Setelah kejadian malam Minggu, Zia menjadi sosok pendiam. Tatapan kesal masih tampak jelas di wajahnya untuk kedua orang tuanya. Ia tak masalah jika mereka menjodohkannya, tetapi yang berat diterima adalah lelaki itu seorang duda. Duda yang bercerai hidup. Gadis itu berangkat kerja masih dengan wajah ditekuk, beberapa kali Bunga sudah membujuk, tetapi sia-sia karena memang hatinya benar-benar tak bisa terima untuk sekarang ini.
Zia memasuki Butik Berkah, tempatnya bekerja selama ini. Ia duduk lemas di kursi samping kasir, yang mana sahabatnya Endang tengah sibuk menyusun barang-barang yang terletak di meja.
“Lo kenapa, sih? Pagi udah muram aja, kayak orang baru putus cinta.” Endang menatapnya sesaat kemudian melanjutkan pekerjaannya.
“Ini lebih parah daripada putus cinta,” sahut Zia dengan bibir merengut, membuat Endang meledakkan tawanya.
“Lo kan selama ini jomlo, gimana ceritanya kalau lebih parah dari putus cinta. Hadeh.” Endang menggelengkan kepala lalu duduk di kursi samping Zia.
“Gue dijodohin, tahu nggak sih. Gue kesel banget sama bokap nyokap gue.”
Endang tampak tak terkejut. “Kan emang lo pengen cepet nikah. Lo juga bilang nggak masalah kalau misalnya orang tua jodohin lo.”
Zia menganggukkan kepala pelan, kemudian menatap Endang dengan mata berkaca-kaca. “Masalahnya, gue dijodohin sama duda.”
“Uhuk-uhuk!” Seketika Endang terbatuk. Bibirnya berkedut, sesaat tak tahu harus tertawa atau menangis. Ia menatap Zia dan memukul bahu temannya. “Gue turut prihatin deh.” Kemudian tawa meledak membuat tubuhnya yang gembuk bergetar.
“Lo kan tahu kalau gue itu paling benci sama duda. Duda itu pasti jahat makanya bisa cerai, makanya istrinya meninggalkan dia. Terus kalau nanti gue diceraikan juga, gimana? Ya masa gue nanti jadi janda. Gue mau nikah sekali seumur hidup, nggak mau gue nikah cerai. Ihh, gue nggak mau nikah sama duda!”
Endang masih tertawa, ditambah wajah Zia yang sangat terpukul dengan keadaannya sekarang. Zia terdiam dengan tangan memangku dagunya, ia benar-benar setres untuk saat ini. Perlahan Endang mulai menenangkan diri, wajahnya yang tadi memerah perlahan memudar. Ia menggenggam tangan sahabatnya.
“Nggak semua duda itu jahat, ya mungkin ada satu dua yang kurang ajar makanya bisa cerai. Tapi bisa jadi duda yang dinikahkan sama lo itu duda terbaik sepanjang masa. Lo udah ketemu sama dia? Ganteng nggak? Kaya?”Zia mengangkat kepala dan mengangguk pelan. “Ganteng sih, kaya juga.”
“Nah, coba lo kenal dulu deh. Ya menurut gue sih, pilihan orang tua itu pasti terbaik. Lo juga percaya itu, kan?” Endang menatap Zia yang tampak berpikir.
“Gue juga percaya sama orang tua gue, tapi gue nggak percaya sama duda.” Zia melepaskan tangan Endang. “Gue nggak bisa mikirin hal baik tentang duda. Di mata gue, duda itu jahat.”
“Terserah elo sih, tapi kata gue lo coba pendekatan dulu. Mana tahu cocok. Salah lo juga sih, dari dulu bilang benci sama duda. Tiba-tiba sekarang malah dijodohkan sama duda.” Endang langsung berlari menjauh sebelum mendapatkan serangan dari Zia. Gadis itu terbahak-bahak melihat muka Zia yang semakin kesal.
Walaupun masih bete, profesional tetap nomor satu. Zia tetap bersikap ramah pada pelanggan. Zia sudah bertahun-tahun bekerja bareng Endang. Butik itu merupakan salah satu peninggalan keluarga Endang. Mereka sudah bersahabat semenjak sekolah menengah, keduanya punya hobi yang sama hingga sama-sama mengembangkan bisnis itu.
Zia dan Endang kuliah di bidang tata busana. Keduanya bak perangko yang ke mana-mana selalu bersama. Yang membedakan hanya status, Endang sudah menikah beberapa bulan yang lalu hingga mereka sudah tak lagi menempel seperti dulu. Namun, di tempat kerja masih sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Dengan Duda? SIAPA TAKUT! (END)
Lãng mạnMenikah memang selalu menjadi impian Zia di usianya yang tak lagi muda. Ia berharap seorang pria tampan, kaya, baik, dan sangat mencintainya tiba-tiba datang melamar ke rumah. Gadis itu bisa saja menerima jika dijodoh-jodohkan dengan siapa pun asal...