12. Semakin Merenggang

448 65 4
                                    

Part 12 Semakin Merenggang

Satu tahun kemudian …

Sean maupun Jihan tak pernah membayangkan hubungan persabahatan mereka akan menjadi seburuk ini. Dan tak pernah membaik meski satu tahun telah berlalu.

Jihan menutup berkas di depannya. Meregangkan tubuhnya yang kaku agar lebih rileks sembari mengedarkan pandangan ke ruang tidur yang sunyi. Tertegun dengan pikiran yang kembali melayang melihat selimut di ranjang yang berantakan.

Hatinya terasa dicubit, tetapi lekas ia abaikan ketika suara langkah kaki yang mendekat menyentakkan lamunannya. Jihan lekas berdiri dan baru mendapatkan langkah keduanya ketika pintu kamar terbuka. Sean melangkah masuk.

Pandangan keduanya sempat bertemu, dan detik berikutnya kembali saling berpaling. Sean berjalan menuju kamar mandi dan Jihan beranjak ke atas ranjang. Berbaring memunggungi sisi tempat Sean, menarik selimut hingga di pundak dan memejamkan mata.

Suara gemericik air yang terdengar perlahan menghilang dan ia jatuh terlelap dengan cepat.

Sean keluar tak lama kemudian, bergabung di tempat tidur dengan posisi memunggungi Jihan. Posisi yang tak pernah berubah sejak satu tahun yang lalu.

*** 

“Semalam kalian tidur dengan nyenyak?” Vivian menampilkan senyum terbaiknya untuk sang putra dan menantu yang duduk di seberang meja. Matanya yang menyipit tajam mengarah pada kerah di leher Jihan yang sempat tersingkap, tetapi dengan segera dirapatkan oleh sang menantu. Rasanya tak ada yang salah dengan hubungan Sean dan Jihan. Tetapi kenapa sang menantu tak kunjung hamil?

Sean mengangguk singkat. Menyeruput kopinya setengah lalu meraih kunci mobil di meja ketika Vivian belum selesai bicara.

“Hari ini kau akan pulang lebih cepat, kan?” Senyum Vivian mengisyaratkan bahwa itu adalah sebuah pernyataan. 

Sean tentu saja tak punya alasan untuk mengelak. Ia memberikan satu anggukan singkatnya. 

“Akhir-akhir ini mama perhatikan wajah kalian terlihat kusut. Apa kalian sedang bertengkar?”

Sean melirik ke arah Jihan yang tertunduk. Bukan akhir-akhir ini saja. Dan mereka tidak bertengkar, hanya berusaha tak saling ikut campur urusan masing-masing.

“Kenapa mama selalu berpikir kami sedang bertengkar?” Sean balik bertanya hanya untuk menyamarkan jawaban sesungguhnya. Dengusan tipis di bibir Satya yang duduk di samping sang mama membuat bibirnya menipis tajam. Sang kakak tentu saja menikmati situasinya setiap kali sang mama berbasa-basi tentang hubungannya dan Jihan.

“Jadi tidak?” Vivian menatap Sean dan Jihan bergantian.

“Kalian selalu sibuk bekerja. Berangkat pagi-pagi sekali dan pulang larut. Mama nyaris tak melihat hidung kalian sepanjang minggu ini. Jika seperti ini terus, kalian pikir kapan mama akan segera menimang cucu.”

Sean mendesah pelan. “Kita sudah membahasnya, Ma. Sekarang bukan …”

“Bukan saat yang tepat untuk membahasnya,” lanjut Vivian setelah memenggal kalimat Sean. Ada nada bosan yang mengiringi suaranya. “Lalu kapan saat yang tepat untuk membahasnya?”

Sean kembali melirik Jihan, yang mulai bergerak tak nyaman di kursinya. “Kami butuh waktu, Ma. Bisakah kita tidak membahasnya di meja makan? Mama membuat Jihan tertekan.”

“Apa?” Vivian berkedip dan beralih menatap sang menantu. “Jihan, apakah mama membuatmu tertekan?”

“Tentu saja dia akan menjawab tidak jika ditanya seperti itu. Mama tahu kami selalu berbagi segala hal, kan?”

Partner In Bed (Married With Bestfriend)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang