12|Getting Closer

24 4 21
                                    

Angan yang diudarakan kala itu, hanyalah puing asa yang entah kapan akan terwujud. Siluet pada celah jalan yang semakin dekat, ternyata hanya fatamorgana saat raga semakin lemas. Hampa dan fana.

Pasya duduk tercenung di kursi pasien. Ia memikirkan langkah apalagi agar bisa melewati pagar yang sudah rapi dibagun. Keinginannya sembuh dan kembali mengarungi dunia ice skating-nya dengan cepat.

"Dengar apa yang dokter bilang. Apapun yang kamu rencanakan, ada rencana lain yang lebih penting. Cara agar kamu bisa segera pulih seperti sedia kala," tukas sang bunda, Gita.

"Iya, Bun. Pasya akan fokus dengan pengobatan kali ini."

Percakapan dua anggota keluarga di hadapan sang dokter, membuat dokter terenyuh dan ikut larut dalam kesedihan. Pasalnya, Pasya yang sudah divonis kanker tulang atau osteosarkoma. Orang tua mana yang tidak terkejut dan tersayat hatinya mendengar sang buah hati mengalami hal buruk tersebut?

"Penyakit ini memang masih stadium awal, banyak cara untuk menyembuhkannya. Namun, jika saja kita lengah bisa jadi proses penyebarannya semakin pesat," papar sang dokter.

Gita mengelus pelan paha Pasya bagian kiri. Letak di mana kanker itu didiagnosa berada di sana. Suasana emosi makin mencuat ketika air mata Gita sudah tidak terbendung.

Pasya mengangguk. "Saya siap dengan resiko apa yang akan saya dapat. Saya berjanji, akan sembuh."

Semua solusi dan arahan sudah disampaikan dokter pada Gita dan Pasya. Keduanya sepakat untuk menjalani setiap perawatan yang ada. Minggu depan, jadwal Pasya untuk radioterapi. Proses sebelum dilakukan operasi pengangkatan kanker pada paha kirinya.

Gita meletakkan tas jinjingnya ke atas meja. "Makan siang dulu, lalu minum obat. Oke," suruhnya pada putra semata wayangnya.

"Iya, Bunda."

"Sebenarnya, Pasya masih sedikit penasaran."

"Tentang?" alis Gita salih bertaut.

Pasya mengunyah makanan yang sudah masuk ke mulutnya, lalu ia telan perlahan. "Bagaimana Bunda tahu dengan penyakitku ini?"

Gerakan tangan wanita paruh baya itu terhenti ketika hendak mengambil lauk untuk Pasya. "Ayahmu yang tidak sengaja lihat kertas-kertas berserakan di bawah meja belajarmu. Dia yang menyatukan tiap potongan, sampai akhir ... kita tahu apa yang kamu alami selama ini."

"Tolong ... kali ini, jangan hanya diam. Kita lalui bersama-sama ya," lanjut wanita itu dengan mata yang berkaca-kaca.

"Bunda—"

Pria yang hampir menginjak usia tujuh belas tahun, tidak kuasa menahan air matanya. Tetesan tiap air mata yang keluar, begitu perih Gita melihatnya. Isakan tangis Pasya semakin kuat.

"Hu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hu ... hu ... hu ..., Bunda ... apakah aku kuat?"

"Suts, pasti. Pasti, Pasya akan menjadi anak Bunda yang paling kuat."

Shoot Your Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang