Part 9 Terpergok Sang Mama
“Apa?” Wajah Jihan seketika terdongak dan tersentak dengan keras. Kedua matanya membeliak lebar, tak percaya dengan kata-kata yang sanggup keluar dari mulut Sean akan sekejam itu.
“Kau tak ingin menjadi alasanku untuk mencampakkan Naura dan penyesalanku di masa depan, kan?”
Rahang Jihan seketika merapat.
“Jika tidak ada anak itu, aku tak punya alasan untuk mengakhiri hubunganku dan Naura.”
Jihan menggigit bibir bagian dalamnya. Rasa panas merebak di kedua bola matanya. Kata-kata menyakitkan Sean memang disengaja untuk menyakiti perasaannya. Sekaligus memperburuk perasaan pria itu.
“Kau tahu aku tak pernah ragu mengambil keputusan apa pun dalam hidupku, Jihan. Jika itu yang kau cemaskan.” Napas Sean naik turun dengan keras. “Lalu bagaimana denganmu? Jika kau memang begitu takut kehilangan Gavin, seharusnya kau menggugurkannya sebelum ini semua terbongkar!”
Jihan tercengang dengan keras, bibirnya membekukan, seketika kehilangan kata-kata menatap kemarahan yang memekati wajah Sean.
“Pergi keluar negeri?” dengus Sean mengecek. “Bukankah itu artinya kau juga sudah siap kehilangan Gavin?!”
Genangan air mata di kedua ujung mata Jihan seketika meleleh. Tak tahan dengan tahapan tajam Sean yang semakin menusuk kedua matanya, Johan membuang wajahnya ke samping.
Beberapa saat Sean hanya menatap sisi wajah Jihan. Menangkap kesedihan yang begitu pekat di sana yang membuat perasaannya semakin buruk. Menyakiti perasaan wanita itu adalah hal terakhir yang harus dilakukannya.
Sean masuk ke dalam kamar dan keluar tak lama kemudian dengan sebuah jaket di tangan. Menyeberangi ruangan tanpa menoleh ke arah Jihan yang duduk tertegun di sofa menuju pintu.
Jihan tetap bergeming di tempatnya. Menyeka air mata dengan punggung tangan. Telapak tangannya menyentuh perutnya yang masih rata. Bersama rasa sakit yang mengiris hatinya. Menghancurkan perasaannya hanya dengan membayangkan kata-kata kasar Sean.
Bagaimana mungkin ia menggugurkan anak yang tidak berdosa ini?
Tak seharusnya mereka membuat janin tak berdaya ini untuk bertanggung jawab atas kesalahan mereka, kan?
***
Suara bel apartemen yang terdengar membangunkan Jihan yang baru saja terlelap dalam tidurnya. Berusaha menepis rasa kantuk yang masih begitu pekat, wanita itu bangun terduduk. Menatap jam di dinding yang sudah menunjukkan jam tiga pagi. Sisi ranjangnya masih kosong, artinya Seanlah yang menekan bel. Tapi … bukankah pria itu tahu passwordnya sekaligus memegang kartu akses?
Suara bel yang kembali terdengar seolah ditekan dengan tak sabaran mengalihkan Jihan dari keheranannya. Gegas wanita itu beranjak keluar dan membukakan pintu.
“Kenapa kau lama sekali?” sergah Naura dengan kekesalan. Kedua matanya membulat tajam pada Jihan. Yang malah sibuk mengamati Sean. “Apalagi yang kau tunggu, cepat minggir!”
Jihan tersentak dari kecemasan yang memenuhi dadanya. Melihat Sean yang tampak berantakan bersandar di tubuh Naura. Tampak kehilangan kesadaran karena mabuk. Tangannya sudah terulur, hendak membantu Naura membopong Sean. Tapi …
“Jangan menyentuhnya, Jihan!” larang Naura sebelum Jihan bergerak lebih mendekat. Suaranya dingin dan tatapannya penuh kesinisan. “Aku bisa mengurus kekasihku sendiri.”
Jihan membeku. Pundaknya ditabrak oleh Naura yang berjalan masuk. Membopong Sean sendirian. Meski tampak kesulitan, Naura jelas memilih menahan seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Partner In Bed (Married With Bestfriend)
RomanceKesalahan satu malam membuat Jihan dan Sean yang sebelumnya terikat sebuah persahabatan harus terjebak dalam sebuah pernikahan. Sementara masing-masing sudah memiliki kekasih.