Menerima Ajakkan

50 32 122
                                    

Jan lupa vote dan comments ya ^^

~••••

Kita tidak harus terlibat dalam setiap percakapan,
Terkadang ada saatnya berbicara
dan ada kalanya hanya untuk diam mendengarkan.

~••••~

Sesuai apa yang sudah disepakati, Zora jadi menerima ajakan Gendis untuk makan siang bersama sepulang sekolah. Angkasa pun dengan sedikit terpaksa menuruti kemauan adiknya yang tiba-tiba merajuk untuk makan di luar.

“Kalo mau ajak orang lebih baik jangan ngedadak. Apalagi sampe maksa.” Angkasa memperingatkan seraya masih terus memilih menu yang akan dipesan.

Gendis tersenyum lebar. Bukan Gendis namanya jika tidak keras kepala untuk meraih atau mewujudkan apa yang dia mau. Gendis pasti akan mencoba dan mengusahakan agar mendapat apa yang dia inginkan.

“Karena kalo direncanain dari lama, gue yakin lo pasti cari cara sama alasan biar nggak bisa ikut,” sahut Gendis kemudian menoleh ke arah Zora. “Kak Zora mau pesan makan apa?”

Angkasa tidak lagi menyahuti. Sementara Zora yang masih membaca menu menggeleng pelan. Banyaknya menu terkadang membuat kita bingung untuk memilih.

“Gue nggak tau mau makan apa. Jadi, gue pesen apa yang lo pesen aja deh,” ujar Zora pada akhirnya.

Gendis langsung memanggil pelayan. Memberitahukan menu yang dia pesan sekaligus untuk Zora. Begitu juga dengan Angkasa yang melakukan hal serupa.

Setelah pelayan tersebut kembali pergi. Hening sempat tercipta di antara mereka. Jujur, saat ini tidak tahu kenapa Zora merasa sedikit canggung. Berbeda saat hanya berbincang berdua dengan Gendis di tempat yang sama beberapa tempo lalu.

“Ekhem.” Angkasa berdehen pelan. “Maksud lo apa ajak dia juga makan bareng kita?”

Zora mendelikkan mata saat melihat Angkasa menunjuk dirinya menggunakan dagu milik lelaki itu. Angkasa memang sepertinya perlu diajari lagi tentang kesopanan.

“Gue punya nama kali. Apa lo udah pikun?” Zora bertanya diakhiri oleh senyuman sinis.

Tidak mau terjadi keributan, Gendis menegakkan posisi duduk layaknya tengah bersiaga jika suatu saat Zora dan Angkasa terlibat adu argumen. Gendis sama sekali tidak mau moment saat ini hancur begitu saja. Terlebih saat teringat mengajak Angkasa dan Zora untuk bisa hadir tidaklah mudah.

“Gue ajak Kak Zora, sebagai ucapan makasih. Kak Zora udah bantu obatin lo waktu babak belur beberapa hari lalu Kak,” Gendis menjelaskan. Gadis itu memang belum sempat menyampaikan alasannya kepada Angkasa.

“Gue nggak minta bantuan dia. Jadi nggak seharusnya gue berterima kasih juga ‘kan?” pertanyaan tersebut Angkasa ucapkan dengan santai.

Gendis melotot memperingatkan. “Kak, lo kalo ngomong lebih dijaga deh. Lagipula gue sama lo udah lama banget nggak makan bareng. Seharusnya lo ngerti juga. Mungkin kalo bukan sekarang atau bukan karena gue yang ajak, nggak mungkin kali kita bisa duduk bareng kayak gini di meja makan.”

Angkasa terdiam. Pemikiran Angkasa kadang terpaku pada hal yang pendek saja. Angkasa sama sekali tidak berpikir jika Gendis rupanya merindukan kebersamaan makan bersama yang sudah lama sekali tidak pernah mereka lakukan lagi.

“Selain sebagai ucapan terima kasih, gue juga ajak Kak Zora karena bagi gue Kak Zora bukan cuma sekedar Kakak kelas biasa. Kak Zora yang udah bikin gue pelan-pelan mulai lupain Andi. Tanpa paksaan sama sekali.” Gendis menyambung lagi perkataannya.

Menyadari suasana mulai tidak kondusif, Zora mencari cara agar keadaan tidak semakin terasa canggung. Kini Zora mengerti alasan tersirat Gendis mengajak dia untuk ikut juga. Tangan kanan Zora perlahan mengusap pundak Gendis yang duduk di sebelahnya.

“Udah. Nggak usah dipikirin lagi. Kayak yang lo bilang barusan, jangan sampe moment ini rusak karena ribut.” Zora yang semula hanya diam mendengarkan kini mulai angkat bicara. “Lo nggak perlu sedih lagi, Dis. Lo lebih imut kalo ceria.”

Gendis manarik napas panjang. Untuk sekarang dirinya tidak boleh sedih dan murung. Moment langka seperti ini tidak boleh disia-siakan begitu saja. Tidak lama dari itu pesanan tiba diantarkan pelayan yang sebelumnya.

Gendis menyerahkan sepiring spaghetti rose dan segelas green tea milk kepada Zora sama seperti menu yang dia pesan. Sementara Angkasa hanya memesan rice bowl dengan toping potongan daging sapi teriyaki dengan segelas jus alpukat.

“Maaf ya Kak Zora. Lo jadi terpaksa hadir juga dan harus liat keributan tadi.” Gendis tersenyum tidak enak. “Sebagai gantinya gue pesen green tea milk sesuai rekomendasi dari Kak Zora. Katanya cocok buat bikin kita lebih tenang. Semenjak itu gue jadi suka banget sama green tea milk. Jagi gue pesen aja minuman yang sama.”

Zora tersenyum penuh arti. “Nggak papa. Gue nggak merasa terpaksa. Gue seneng bisa temenin lo. Lagipula di rumah gue juga sepi banget. Jadi gue nggak merasa keberatan buat di sini sekarang. Makasih juga buat makanan dan minumannya ya.”

Angkasa terdiam menyaksikan interaksi antara Gendis dan Zora. Keduanya terlihat sudah sangat dekat dan akrab. Bebeda jauh dengan Angkasa. Walaupun ia adalah kakak kandung dari Gendis, tetapi mereka tidak terlalu rukun. Bahkan mereka lebih sering ribut dan bertengkar daripada becanda dan bertukar pikiran.

“Eh Kak Angkasa,” Gendis memanggil Angkasa yang tampak terhanyut lamunan.

Angkasa sedikit terperanjat, tetapi lelaki itu berusaha untuk tetap santai dengan mempertahankan mimik muka yang datar.

“Hm?”

“Tadi ada cewek yang nyenggol Kak Zora katanya sih nggak sengaja,” ujar Gendis langsung dipotong oleh Angkasa.

Angkasa menyahut dengan cepat dan berkata. “Terus apa hubungannya sama gue? Harus banget gue tau hal itu?”

“Iya, nggak penting. Gue juga nggak kenapa-napa. Nggak usah dibahas lagi.” Zora menambahkan.

“Gue belum selesai ceritanya. Kalian udah main sambar gitu aja.” Gendis mengerucutkan bibirnya. “Dengerin dulu makanya.”

Angkasa dan Zora mengangguk patuh. Memberikan waktu untuk Gendis bercerita tanpa disanggah terlebih dulu. Keduanya kini cukup mengerti jika ucapan dipotong ditengah perkataan tidaklah mengenakan.

“Tadi waktu Kak Zora udah pamit pergi, cewek yang nggak sengaja nyenggol Kak Zora itu bilang, katanya dia temen deket Kak Angkasa,” ujar Gendis kembali bersuara.

Angkasa yang semula tengah mengunyah makanan menyahut lagi, “siapa namanya?”

Berlainan dengan Zora yang hanya kembali menyimak. Zora merasa tidak memiliki kuasa untuk bergabung ke dalam percakapan. Bagaimana pun Zora cukup tau diri mengenai posisinya yang bukan siapa-siapa.

Gendis tidak langsung menjawab. Mencoba mengingat kembali karena jujur tadi Gendis tidak terlalu fokus dengan nama cewek tersebut.

“Anala atau Anila Putri gitu tadi dia bilangnya.” Gendis mengendikkan bahu tidak mau lagi lebih keras mengingat. “Gue lupa sih. Gue juga rasanya baru liat dia di sekolah. Apa mungkin dia murid pindahan ya? Karena sempat minggu kemarin kelas sebelah heboh sama kabar ada murid pindahan. Gue nggak terlalu peduli jadi gue nggak terlalu tau.”

Angkasa menghembuskan napas panjang seraya melempar pandangan ke arah luar jendela cafe. Kemudian tidak lama dari itu Angkasa bergumam pelan, “apa dia Anela Putri?”

~••••~
TBC

Hi kalian ^^
Ada gasi lelaki yang suka ngomong blak blakan di sekitar kalian?

Sorry for typo huhu.
Jan lupa tinggalkan jejak. Vote dan comments ya ^^

Salam hangat

Risyyu

For Gen Z (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang