2| Fated Meeting

71 9 63
                                    

Hawa sejuk berembus menelisik di tubuh Diana yang berselimut khusus pasien. Kedua bola mata Diana mengerjap beberapa kali. Usai sudah tersadar, Diana menjelajah penjuru ruangan. Ternyata dia berada di IGD dengan seorang pria tidak ia kenali.

"Euh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Euh ..." keluh Diana sedikit pusing. "Tadi saya pingsan, ya? Kamu yang bantu saya? Terima kasih," sambungnya bersamaan tubuhnya ia posisikan bersandar.

Pria itu sedikit khawatir. Ia tadi melihat Diana berlarian mengantar korban yang keluar dari ambulan sepuluh menit yang lalu. "Kamu pasti kelelahan. Dokter bilang tekanan darahmu sampai 70/50, rendah banget."

Diana masih bergeming. Sorot matanya terlihat letih. Pria berjaket hitam itu melanjutkan ucapannya saja.

"Iya, sama-sama. Btw, bahasanya enggak usah formal banget. Sepertinya kita enggak terpaut jauh usianya. Aku masih anak kuliahan," lanjut pria yang kini mengelus bahu Diana bangga.

Diana mengangguk diiringi mengembangnya bibir pucatnya. "Oke, oke ... namamu siapa? Masa kita ngobrolnya aku kamu tanpa tahu namanya."

"Dylan. Tadi aku jenguk temanku kuliah yang dirawat di sini," jawabnya dan berlanjut menyalami tangan Diana. "Terus kita bertemu dengan cerita begini," pria itu mengedikkan bahu sembari tersenyum sekilas.

"Namaku Diana. Sekali lagi, makasih Kak Dylan." Diana bangkit dan berniat ingin pulang.

Gerak-gerik Diana tentu membuat Dylan spontan menghentikannya. "Stop! Mau kemana?"

"Pulang," sahut Diana dengan entengnya.

Berdasarkan penjelasan dokter yang merawat Diana tadi, memang sebenarnya gadis berponi menggemaskan di depan Dylan hanya kelelahan. Setelah bangun dari pingsan sudah diperbolehkan pulang. Namun, bagi Dylan gadis tersebut masih terlihat pucat dan kelelahan.

"Istirahat dulu sebentar," sarannya bernada tegas. "Aku tadi beli roti sama susu. Nih, dihabisin dulu," lanjutnya berbarengan menyodorkan sebungkus roti lapis dengan susu kotak.

Perhatian kecil dari Dylan sukses menghentikan keinginan gadis tersebut untuk bergegas pulang. Mungkin bagi Diana pertemuan ini hanyalah bagian kecil dari kehidupannya yang bisa saja tidak akan bertemu lagi dengannya setelah ini. Selayaknya angin lalu dan berembus mengikuti langkah takdir masing-masing.

Usai Diana menghabiskan roti dan sekotak susu pemberian Dylan, pria di hadapannya menepuk pundaknya. "Berhubung kamu sudah lebih baik, aku pamit balik, ya. Besok ada kegiatan penting soalnya. Perlu beberapa persiapan, maaf enggak bisa antar."

Diana tertegun dengan menaikkan kedua alisnya. Haruskah aku tahu kegiatannya sampai dia bilang gitu? Bilang aja balik duluan, malah lebih simpel, batinnya.

"Oh, iya. Makasih Kak Dylan. Hati-hati di jalan. Aku nanti pulang naik bus saja. Masih ada jam segini."

Perhatian kecil Diana masuk tanpa permisi ke sukma Dylan melalui pintunya yang semula membeku. Senyuman tipis terbit di bibirnya. Kalimat sederhana yang keluar dari mulut Diana seperti sihir kecil untuknya.

Shoot Your Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang