1. Positif

2.7K 161 3
                                    

Part 1 Positif

“Mama?” Jihan terkejut dengan keberadaan sang mamalah yang berdiri di depan pintu apartemennya. Begitu pun sang mama yang terkejut menemukan wajah pucatnya.

“Kau sakit?” Kedua tangan Maura merangkum wajah kurus sang putri. Senyum ceria yang sudah terpasang apik untuk menyapa Jihan seketika berubah menjadi kepanikan. “Kenapa wajahmu pucat tampak kurus? Kapan terakhir kali kau makan nasi, Jihan?”

Jihan menurunkan tangan Maura, membalikkan badan dan duduk di sofa. “Kenapa mama tidak bilang kalau akan datang ke sini?”

Maura duduk di samping sang putri, dengan kecemasan yang semakin pekat akan suara lemas Jihan. “Kau tidak mengangkat panggilan mama. Dan mama yakin hanya panggilan dari mama dan papa.”

“Itu karena kalian tak berhenti mencemaskanku. Jihan sudah besar, Ma. Jihan bekerja dengan baik …”

“Dan karirmu berkembang dengan baik,” lanjut Maura dengan nada bosan. “Sean yang bilang.”

Jihan membeku sejenak. Sepintas emosi melintasi wajahnya.

“Dia menjagamu dengan baik.”

Jihan tak mengatakan apa pun. “Selain mengkhawatirkanku, apakah ada alasan lain mama datang ke sini?”

Maura mengangguk. “Sebentar lagi sopir akan naik untuk mengisi kulkasmu.”

Jihan menghela napas panjang. Membaringkan tubuhnya di sofa. Kepalanya kembali pusing dan ingin kembali tidur.

“Setelah menemui kliennya, papamu juga akan datang. Kita  makan malam bersama.”

“Kenapa harus di apartemen Jihan? Jihan berencana tidur lebih cepat, Ma.”

“Sean bilang kau mengambil cuti liburmu dua hari. Hanya untuk tidur?”

Jihan tak membalas. Matanya terpejam. Merasakan mamanya yang beranjak dari sampingnya ketika bel apartemen kembali berbunyi. Sopir sang mama melangkah masuk dengan kantung belanjaan memenuhi kedua tangan. Persediaan stok makanan untuk sebulan, meski sang mama bersikeras semua itu harus habis dalam seminggu. Menyusul pelayan di rumahnya yang akan membantu menyiapkan makan malam.

Sepertinya malam ini ia tidak akan tidur cepat. Terutama jika sang mama tiba-tiba berniat bermalam.

“Letakkan di sana.”

Jihan sempat mendengar suara Maura sebelum ia benar-benar tertidur. Tapi … baru saja ia terlelap. Ponselnya di meja bergetar pelan. Getaran yang dipasang khusus untuk Gavin.

Matanya terbuka, tak benar-benar berniat membaca pesan dari sang kekasih tetapi notifikasi yang muncul membuatnya terpaksa bangun terduduk.

‘Aku di lobi. Bisakah kau turun sebentar?’

Terkesiap kaget, Jihan lekas beranjak dari sofa. Menatap sang mama yang mulai membongkar isi kantong.

“Ma, Jihan turun sebentar.”

“Apa? Ke mana?”

Tanpa menjawab pertanyaan sang mama, Jihan berlari menuju pintu. Kegugupan membuat seluruh tubuhnya bergetar. Kedua tangan saling meremas. Menunggu angka di atas pintu lift yang bergerak semakin turun dengan jantung berdegup kencang.

Bagaimana ia harus mengatakannya pada Gavin? Ia tak siap harus kehilangan pria itu.

“Jihan?” Panggilan dengan suara lembut dan penuh keceriaan tersebut menyentakkan Jihan dari lamunannya.

“Gavin?” Jihan melangkah keluar, menghampiri sang kekasih yang menunggu di depan pintu lift. Kedua tangan Gavin terbuka, menarik tubuhnya ke dalam pelukan pria itu.

“Kupikir kau tak membaca pesanku, jadi aku berniat naik ke atas.”

Jihan memaksa kedua ujung bibirnya melengkung. Merasakan telapak tangan Gavin yang mengusap ujung kepalanya. “Kenapa tiba-tiba ke sini?”

“Memangnya ada alasan lain selain merindukanmu?” Tawa Gavin, menjawil ujung hidung Jihan dengan gemas. “Aku sedang ada pertemuan di sekitar sini. Jadi aku singgah sebentar karena harus segera kembali ke kantor.”

Hati Jihan serasa tertendang. Cinta dan kerinduan yang berbinar di kedua mata Gavin begitu besar. Membuatnya kehilangan kata-kata untuk membalas. Mengingat garis dua di testpacknya terasa meremas dadanya.

“Dan aku membawakan ini.” Gavin mengeluarkan sekotak coklat kecil dari dalam saku jasnya. Yang sejenak melupakan kegelisahan Jihan. Keduanya berbincang sebentar, Jihan kembali naik. Menatap nanar kotak coklat di tangannya. Dengan hati yang tersayat perih.

Ponselnya kembali bergetar ketika baru keluar dari dalam lift.

Dua pesan gambar. Dari Sean.

“Kau suka yang pertama atau kedua?”

Jihan menelan ludahnya. Mengamati gambar pertama dan kedua.

“Kenapa kau selalu memberiku hadiah dasi yang bagus. Meski aku terlihat tampan dengan kedua pilihan, aku tak mungkin menggunakan kedua dasi itu bersamaan. Ini hari yang penting.”

Pesan kedua membuat ujung bibirnya tersenyum tipis. Sembari mengetikkan balasan untuk sang sahabat. “Hitung saja kancing kemejamu.”

“Itu masalahnya. Aku mulai menghitung dengan biru, jawabannya merah, dan aku mulai dari merah, jawabannya biru.”

“Aku suka biru. Seperti warna matamu.”

“Oke. Biru. Terima kasih. I love you forever my bestfriend. Jangan lupa doakan, malam ini semuanya berjalan dengan lancar.”

Kening Jihan berkerut. “Apakah ini hari penting?”

“Kau lupa? Aku tak percaya kau melupakannya, Jihan.”

Kerutan di kening Jihan menukik semakin dalam. Mencoba mengingat. “Maaf, akhir-akhir ini pikiranku kacau.”

Baru saja Jihan menekan tombol kirim, pesan Sean kembali masuk.

“Malam ini aku akan melamar Naura. Aku akan melupakan kesalahanmu, karena aku sedang bahagia.”

Langkah Jihan seketika terhenti. Tangannya yang sudah memegang pegangan pintu membeku. Wajahnya memucat membaca pesan tersebut. Seketika teringat rencana lamaran yang selalu dibicarakan oleh Sean sepanjang minggu ini. 

Bagaimana mungkin ia melupakan lamaran yang sudah dipersiapkan Sean dalam sebulan ini?

Dirinya bahkan ikut andil dalam kemantapan sang sahabat yang berniat menikahi Naura.

Lama ia hanya tercenung di depan pintu apartemennya. Satu hal yang pasti, ia tak mungkin menghancurkan kebahagiaan Sean.  Rahasia ini harus ia pendam rapat-rapat.

Baru saja ia meyakinkan dirinya sendiri untuk menyelesaikan permasalahan ini seorang diri. Ketika ia baru saja masuk ke dalam apartemen, mamanya sudah berdiri di depan pintu. Seolah telah menunggu kedatangannya.

“Mama?” Kening Jihan berkerut terheran dengan wajah serius sang mama. Saking seriusnya hingga membuat Jihan mulai panik. “Ada apa, Ma?”

“Kau bertanya ada apa pada mama?” Maura bersikeras mempertahankan ketenangannya ketika menunjukkan testpack di telapak tangannya. “Kaulah yang seharusnya menjelaskan ini pada mama.”

Wajah Jihan memucat, baru teringat testpacknya yang ia buang di tempat sampah.

“Mama menemukannya di tempat sampah kamar mandimu. Apakah ini milikmu?

Partner In Bed (Married With Bestfriend)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang