24|Real Dates

18 3 15
                                    

Ada waktu yang bisa dikatakan sebagai jeda atas semua hal yang terjadi. Mematung dan tanpa berpikir. Kali ini Diana sedang merasakannya. Ia tidak tahu harus merespon apa atas ajakan pria di hadapannya dengan raut wajah penuh harap.

"Diana, kamu jangan bikin aku takut. Iya, enggak usah dijawab sekarang enggak apa-apa. Lagian," ucapan Dylan terjeda.

Kruk ...!

"Hihi, laper," kekeh Diana seketika lamunannya bisa buyar.

Dylan mengelus pucuk kepala gadis berponi dengan tinggi badan sebahunya. "Ayo cari makan, biar enggak nge-frezz lagi haha."

Diana mendengus kesal. Ia berlalu mendahului Dylan. Pria berbadan jangkung tentu berlarian kecil dengan senyum tipis jahilnya.

"Ayok, nanti keburu kelaparan."

"Iya enggak selaper itu kok, Kak," elak Diana.

Kamu kalo pura-pura kuat gitu jadi gemesin. Kelihatan banget itu bohongnya, batin Dylan dan lagi-lagi ia tidak bisa menahan untuk tersenyum.

"Tapi, mending kita pulang aja. Udah malam banget," elak Diana sebelum benar-benar masuk ke dalam mobil.

Dylan bergegas menarik lengan Diana dan mempersilakan gadis itu masuk. Ia julurkan lengannya di bagian atas pintu masuk untuk melindungi kepala mungil Diana. Entah mengapa kali ini Diana menurut saja meski sedikit bimbang.

"Kamu enggak mau gitu nyenengin aku yang udah lama puasa buat enggak hubungin kamu?"

Diana tertegun. Jadi, selama ini aku nunggu kabar Kak Dylan cuma penantian yang sia-sia? Hah! Menyebalkan, kenapa aku harus capek-capek nunggu dia hubungin aku, batinnya.

Sembari menyetir mobil, Dylan mulai menjelaskan alasannya. Ia tatap gadis itu sekilas. Ada perasaan hangat yang menjalar ke dalam jiwanya.

"Selama ini sengaja memang aku enggak hubungin kamu. Alasannya biar kita sama-sama fokus buat kepentingan kita dulu. Aku enggak mau adanya hubungan itu nanti tapi malah ganggu ujian kelulusanmu."

"Terus?" kepo Diana seraya mendelikkan krpalanya di sandaran kursi penumpang.

"Terus? Ya kamu tahu sendiri kenapa bisa tiba-tiba tadi aku ngomong. Karena emang udah seperti kutahan bertahun-tahun hingga akhirnya baru juga kesampaian. Makanya, mungkin kesannya menggebu-gebu, ya. Maaf tadi bikin kaget."

Meluap-luap perasanku saat ini, Di. Andai kamu tahu, gumam Dylan dalam sukmanya.

Cerocosan Dylan yang dulu tidak seperti itu membuka hati Diana perlahan-lahan. Ia ikut tertawa menikmati suasana malam yang terasa kian mesra.

Tibalah mereka di restoran yang sebenarnya bukan Dylan pilih-pilih sebelumnya. Sebab memang Dylan hanya terlintas saja dan berakhir mampir di sini. Restoran spaghetti. Makanan favorit si Diana waktu kecil.

"Selamat makan ...," ceria Diana dengan antusias. Ia sudah tidak sabar untuk menyantapnya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Shoot Your Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang