7. Satu Atap

630 102 10
                                    

Part 7 Satu Atap

Sean langsung naik ke unit Jihan begitu memarkirkan mobilnya di basement. Menekan deretan password yang sudah dihafalnya di luar kepala dan langsung masuk ke dalam. Langkahnya sempat terhenti ketika melihat botol anggur dan dua gelas yang ada di meja. Kunci mobil, dasi dan jas yang sudah ia kenali pemiliknya.

Ruangan begitu sunyi, tak ada Gavin maupun Jihan di ruang tamu dan pantry. Satu-satunya ruangan yang tertutup adalah kamar Jihan, yang pintunya tertutup rapat.

Kaki Sean bergerak menuju pintu kamar tersebut, tangannya mencengkeram kuat gagang pintu dan mendorongnya kuat. Emosi memekati wajahnya ketika pandangannya beredar ke seluruh ruangan dan berhenti di tempat tidur. Tetapi pasangan tersebut juga tidak ada di sana.

“G-gavin, bisakah …”

Suara Jihan dari arah pintu kamar mandi yang setengah terbuka membekukan pandangannya. Menatap Gavin yang memeluk mesra Jihan dari arah belakang. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Jihan dan Gavin bermesraan sebagai pasangan. Tapi saat itu Jihan bukan istrinya. Kenapa sebuah pernikahan menjadi  berpengaruh seperti ini dalam waktu begitu singkat dan tiba-tiba. 

“Sean?” Gavin menyadari keberadaannya. Melengkungkan senyum lebar untuk menyambut pria itu. Tanpa melepaskan lengan dari pinggang Jihan. “Kau juga di sini?”

Jihan menggeliat tak nyaman, memutar tubuh dan menghadap Gavin. Berusaha memberi jarak di antara tubuh mereka. “Aku lupa. Aku memanggilnya.”

Gavin menelengkan kepalanya ke samping.

“Ehm, aku ingin menitipkan sesuatu pada kak Satya.” Jihan lekas membuang wajah begitu kebohongan tersebut keluar dari mulutnya. Entah berapa banyak lagi kebohongan yang akan ia katakan, selama ia belum memberitahu Gavin tentang kehamilan dan pernikahannya, kebohongan itu akan terus menumpuk.

“Tunggu sebentar.” Jihan melepaskan lengan Gavin dan berjalan keluar dengan langkah terburu. Menyeberangi ruangan dan menangkap lengan Sean. Membawa pria itu ke ruang kerjanya.

“Kau minum?”cecar Sean begitu Jihan menutup pintu di belakangnya. “Apa kau sudah gila? Kau sedang hamil, Jihan.”

Jihan seketika maju ke depan, menutup mulut Sean dengan telapak tangannya. “Shh, jangan keras-kerasnya, Sean,” bisiknya dengan panik. “Kau pikir aku tak ingat kalau sedang hamil,” deliknya kesal

Sean menurunkan tangan Jihan. “Apa kau belum memberitahunya?”

Kepanikan Jihan berubah menjadi kemuramam. Mundur satu langkah dari priq itu. “A-aku tak tahu bagaimana harus memulainya, Sean.”

Sean mendengus. “Apakah perlu aku yang membantumu, seperti kau membantuku di depan Naura.”

Jihan terdiam, menatap wajah gusar Sean. “Kau marah?”

“Kau memiliki keberanian yang besar untuk memberitahu Naura. Kenapa kau tidak bisa mengatakannya pada Gavin?”

“Aku tak memiliki kesempatan yang tepat, Sean.”

“Dan kau memiliki kesempatan yang tepat di depan gedung apartemenmu saat bicara dengan Naura,” sengit Sean tak repot-repot menunjukkan kemarahannya.

Jihan terdiam, mengamati kemarahan Sean yang malah membuatnya bertanya-tanya. Seingatnya ia tak melakukan kesalahan apa pun pada pria itu. Kenapa Sean tampak begitu dongkol padanya.

Seolah belum cukup Jihan membuatnya kesal, ketika perempuan itu menyingkirkan helaian rambut di depan wajah, ia melihat cincin pernikahan mereka tidak terpasang di jari manis Jihan. 

“Gavin baru saja memberitahuku, kami akan menemui orang tuanya,”  lanjut Jihan kemudian dengan suara yang lebih lirih. Lalu perempuan itu duduk di sofa, dengan wajah tertunduk. “Aku tak tahu bagaimana cara merusak kebahagiaan ini, Sean. Ini hal yang kami tunggu-tunggu sejak awal kami berkencan.”

Partner In Bed (Married With Bestfriend)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang