*
*
*
*"Berusaha untuk tetap tenang, meski nyatanya hancur berantakan" -Anwa Fildzhah
29. | Anwa Memang Pembawa Sial
Anwa berdiri dengan tubuh yang gemetar, sorot matanya hancur saat melihat pecahan kaca yang baru saja terlempar di dekatnya. Ia ketakutan sekarang, ayahnya tak henti memarahinya bahkan memaki dirinya.
Crangg
Gaska kembali melemparkan vas bunga ke arah Anwa, tidak bukan lagi di dekat Anwa, melainkan tepat di kepalanya. Anwa memegangi kepalanya yang kini mengeluarkan darah yang tidak sedikit, bahkan darah itu meluncur mengenai baju putihnya, ia menatap ayahnya dengan sorot mata hancur.
"DASAR ANAK GA GUNA, APA YANG KAMU LAKUIN SAMA YARA? HAH?!" Berangnya, beberapa waktu lalu ia bertemu dengan ayahnya Yara dan menceritakan tentang Anwa yang berbuat ulah di sekolah, bahkan mengakibatkan Yara di rundung. "Kamu memang pembawa sial, semua yang kamu lakuin selalu membawa kesialannn!!"
"A-ayah Anwa ga-"
Plak
"Berani bantah kamu!!" Kedua mata Gaska merah padam, ia di rasuki amarah sekarang, rasanya aneh saat melihat Anwa yang terus meneteskan air mata. Apalagi dahi Anwa yang kini terluka, perasaan aneh kembali mendatanginya.
"Gaska Stopp!" Teriak Fadia, ia berdiri di depan Anwa. "Kamu maki Anwa tanpa mau denger penjelasanya, ayah seperti apa kamu?!"
Gaska menatap Fadia dengan tidak percaya, bahkan sekarang istrinya ini berani membela Anwa. "Kamu belain anak sialan itu?"
"Anwa putri kamu, dia anak kamu juga, kamu jangan perlakuin dia kayak-"
"Anak buangan? Anwa memang anak buangan, saya ga mengharapkan kehadiran dia." Ujarnya, "manjain terus anak kamu itu, dengan gitu dia ga bisa hidup mandiri, dewasa, selama ini apa yang dia lakukan? Buat ulah aja kerjaannya!!" Lanjutnya lalu berjalan menjauh, ia muak dengan drama ibu dan anak itu.
Fadia menghela nafas berat, ia menangkup wajah Anwa dengan kedua tanganya, "kamu jangan nangis yah sayang, ayah kamu itu sebenarnya sayang banget sama kamu" Tuturnya mencoba menenangkan Anwa.
"A-anwa emang pe-pemmbawa sial yah ma?" Bisiknya.
Pertahanan Fadia runtuh, ia hancur berkeping-keping saat putrinya kini menangis. Ia memang bukan ibu yang baik, ia tidak melakukan apa apa, putrinya di rundung, di tindas, dimaki ia tidak melakukan apa apa. Fadia membawa Anwa kedalam pelukanya, memberikan kehangatan untuk putri kecilnya ini.
"Lihat, sekarang An-anwa bu-buat Mama na-nangis, Anwa emang pembawa sial, Anwa emang jahat" Lontar Anwa dengan terus terisak di pelukan Fadia.
◇◍𝓐𝓶𝓮𝓻𝓽𝓪◍◇
Gadis dengan dengan rambut panjang dan poni tipis itu memasuki kamarnya, masih sama. Ruangan ini masih sama seperti saat ia terakhir pergi meninggalkan mension nya, seperti dugaanya memori tentang bundanya masih berputar indah dalam ingatan. Pandangannya menelisik menghampiri sudut ruangan yang penuh foto polaroid yang di tempel di dinding, ia ingat sekali. Saat itu Yara dan bundanya men dekor ulang kamar Yara, lalu ide memasang foto ini berasal dari bundanya.
"Bunda, Yara kangen" Lirihnya dengan memperhatikan foto yang berisi bundanya yang sedang mengajarinya bermain biola. Ia tersenyum manis saat teringat kali pertama bundanya memberikan hadian berupa Biola yang masih ada sampai sekarang, "bunda ga kangen Yara? Udah lebih dari setahun Yara ga ketemu Bunda" Gumamnya, ia merasa kembali hanyut dalam memori yang kelam.
KAMU SEDANG MEMBACA
AMERTA [END]
Roman pour Adolescents"Jika aku pergi semua akan berakhir, benar bukan?" -Anwa Fildzhah Anwa dipertemukan dengan takdir yang mengharuskannya mengikuti semua perintah Yara seumur hidupnya. "Terimakasih sudah selalu ada, terimakasih juga sudah membuat aku kecewa, karena d...