Diantar Pulang

36 22 0
                                    

Happy reading. Jan lupa vote dan comments ^^

~••••~
Tidak semua hal bisa diselesaikan dengan uang. Bijaklah karena uang bukan segalanya. Uang tidak akan bisa membeli waktu yang sudah terbuang.
~••••~

“Terima kasih sudah mengantarkan anak kami pulang, Nak,” ujar Nurman tersenyum di akhir kalimatnya. “Maaf karena sudah merepotkan sampai mengantar pulang.”

Angkasa mengangguk singkat kemudian menjawab, “nggak merepotkan sama sekali, Om.”

Kini Angkasa masih berada di kediaman Zora. Angkasa sudah ingin pulang sejak tadi, tetapi kondisi di luar yang sedang hujan lumayan deras membuat Angkasa belum boleh diizinkan pulang karena alasan keselamatan. Tidak hanya itu, Angkasa juga ingin memastikan keadaan Zora terlebih dulu. Karena kejadian di belakang sekolah, Zora masih terlihat sangat terkejut dan ketakutan. Meskipun sudah berusaha bersikap normal seperti biasa.

Kebetulan Nurman dan sang istri Sandra selaku orang tua Zora tengah berada di rumah saat ini. Lain halnya dengan Angkasa yang berada di ruang tamu ditemani Nurman dan Sandra, Zora masih belum muncul keluar dari kamarnya.

“Kami tidak menyangka jika Zora mengalami pembullyan seperti yang diceritakan oleh Nak Angkasa tadi.” Sandra menarik napas panjang. “Mungkin ini juga salah kami sebagai orang tua yang kekurangan waktu untuk memperhatikan Zora. Kami terlalu sibuk bekerja dan membiarkan Zora di sini.”

Angkasa hanya mengangguk. Jika seperti ini, Angkasa bingung harus menanggapi seperti apa karena takut jika menerobos batas privasi keluarga. Walaupun memang Sandra yang memberitahu kondisi keluarganya terlebih dulu. Untuk pertemuan pertama dengan orang tua Zora, tentu saja Angkasa belum terbiasa dan belum bisa terlalu akrab.

“Untung ada Nak Angkasa yang membantu anak kami.” Nurman tersenyum lega. Tangan kanan Nurman bergerak menyerahkan amplop coklat kepada Angkasa. “Sebagai bentuk terima kasih, tolong terima sedikit pemberian dari kami, Nak. Saya harap kamu tidak merasa tersinggung dengan ini.”

Angkasa sedikit terkejut atas apa yang dilakukan oleh Nurman. Jujur Angkasa sama sekali tidak mengharap balasan apapun saat menolong Zora terbebas dari Power Boys.

“Nggak usah repot-repot, Om. Saya ikhlas bantunya.” Angkasa mencari kalimat yang tepat untuk menolak.

Tidak lama dari itu Zora datang setelah mandi dan berganti pakaian. Siraman air yang sangat bau mengharuskan Zora sampai lebih dari empat kali untuk benar-benar bersih. Zora langsung menempati posisi duduk di samping Sandra.

“Nggak semua hal bisa dibayar pakai uang, Ayah.” Zora berkata dengan pelan. “Semua harta yang kita punya nggak selalu bisa selesaikan masalah gitu aja.”

Nurman meneggakkan kembali posisi duduknya. “Maksud Ayah bukan seperti itu, Sayang.”

Zora tersenyum kecut. Jauh dari dalam hatinya Zora merasa senang karena Ayah dan Bundanya ingat untuk pulang ke rumah. Namun, di sisi lain terdapat rasa kecewa yang diam-diam menyelusup, jika mengingat kesibukan yang mengikat kedua orang tuanya membuat waktu bertemu mereka semakin berkurang.

“Zora ngerti maksud Ayah. Cuma Zora ingetin satu hal, uang itu bukan segalanya.” Zora kembali menimpali.

Sandra menatap anaknya dengan sendu. Rasa rindu yang ingin dia tuntaskan dengan bertemu Zora ternyata tidak sesuai harapan. Pertama kali berjumpa Zora setelah berhari-hari menjalankan tugas di luar kota, Sandra harus mendapati Zora dalam keadaan tidak baik-baik saja seperti sekarang.

“Udah jangan dibahas lagi. Nggak enak ada Nak Angkasa di sini. Masa ada tamu kita malah ribut?” Sandra tersenyum kecil. “Kalo gitu Ayah dan Bunda pamit istirahat dulu sebentar karena perjalanan tadi cukup jauh. Nggak papa ‘kan Bunda dan Ayah tinggal kalian? Zora sayang kamu sudah baik-baik saja ‘kan?”

“Iya lagipula di luar masih hujan. Lebih baik Nak Angkasa menunggu di sini sampai hujan reda.” Nurman ikut menambahkan.

Jika mengikuti keinginan hati, tentu saja Zora ingin menghabiskan waktu dengan orang tuanya. Namun, bagaimanapun Zora tidak mau egois hanya memikirkan keinginan pribadi. Untuk itu Zora berusaha mengerti dan memaklumi.

“Iya nggak papa. Ayah sama Bunda istirahat aja. Pasti kalian cape.” Zora tersenyum kecil. “Nggak usah khawatir, Zora udah jauh lebih baik sekarang.”

Sementara Angkasa hanya bisa tersenyum kikuk. Tidak henti berdoa dalam hati agar hujan dapat segera reda. Dan kini hanyalah tersisa dirinya dan Zora yang ada di sana. Keduanya membungkam kata tidak tahu harus berbicara apa.

Zora berdehem pelan untuk mengusir rasa canggung. “Maaf gue ngerepotin lo. Makasih udah bantu dan anterin gue pulang.”

Angkasa mengangguk singkat. “Nggak masalah.”

Kesal rasanya saat Zora berpikir keras untuk mencari topik percakapan, sementara Angkasa hanya menjawab seadanya. Zora ingin sekali lari ke dalam kamar dan meninggalkan Angkasa sendiri.

“Maaf juga karena gue udah nuduh lo jadi pelaku orang yang neror gue selama ini.” Zora menundukkan kepala. Menyadari jika dia sudah salah dalam menduga. “Gue baru tau kalo pelaku semua itu si Ronal sama temen-temennya. Gue bakalan cari cara supaya mereka dibubarkan.”

“Tenang aja. Gue bakalan bantu lo.”

~••••~ 

Gendis menunggu Angkasa sejak tadi. Jam sudah menunjukkan pukul enam sore, sementara kakaknya itu belum kunjung tiba. Gendis khawatir karena beberapa saat lalu hujan lebat turun, Gendis hanya takut terjadi sesuatu pada Angkasa saat di perjalanan.

Ketika suara motor Angkasa terdengar, Gendis langsung membuka pintu dan memperhatikan hingga Angkasa selesai memarkirkan motor. Setidaknya kini Gendis sudah dapat bernapas lega karena Angkasa sudah pulang.

“Kenapa? Lo nungguin gue?” Angkasa tersenyum jahil. “Muka lo keliatan banget khawatirnya.”

Gendis mengerucutkan bibir. “Iya gue khawatirlah lo belum pulang, ditambah hujan gede banget takutnya lo ngebut terus jatoh. Lo habis berantem ya, Kak?”

Gendis menilik wajah Angkasa dengan fokus. Terdapat beberapa luka memar pada wajah Angkasa, pantas saja sejak tadi perasaan Gendis terasa tidak tenang.

Angkasa berjalan melewati Gendis. Melangkah memasuki area dalam rumah kemudian melepas tasnya. “Tadi gue bantu Zora karena dia dikerjain Power Boys.”

Gendis membelalakan mata. Kaget dengan apa yang Angkasa ucapkan. Namun, Gendis merasa kurang yakin jika kakaknya yang selalu ribut dengan Zora ternyata mau membantu hingga babak belur seperti itu.

“Lo serius bantu Kak Zora?” Gendis kembali memastikan. “Keadaan Kak Zora sekarang gimana?”

“Udah aman,” singkat Angkasa lalu mendudukkan tubuhnya di kursi.

Gendis merasa jauh lebih tenang sekarang. Gadis itu dengan cekatan mengambil segelas air mimum lalu memberikannya kepada Angkasa.

“Kak,” panggil Gendis saat Angkasa tengah minum. “Nggak tau kenapa rasanya gue seneng deh tau lo bantu Kak Zora. Gue selalu berdoa kalo kalian bisa akur. Apalagi kalo sampe Kak Zora jadi kakak ipar gue. Udah cantik, baik, pengertian, pinter."

Angkasa tersedak mendengar penuturan Gendis barusan. “Maksud lo apa?”

Gendis menampilkan cengiran lebar. Dengan santainya Gendis menjawab, “lo usahainlah Kak biar bisa semakin deket sama Kak Zora. Kalo perlu lo tembak Kak Zora sebelum keduluan sama orang lain. Biar gue ntar afdol jadi adiknya."

~••••~
TBC

Allo ^^
Mudah mudahan kalian suka sama ceritanya ^^

Sorry for typo ya.
Jan lupa tinggalkan jejak. Vote and comments ^^

Salam hangat

Risyyu

For Gen Z (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang