6|Behind the Smile

62 23 59
                                    

Awalnya, Fara cukup penasaran dengan sosok Pasya yang terlihat selalu murung. Namun, Diana yang beberapa kali diserbu pertanyaan-pertanyaan dari Fara lantas meminta untuk fokus pada pelajaran. Tentu gadis tersebut menurut saja meski mendengus kesal satu kali.

"Fokus ... fokus dulu, Fara. Kak Dylan baru mulai ngajar udah heboh sama anak baru. Nanti bahasnya, oke?" bujuk Diana bersamaan senyumnya tercipta.

"Ck! Hem ... iya, oke." Lantas Fara menggeser tubuhnya agak kembali pada posisi semula, tidak berdekatan dengan Diana.

Pria berkemeja putih masih sibuk menulis materi di papan tulis. Semua siswa yang duduk di belakangnya cukup tenang dan memperhatikan apa yang ia tulis.

"Hidrokarbon. Senyawa yang tersusun atas unsur utama yang terdiri dari atom karbon (C) dan hidrogen (H)," ucap Dylan dengan dua kali ia ketukan ke papan tulis menggunakan spidol.

Sorot pandangannya mengarah ke segala penjuru kelas. Ia tersenyum simpul, semua tetap pada apa yang ia harapkan. Diam dan melihatnya.

"Atom karbon bergabung untuk membentuk suatu kerangka senyawa, kemudian atom hidrogen menempel dalam berbagai konfigurasi yang berbeda, seperti ini komponen keduanya, yaitu berbentuk CxHy."

Lima detik berikutnya, ia melihat pada sisi kiri bawah papan tulis. " Encyclopedia Britannica, seorang ahli kimia pada abad ke-19 membuat klasifikasi senyawa hidrokarbon secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu alifatik dan aromatik." Dylan masih terus melanjutkan penjelasan materinya.

"Alifatik merupakan senyawa yang diperoleh dari lemak atau minyak. Lalu aromatik merupakan senyawa yang diperoleh dari ekstrak tumbuhan yang menghasilkan bau harum. Senyawa alifatik terbagi jadi tiga, yaitu alkena, alkana, alkuna. Seperti pada gambar di papan ini. Teman-teman bisa membaca lebih jelasnya di buku pegangan masing-masing."

Materi hidrokarbon terus berlanjut sampai pada lembar kesepuluh Diana dan yang lain menulis. Dylan sangat detail Hingga apapun itu yang berkaitan dengan materi meski sedikit, tetap ia jelaskan hingga tuntas. Sampailah pada  pemaparan materi jam kimianya hampir berakhir, Dylan membuka sesi pertanyaan.

"Kak Dylan, maaf saya izin ke toilet." Suara seorang siswa menginterupsi seisi kelas.

Wajah pucat dan terlihat lelah tergurat jelas di wajah siswa itu. Dylan tanpa bertanya, ia langsung mengizinkan. Ia berpikir mungkin siswa tersebut ingin mencari udara segar dan pergi ke toilet.

"Kok Pasya kayak kecapekan, ya, Di? Tapi pelajaran hidrokarbon ini enggak sepusing itu, sampai bikin pengen ke toilet," bisik Fara. Tubuhnya ia condongkan ke samping arah di mana Diana duduk.

Diana menyenggol lengan Fara. "Sut! Fara, jangan gitu. Mungkin aja dia emang udah kebelet."

"Tapi ..." ucap Fara yang terjeda.

"Fara," tegas Diana tanpa melihat Fara dan hanya menatap fokus pada buku yang ia torehkan goresan-goresan dari tinta di pulpennya.

Sesi pertanyaan pun telah berakhir dan menyisakan rasa penasaran yang semakin membara. Fara membuat Diana ikut mengkhawatirkan Pasya, si anak baru, yang tidak kunjung balik ke kelas. Bahkan sampai Dylan hendak berpamitan masih belum ada tanda-tanda seseorang masuk ke kelas.

"Baik teman-teman, materi hari ini kita cukupkan sampai di sini. Jangan lupa dibaca-baca ulang biar makin paham," pamit Dylan, ia langsung bergegas meninggalkan kelas.

"Di, ini dia bolos ke kantin apa gimana? Lama bener izinnya," curiga Fara.

"Oke, mumpung sudah pergantian materi lain dan gurunya belum datang, apa kita coba cek ke area toilet cowo, siapa tahu masih di sana. Atau ya, kita cari di kantin."

Usulan Diana tentu diangguki Fara. Bagaimana tidak, sepertinya Fara menaruh perhatian lebih pada siswa baru yang tentu baru saja bertemu hari ini. Mereka pun berjalan keluar dari kelas.

•••

"Akh ... ses ...," desahan kesakitan terdengar dari dalam toilet lantai tiga. Letaknya paling ujung dan jauh dari keramaian, karena hanya ada ruangan laboratorium dan perpustakaan.

"Kenapa enggak berhenti-henti ini mimisannya? Jangan sampai ada yang tahu, jangan," tegar Pasya yang berulangkali menahan rasa sakitnya.

"Sampai kapan, aku harus menahan semua ini? Ayah jangan sampai tahu, apalagi Bunda. Mereka tidak perlu melihat kepayahan dalam hidupku. Kepindahanku di sekolah ini, agar bisa lebih dekat dengan mereka dan menghabiskan waktuku yang tersisa bersama mereka."

Pasya berjalan keluar dari toilet setelah memastikan darah yang keluar dari hidungnya sudah tidak ada. Langkah kakinya yang gontai mengantarnya pergi ke kantin. Ia masuk ke dalam lift, lalu menekan tombol angka 2, artinya ke kantin.

Tidak jauh dari Pasya berada, kedua siswi yang sibuk mencarinya tadi berdiri dan saling beradu argumen.  "Tuh, lihat. Dia baik-baik aja," ucap Diana.

"Iya ... sih, dia di kantin. Dan kelihatannya baik-baik, tapi ... kayak ada sesuatu, tahu. Enggak tahu apa, rasanya pengen tanya langsung ke dia. Dia kenapa?" Fara terus menerus mengeluarkan apa yang sedari tadi ia pikirkan.

Diana menghela napas. "Kamu yakin? Fara, kita aja belum kenal sama dia. Masa langsung ngevonis gitu?"

"Tunggu, aku rasa dia mungkin perlu bantuan," sanggah Fara yang terus mendengar nalurinya.

"Tuh, dia makan lahap gitu. Mana sambil senyum, dia baik-baik aja, Fara. Yuk, balik ke kelas."

Ajakan Diana tentu Fara iyakan. Meski hatinya terus bertanya-tanya. Namun, benar memang. Dia siswa baru dan tidak perlu terlalu ikut campur dengan dunianya yang belum Fara ketahui dengan jelas.


TO BE CONTINUE

Shoot Your Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang