Bentuk Peduli

80 49 184
                                    

Jan lupa vote dan comments ya ^^

~••••~

Tidak semua niat baik bisa dieksekusi sesuai harapan. Namun, setidaknya masih tersisa setitik tanda kepedulian.

~••••~

Bagas tersenyum kecil kala melihat Zora berjalan mendekat ke arahnya yang kini berdiri tidak jauh dari pintu cafe.

“Udah lama nunggunya? Maaf ya kalo gue ngerepotin lo.” Zora berkata seraya menyelipkan beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatan ke belakang telinga.

“Nggak lama. Sama sekali nggak ngerepotin. Ini ‘kan gue yang minta buat jemput lo. Jadi, lo nggak perlu minta maaf juga,” sahut Bagas kemudian membukakan pintu lalu mereka melenggang pergi meninggalkan area dalam cafe.

Setelah cukup lama berbincang dengan Gendis, Zora sampai lupa waktu hingga kini hari sudah mulai berganti malam. Masih tersisa sedikit sinar matahari terbenam menjadikan langit jingga menarik perhatian Zora untuk beberapa waktu.

“Gimana tadi kasus Gendis? Apa lo kesusahan?” Bagas bertanya bersamaan dengan kedua tangan terulur berniat memakaikan helm untuk Zora.

Zora yang semula terdiam menatap indahnya langit langsung teralih dan dengan cepat menghentikan apa yang dilakukan oleh Bagas. Zora memilih untuk mengambil helm tersebut dan berkata, “nggak usah semakin bikin lo repot, Gas. Gue bisa pakai sendiri.”

Tanpa Zora tau, diam-diam Bagas tersenyum kecut. Teringat kembali jika mereka pada dasarnya hanyalah teman biasa. Bagas mencoba memahami jika Zora tidak nyaman dengan apa yang Bagas lakukan barusan.

“Maaf, Ra. Gue tadinya cuma mau bantu lo. Berhenti bilang kalo lo bikin repot. Semua hal yang berkaitan sama lo itu sama sekali nggak bikin gue repot, Ra.”

Zora terkekeh kecil. “Udah deh. Gue tau kalo lagi langit senja yang cantik kayak gini bikin lo kebawa suasana. Sedikit aneh sih tiba-tiba lo kayak serius gitu ngomongnya. Lebih baik kita pulang sekarang.”

Bagas mulai menyalakan mesin motor. Kuda besi miliknya mengeluarkan suara deruman yang cukup keras. Keduanya meluncur ke jalanan setelah memastikan Zora duduk dengan aman dan nyaman di jok penumpang.

“PELAN-PELAN PAK SUPIR!"  Zora sedikit berteriak karena suaranya terbawa angin dan terselip hiruk pikuk jalanan.

“Pasti, Ra.” Bagas mengangguk cepat. “Karena lo penting buat gue.”

Zora sedikit mencondongkan badan karena ucapan Bagas terdengar samar. “HAH? LO NGOMONG APA? SUARA LO NGGAK JELAS.”

Bagas menghela napas berat. Pantas saja orang bilang lebih baik menghindari obrolan ketika di atas kendaraan dan jalanan yang tengah ramai. Pasti membutuhkan nada suara lebih tinggi agar dapat terdengar.

“NGGAK PAPA. LUPAIN AJA, RA.”

 ~••••~

“Dari mana aja lo?” sebuah suara menghentikan langkah kaki Gendis yang hendak masuk kamar. “Jam segini kenapa baru pulang?”

Bahu Gendis merosot malas. Dengan terpaksa membalikkan badan menatap Angkasa yang kini tengah duduk santai seraya membaca buku.

“Bukan urusan Kakak. Tumben benget pakai nanya karena gue pulang telat. Biasanya juga Kakak nggak peduli,” sahut Gendis sekenanya.

“Duduk.” Angkasa menunjuk sofa di seberang yang dibatasi oleh sebuah meja. Seakan menjadi pertanda agar adiknya duduk di sana.

Gendis memilih untuk menurut saja. Energinya terasa sudah menipis untuk hari ini. Dia pun tidak mau jika harus ribut lagi dengan Angkasa. Ditambah dia juga menjadi penasaran karena jarang sekali Angkasa bertanya seperti tadi sekalipun Gendis terlambat pulang ke rumah selepas pulang sekolah.

For Gen Z (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang