2. Sang Sahabat

903 109 4
                                    

Part 2 Sang Sahabat

Tangan Jihan bergetar hebat. Menjatuhkan testpack di tangannya ke lantai, bersamaan tubuh lemasnya yang ambruk di samping benda kecil tersebut, yang berhasil mengguncang dunianya.

Positif?

Apa yang harus dilakukannya?

Air mata Jihan merebak, membekap mulutnya yang mulai terisak. Ingatannya berputar, pada pagi itu.

Tidak mungkin!

Ia tak mungkin hamil. Mereka hanya melakukannya pada malam itu. Dan itu adalah ketidak sengajaan. Hanya sebuah kesalahan. Karena ia minum terlalu banyak.

Sudah dua hari ini, tubuhnya benar-benar lemah dan seluruh tenaganya terkuras habis setiap kali muntah. Semua makanan yang berhasil masuk ke mulutnya selalu berakhir di lubang toilet dan ia pikir semua itu karena maag. Tapi ketika teringat tamu bulanannya yang tak kunjung datang, sejak kejadian malam itu. Ia memberanikan diri untuk melakukan tes kehamilan. Dan benar saja, kecurigaan yang sangat ingin disangkalnya benar-benar menjadi kenyataan.

“Kau sudah menghancurkan kepercayaan yang sudah mama dan papa berikan saat kau memutuskan hidup mandiri. Jadi latakan siapa yang menghamilimu?”

Jihan tak menjawab. Wajahnya tertunduk semakin dalam.

“Kita akan melupakannya. Anggap saja semua ini tak pernah terjadi. Tadi malam benar-benar acara yang kacau.”

Matanya terpejam oleh kata-kata yang diucapkan pria itu saat pagi hari. Dengan tubuh keduanya yang telanjang di balik selimut.

“Kau tak mungkin hamil tanpa berhubungan dengan seorang pria, Jihan.” Maura mulai frutrasi atas kebungkaman putri sulungnya tersebut. “Katakan siapa yang menghamilimu?”

Jihan tetap merapatkan mulutnya. Penyangkalan malah membuat sang mama semakin yakin testpack tersebut miliknya.

“Kekasihmu?” Maura tak menyerah untuk mendapatkan jawaban dari sang putri. Duduk di samping Jihan dan membawa kedua tangan sang putri ke dalam genggamannya. “Sean bilang kau memiliki seorang kekasih. Kau bahkan tak ingin memperkenalkannya pada mama. Jika memang hubungan kalian seserius ini, kenapa …”

Mata Jihan seketika terangkat, matanya membeliak terkejut dan menggeleng dengan cepat. “Tidak, Ma. Bukan dia.”

“Lalu siapa?”

Jihan menggeleng lagi

“Kau tak tahu?”

Kepala Jihan kembali menggeleng.

“Apa maksudnya ini, sayang?” Maura sukses dibuat frustrasi, pun begitu tetap mempertahankan kesabarannya yang hanya setipis tisu.

“Jihan akan mengurusnya, Ma.”

“Mengurusnya?” Mata Maura membulat sempurna. “Bagaimana cara kau mengurus kehamilan tanpa seorang laki-laki, hah? Kau pikir mudah merawat seorang bayi?”

Jihan tak tahu, tapi ia akan segera menemukan jalan keluarnya.

“Kau tak tahu apa yang kau katakan, Jihan. Kau bahkan tak ingin mengatakan siapa yang menghamilimu. Jika papamu tahu…”

“Tidak, Ma.” Jihan meraih tangan sang mama dan menggenggamnya. “Jihan mohon sembunyikan hal ini dari papa. Jihan tidak ingin …”

“Kalau begitu katakan siapa pria itu,” potong Maura. “Kau tak mungkin menyembunyikan kehamilan, Jihan. Cepat atau lambat semua orang akan tahu. Perutmu akna membesar. Tapi setidaknya kita bisa menyembunyikan dengan sebuah pernikahan.”

Mata Jihan membulat sempurna. Tubuhnya melompat berdiri, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Jihan tak bisa menikah dengannya, Ma.”

“Apa?”

Jihan menggeleng-gelengkan kepala dengan cepat, mengabaikan pusing yang semakin menusuk. Tangannya terangkat, meremas rambut di kepala. Ikut frustrasi dengan desakan sang mama. Dan emosi yang mendesak dadanya hingga membuatnya sesak.

“Jihan tak ingin dia tahu.”

“Kenapa? Berikan mama alasan yang masuk akal.”

Mata Jihan mulai memanas, air mata merembes dari ujung matanya. “J-jihan ingin keluar negeri. Mama bisa membantu Jihan, kan?”

Maura terdiam, menatap permohonan di wajah sang putri yang tak bisa ia abaikan begitu saja.

“Jihan mohon, Ma.” Jihan bersimpuh di depan sang mama. Membawa kedua tangan Maura ke dalam genggamannya. Isakannya semakin menjadi dan air mata membanjiri seluruh permukaan wajahnya. “Sekali ini. Hanya sekali ini

Jihan meminta tolong pada …”

Kalimat Jihan tak sempat terselesaikan. Kesadaran perlahan terangkat dan tubuhnya ditangkap sang mama sebelum jatuh ke lantai.

“Jihan?!”

***

Pusing di kepalanya masih terasa menusuk saat perlahan kesadaran Jihan telah kembali. Pandangannya mulai jernih ketika ingatan terakhir kembali berputar di kepalanya. Testpack dan desakan sang mama.

Gorden putih yang mengelilingi ranjangnya dan bau antiseptik yang familiar. Lagi-lagi mamanya membawanya ke rumah sakit hanya karena ia pingsan.

“Kau sudah bangun?” Maura muncul dari balik gorden. Matanya melotot sempurna melihat Jihan yang hendak turun dari ranjang, tapi tertahan selang infus dan berniat melepaskan jarum infus dari punggung tangan kiri. “Apa yang kau lakukan, Jihan?”

“Jihan ingin pulang, Ma? Kenapa mama membawa Jihan ke tempat ini.”

“Kau harus menghabiskan infusmu.” Maura memukul tangan kanan Jihan yang masih berusaha melepaskan jarum infus. Lalu menaikkan kembali kedua kaki sang putri ke atas ranjang pasien. “Sebentar lagi perawat akan memindahkanmu ke ruang rawat.”

“Ruang rawat?” Lagi, Maura selalu berhasil mengejutkan Jihan. “Jihan hanya pingsan, Ma. Kenapa harus …”

“Anemia, kurang gizi, dan maagmu kambuh. Apakah itu belum cukup untuk menyiksa tubuhmu sendiri dan bayimu?”

Jihan berhasil dibuat terbungkam. Dan ia tak berkutik ketika dua orang perawat datang untuk memindahkannya ke ruang rawat.

Ia memang memiliki maag. Tapi anemia dan kurang gizi? Bagaimana mungkin tubuhnya seburuk itu?

“Bagaimana jika papa tahu, Ma?” gerutu Jihan saat perawat baru saja keluar dan mengatakan dokter akan memeriksa.

Maura tak langsung menjawab. Menatap wajah pucat sang putri dengan iba. Menguatkan hati sebelum menjawab, “Mama tak bisa membiarkanmu pergi keluar negeri.”

“Apa?”

“Keluar dari rumah saja kau sudah seperti ini. Kaupikir apa yang akan terjadi jika kau di luar negeri? Siapa yang akan menolongmu jika kau tiba-tiba pingsan seperti ini, hah?”

“T-tapi, Ma …”

“Tidak ada tapi. Sebelum papamu datang dan mencari tahu sendiri siapa pria yang menghamilimu, sebaiknya kau beritahu mama lebih dulu.”

Jihan menggeleng, masih bertahan dengan kekeras kepalaannya. “Jihan tidak bisa, Ma.”

Maura mengembuskan napas panjangnya. Entah bagaimana kesabarannya masih bertahan menghadapi ketololan sang putri. “Memangnya apa yang dijanjikan pria tak bertanggung jawab yang menghamilimu sehingga kau melindunginya seperti ini, hah?”

“Jihan hanya tidak bisa mengatakannya.”

“Kenapa?!”

Jihan menggeleng.

Desahan napas Maura kali ini lebih keras. “Kalau begitu mama akan gunakan cara mama.”

“Cara mama?”

“Kau hamil?” Suara pria yang tiba-tiba menyela di tengah pembicaraan tersebut membuat seluruh tubuh Jihan membeku. Suara familiar itu? Kepalanya berputar dengan perlahan ke arah pintu. Terkejut setengah mati menemukan sang sahabat yang berdiri tak kalah tercengangnya dengan dirinya.

“S-sean?”

Partner In Bed (Married With Bestfriend)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang