi kekasih suaminya yang tengah hamil. 

“Mama menyuruh pelayan menyiapkan wisma tamu yang ada di paling ujung. Memastikan pelayan untuk mengawasinya dan tak sembarangan berkeliling di rumah ini dengan bebas.”

Kalimat Vivian menjawab pertanyaan di batin Jihan. Jihan pun memberikan satu anggukan. Ia memang butuh menjernihkan pikiran dan mama Sean memang selalu tahu apa yang diinginkannya. Ini bukan pertama kalinya mereka pergi berbelanja dan keluar bersama. Sebelum menikah pun mama Sean sering membawanya berbelanja karena semua anaknya laki-laki dan tak tahan jika diajak pergi keluar.

Sepertinya biasa, mereka berkunjung ke butik langganan Vivian. Berjalan-jalan di mall dan makan di restoran. Keduanya bersenang-senang dan Jihan mulai melupakan Sean dan Naura. Saat makan siang, Vivian membawanya ke restoran dan memesan stik seperti biasa. Dan Jihan lupa jika akhir-akhir ini hidungnya menjadi lebih sensitif karena pengaruh kehamilannya.

“Kenapa? Apakah maagmu kambuh?” tanya Vivian melihat Jihan yang tampak mual dan membungkam mulut dengan telapak tangan.

Jihan mengangguk. “Jihan lupa membawa obat.”

Vivian mengambil tasnya. “Tunggu di sini, mama akan mencarikanmu obat di supermarket di bawah.”

“Tidak perlu, Ma.”

Vivian menggeleng. “Tidak. Kau tunggu di sini.”

Jihan tak lagi mencegah karena Vivian sudah berhasil berjalan pergi hanya dalam hitungan detik. Wanita itu tercenung, mendesah pelan dan menatap menu makanan yang ada di hadapannya. Rasa mual itu kembali bergejolak di perut, melompat berdiri ia pun segera memanggil pelayan untuk mengganti menu makananya dengan menu yang lain.

“Jihan?” Tiba-tiba Gavin muncul dan mendekati wanita itu. Bersama seorang wanita paruh baya.

“Ah, Gavin? Kau di sini?”

“Aku mengantar mama berbelanja.” Gavin melihat pelayan yang mengambil menu makanan yang tampak belum disentuh sama sekali. “Ada apa?”

“Ah, hanya maagku yang kambuh.” Jihan tersenyum, dan saat itu pandangannya beralih pada mama Gavin. Melengkungkan senyum lebih lebar.

“Jihan, bukan?” Wanita paruh baya itu mendekat. Menampilkan senyum semringah dan mengamati lekat-lekat penampilan Jihan dari atas ke bawah. “Kau terlihat lebih cantik dari di foto yang ditunjukkan Gavin.”

Jihan tersipu, melirik ke arah Gavin yang hanya mengedikkan bahu. “Terima kasih, Tante.”

“Tante?” Sofia mengerutkan kening tak suka dengan panggilan tersebut. Maju satu langkah dan meraih tangan Jihan. Membeliak dengan cincin berlian yang melingkari jari manis Jihan. “Bukankah Gavin sudah melamarmu? Kalian sudah bertunangan, kan?”

Jihan membeku, menatap cincin pernikahannya dan Sean lalu melirik ke arah Gavin. Tatapan pria itu penuh sesal dan mulutnya bergerak tanpa suara, ‘Akan kujelaskan nanti.’.

Jihan hanya tersenyum. Sofia merangkum wajahnya dan tak berhenti melantunkan pujian. Yang makin lama malah membuat Jihan merasa tak nyaman. Pun begitu, ketika sekali lagi ia menatap wajah Gavin, kedua matanya berhenti pada lebam yang ada di hidung pria itu.  Juga sudut bibir Gavin yang tampak robek dengan luka yang sudah mengering.

Keningnya berkerut penuh tanya. Tetapi pria itu berpaling dan tanpa sengaja pandangannya menangkap kedatangan mama Sean yang berjalan memasuki restoran. Wajah keduanya membeku, Gavin dengan cepat membawa sang pergi.

“Tapi mama masih ingin mengobrol dengan calon menantu mama, Gavin.”

“Jihan sedang menunggu seseorang, Ma. Gavin tidak enak jika membuatnya berada dalam kesulitan. Sekarang dia sedang bekerja, mama tahu dia orang yang sibuk, kan. Kapan-kapan kami akan bicara untuk pertemuan keluarga yang mama inginkan.”

Jihan masih sempat mendengar percakapan Gavin dan Sofia yang masih beberapa kali menengok ke belakang untuk melihatnya. Ada rasa bersalah yang merayap ke dalam hatinya, tetapi ia segera menepisnya. Dan beruntung Gavin dan Sofia sudah menghilang di pintu keluar restoran tepat sebelum Vivian datang.

“Ke mana semua makanannya?” Vivian melihat meja yang sudah kosong dengan plastik putih di tangan kanan.

“Jihan ingin mengganti pesanannya. Tidak apa-apakah?”

Vivian mengangguk paham. “Ya, tentu saja. Tubuhmu yang lebih penting. Dan ini obatmu. Kau sudah pesan yang lainnya?”

Jihan mengambil plastik obat yang diulurkan Vivian dan menggeleng. Kembali mengangkat tangan dan memanggil pelayan.

*** 

Jihan dan Vivian pulang ketika jam sudah hampir menunjukkan jam empat sore. Vivian menyuruh pelayan membawa semua kantong belanjaan ke kamar Sean dan Jihan setelah ia mengambil kantong miliknya sendiri yang hanya ada tiga.

Vivian langsung ke kamar dan Jihan ke lantai dua. Wanita itu baru saja melepaskan sepatu dan meletakkan tasnya ketika pintu kamar diketuk. Ia pikir pelayan yang akan membawakannya jus dan menyuruhnya masuk, tetapi Nauralah yang berjalan masuk dengan segelas jus di tangan wanita itu.

“N-naura?” Jihan menegakkan punggungnya, menatap Naura yang mendekat dan meletakkan jus tersebut di hadapan Jihan.

“Sekalian ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Naura menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

“Jadi seperti ini ruang tidur Sean?” Wanita itu mengamati seluruh ruang tidur Sean yang luas, empat kali lipat dari luas kamar tamu yang ia tempati saat ini. Dengan fasilitas yang lengkap dan perabot yang mewah. Tak hanya kamar mandi dengan bath up, ada juga meja rias yang dipenuhi peralatan make up dan perawatan milik Jihan yang jauh lebih baik dari miliknya dan ia yakin harganya juga tidak murah. Juga ada ruang ganti, dengan koleksi pakaian-pakaian, tas, sepatu, dan perhiasan Jihan yang bahkan lebih mendominasi ruang ganti yang luas tersebut dibandingkan barang-barang milik Sean sendiri. Dan semua itu seharusnya adalah miliknya.

“Apakah semua ini mama Sean yang membelikannya untukmu?” Naura berhenti di sofa, tempat kantong-kantong belanjaan diletakkan pelayan di sana.

Kedua alis Jihan saling bertaut tak mengerti. Bukan pada pertanyaannya, tetapi dengan nada sinis yang sengaja diselipkan oleh Naura.

“Menggunakan uang Sean?”

Jihan semakin dibuat terheran hingga tak bisa menjawab pertanyaan Naura. Melihat tangan Naura yang merogoh kantong terdekat, mengeluarkan baju di dalamnya dan kembali memasukkannya dengan setengah melempar.

“Selera mama Sean memang bagus.”

“Apa yang kau inginkan, Naura?”

Naura menoleh, menatap Jihan lalu berjalan ke hadapan wanita itu. “Sepertinya kau sudah terlalu mendalami peranmu sebagai suami Sean, ya?”

“Apa maksudmu?”

“Jadi kapan kalian akan bercerai?” Ekspresi di wajah Naura berubah dingin. “Bukankah anak kalian sudah tidak ada? Sekarang saat yang tepat untuk mengembalikan poisiku, kan? Sekarang aku yang mengandung anak Sean.”

***
Di Karyakarsa sudah mau ending, ya  Jangan sampai ketinggalan

Partner In Bed (Married With Bestfriend)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang