Sebuah Pengakuan

60 34 112
                                    

Jan lupa vote dan comments ya ^^

~••••~

Tidak selamanya yang diaggap kuat akan selalu menang. Seharusnya semua sama ketika keadilan harus ditegakkan.

~••••~

Iqbal dikabarkan sudah diizinkan pulang dari rumah sakit. Setelah menjalani perawatan selama satu hari, sekarang Iqbal sudah jauh lebih baik. Untung saja luka yang dialami Iqbal tidak terlalu parah. Namun, sayangnya Iqbal belum mau kembali sekolah karena masih merasa trauma.

Sementara para pelaku bully pada beberapa hari lalu kini harus menjalankan hukuman atas perbuatan yang telah mereka lakukan. Menurut berita yang banyak beredar. Power Boys tidak lagi dijatuhi skors karena itu hanya akan menguntungkan mereka saja.

Sebagai gantinya Power Boys harus membersihkan seluruh toilet sekolah selama satu minggu. Toilet sekolah SMA Insani Unggul memang tidak sedikit,  tetapi tetap saja hukuman tersebut dianggap tidak setimpal untuk sebagian orang. Namun, tidak hanya itu, Power Boys juga harus menjalani satu hukuman tambahan yang membuat mereka semakin keberatan.

“Gue mendingan diskors daripada bersihin WC kayak gini.” Ronal menggerutu. Tangannya bergerak tidak beraturan menggosok lantai toilet. “Itu guru gabut banget sampe suruh kita kerjain ginian.”

Seorang Ronal yang terkenal dengan kegarangannya kini membersihkan toilet sekolah lumayan kotor. Begitu juga dengan anggota Power Boys yang lain. Mereka semua dibagi rata membersihkan toilet sekolah, masing-masing terdiri dari dua orang.

Fahri yang juga tengah menggosok lantai mendengus kesal. “Tapi setidaknya ini lebih baik. Lo memang tenang dan ngerasa aman aja karena ada bekingan. Lah gue sama yang lain, lumayan takut juga kena DO.”

Ronal hanya mengendikkan bahu. “Gue nggak minta ada yang bela.”

Mulut Fahri yang sudah terbuka hendak menimpali kembali terkatup saat seseorang berdehem dari arah belakang.

“Ekhem. Kerjain sampe bersih. Nggak usah malah ngegosip lo pada,” ujar Bagas yang baru saja ke luar dari bilik kamar mandi. “Jangan lupa ntar pulang sekolah kalian ikut bimbingan anti bully sama Pak Sakti. Hukuman yang cukup bagus dan gue harap kalian nggak jadi pengecut yang pergi dari tanggung jawab.”

Ronal melemparkan sikat yang ia pakai dengan kasar. “Kalo pengecut gue nggak mungkin mau kerjain hal rendahan kayak gini!”

~••••~

Zora baru saja keluar dari perpustakaan membawa setumpuk buku. Tadi Zora dimintai tolong oleh guru untuk meminjam buku penunjang pelajaran. Saat Zora hendak kembali ke kelas, Zora tidak sengaja bertemu dengan Gendis yang sepertinya juga baru selesai meminjam buku.

"Ada lo juga ternyata." Zora tersenyum hangat kepada Gendis yang kini sudah berdiri di depannya. "Habis minjem buku ya?"

Gendis mengangguk semangat. Jika sudah bertemu dengan Zora, Gendis pasti senang karena menurutnya Zora sangat asyik untuk diajak berbincang dan berbagi pikiran. Teringat sesuatu, Gendis langsung berkata, "Kebetulan banget ketemu Kak Zora di sini."

Alis Zora saling bertautan. "Beruntung kenapa? Lo ada masalah lagi? Atau ada hal yang ingin lo ceritain lagi?"

Gendis menggeleng. Tadinya Gendis memang akan menemui Zora setelah jam istirahat tiba. Namun, karena Zora sudah ada di hadapan Gendis langsung berniat untuk menyampaikan maksud dan tujuannya.

"Gue nggak papa kok, Kak. Gue cuma mau bilang makasih karena Kak Zora udah bantu obatin Kak Angkasa waktu kemarin di UKS. Maaf jadi ngerepotin.” Gendis menyengir lebar. “Sebagai ucapan terima kasih, gimana kalo aku, Kak Zora sama Kak Angkasa ntar pulang sekolah makan bareng? Biar kita yang traktir Kak Zora. Ke cafe yang waktu itu kita ngobrol berdua aja. Biar deket.”

Zora tersenyum kecil. “Iya, sama-sama. Tapi kayaknya gue nggak bisa ikut kalian. Gue beneran ikhlas kok bantunya. Jadi lo nggak usah repot-repot traktir gue. Makasih ya atas niat baik lo.”

Zora tentu saja menolak karena sebagai bagian dari Tim For Gen Z, mereka tidak pernah mengharapkan imbalan apapun. Bahkan hanya  dengan turut membantu saja sudah membuat Tim For Gen Z senang. Begitu juga dengan Zora yang merasakan hal serupan.

“Padahal nggak papa tau, Kak. Masa Kakak nolak niat baik?” Gendis mengerucutkan bibir. “Lagipula ‘kan Kakak sama aku juga. Nggak cuma jalan berdua sama Kak Angkasa.”

Terdiam untuk beberapa saat, Zora menimbang keputusan terlebih dulu. Di satu sisi dia merasa keberatan jika harus pergi bersama Angkasa. Namun, di sisi lain Zora merasa tidak enak menolak Gendis sampai membuat gadis itu tampak kecewa hingga mengerucutkan bibir.

“Gue usahakan ya,” ujar Zora sebelum badannya terhunyung kesamping saat seorang perempuan tidak sengaja menyenggolnya.

“Ma-maaf gue nggak sengaja. Tadi nggak sengaja kaki gue keseleo sampe kena lo, Kak. Apa ada yang sakit?” Dengan cepat perempuan tersebut meminta maaf.

Zora tersenyum kecil. Menatap perempuan dengan rambut panjang itu beberapa saat. Rasanya Zora tidak asing dan pernah melihat orang yang sama, tetapi Zora lupa kapan dan di mana.  Saking banyaknya warga sekolah yang Zora temui.

Sementara Gendis masih tampak terkejut hingga memeriksa Zora dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. Memastikan Zora tidak mengalami luka atau cedera. Memang sedikit berlebihan. Namun, begitulah sifat Gendis.

“Nggak papa. Gue nggak sampe jatuh juga. Jadi nggak usah cemas.” Zora menjeda sebentar ucapannya. “Kalo gitu maaf gue pamit duluan ya. Takut udah ditunggu.”

“Hati-hati Kak Zora,” pesan Gendis yang langsung diangguki oleh Zora sebelum beranjak pergi. “Kalo gitu gue juga pamit duluan, Kak.”

Merasa urusannya sudah selesai, Gendis berpamitan kepada perempuan yang sebelumnya tidak sengaja menyenggol Zora tadi. Namun, niatan Gendis tampaknya sedikit tertahan karena perempuan tersebut kembali menyambung pembicaraan.

“Jadi, lo adik Kak Angkasa?” tanya dia seraya mengulurkan tangan kanannya mengajak berjabatan. “Kenalin, gue Anela Putri. Teman dekatnya Kak Angkasa.”

Mata Gendis mengerjap beberapa kali. Apa yang didengarnya barusan sama sekali di luar dugaan. Gendis benar-benar baru mengetahui jika Angkasa memiliki teman dekat. Karena setau Gendis, Angkasa adalah tipe lelaki yang sulit akrab atau bahkan hanya untuk sekedar berteman dengan seorang perempuan. Jangankan perempuan, melihat Angkasa kumpul dengan teman lelaki saja Gendis sangat jarang temui.

Tanpa membalas perkenalan Anela, Gendis dengan cepat pergi dari sana tanpa meninggalkan sepatah kata pun. Dalam pikiran Gendis kini hanya ada satu hal. Gendis harus melakukan konfirmasi kepada Angkasa secepat mungkin.

“Apa maksud dia teman dekat? Apa Kak Angkasa diam-diam punya pacar?”

~••••~
TBC

Hi ^^
Gimana part di atas menurut kalian?

Sorry for typo.
Jan lupa tinggallan jejak. Vote dan comments ya ^^

Salam hangat

Risyyu

For Gen Z (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang