Skolionophobia

48 32 102
                                    

Jan lupa tinggalkan jejak. Vote comments ya ^^

~••••~

Jangan pernah anggap remeh sebuah candaan dan tindakan. Bisa jadi apa yang dianggap biasa meninggalkan efek trauma berkepanjangan.

~••••~

Zora langsung pulang ke rumah menggunakan ojek online setelah selesai makan dan berbincang bersama. Zora memilih untuk menolak tawaran Gendis agar dia diantarkan oleh Angkasa. Sifat Zora yang kerap kali takut merepotkan orang menjadi alasan penolakan tersebut.

Padahal jika mau, Zora tidak perlu menggunakan transportasi umum karena telah ada supir yang siap untuk mengantar jemput. Namun, dari dulu Zora tidak suka menggunakan supir pribadi dan lebih nyaman untuk hidup mandiri.

“Makasih, Pak.” Zora menyerahkan kembali helm yang baru saja dikenakan kepada tukang ojek. “Udah dibayar lewat aplikasi ya Pak. Ini buat tambahannya.”

Tukang ojek mengangguk sopan. “Terima kasih kembali. Mudah-mudahan kebaikannya dibalas lebih ya, Neng.”

Zora tersenyum penuh arti. “Aamiin. Hati-hati di jalannya, Pak.”

“Pastinya, Neng. Mari, saya jalan duluan,” pamit tukang ojek tersebut sebelum kembali meluncur ke jalanan.

Zora menarik napas panjang. Menatap rumah dengan pagar tinggi berdiri kokoh di hadapannya. Kemewahan yang lagi dan lagi tidak berarti banyak karena tidak ada kehangatan yang diberikan di dalamnya.

“Tumben banget pagarnya nggak ditutup. Apa Ayah dan Bunda udah pulang?” Mata Zora menyipit saat baru menyadari pintu pagarnya sedikit terbuka.

Dengan cepat kaki Zora berjalan memasuki area halaman rumah. Sedikit kecewa karena kenyataan meleset dari harapan. Bukan Ayah dan Bunda Zora yang ada di sana. Melainkan Bagas dan Maira yang sudah menunggu di teras depan.

“Dari mana aja Ra? Tadi pulang sekolah langsung ngilang,” ujar Bagas yang sejak tadi sudah cemas. “Kita nunggu lo. Kita hubungi lo juga nggak ada balesan. Lo nggak kenapa-napa ‘kan?”

Zora langsung mengecek handphone nya. Dan benar saja, banyak telepon masuk dan chat yang berasal dari Maira dan Bagas. Zora sama sekali tidak tau dan baru menyadarinya.

“Hehe, maaf ya. Tadi gue nggak buka HP lama-lama. Sekalinya buka gue cuma buat pesen ojek online tadi. Gue nggak sempet buka WhatsApp dan nggak sadar kalian telpon. Maaf banget.” Zora menampilkan mimik bersalah. “Maaf juga gue lupa bilang dan ngilang gitu aja waktu pulang sekolah, karena tadi gue buru-buru udah ditunggu Gendis.”

Maira memiringkan mukanya menatap penasaran. “Apa dia ada kasus baru?”

“Bukan gitu,” sahut Zora seraya bergerak duduk di satu kursi yang tersisa. “Dia ajak gue sama Angkasa makan bareng sebagai ucapan makasih karena gue udah obatin Angkasa. Gue udah nolak, tapi gue nggak tega juga kalo nggak nerima ajakan baik. Gue takut dia kecewa."

Raut wajah Bagas tampak sedikit berubah. Kemudian Bagas berucap, “gue baru tau lo yang obatin Angkasa, Ra. Kayaknya sekarang banyak hal yang gue nggak tau ya. Biasanya lo selalu cerita ‘kan, Ra?”

“Maaf, Gas. Gue nggak ada niat buat bikin rahasia. Sama sekali nggak ada pikiran sampe sana. Cuma gue rasa akhir-akhir ini banyak banget yang kita hadapin. Dan gue juga tau lo udah repot urus hal lain,” sahut Zora semakin merasa tidak enak.

Maira berdehem pelan. Menatap jam tangannya sekilas lalu beranjak dari duduk. “Udah nggak usah dibahas lagi. Lebih baik lo ganti baju sekarang, Zor.”

For Gen Z (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang