• Duda Idaman

323 10 0
                                    

Cinta datang seiring berjalannya waktu dalam kehidupan. Namun, cinta harus dimiliki dua orang yang saling berjuang. Waktu perlahan mengubah Zia bisa menerima Andra sebagai suaminya meskipun sesekali masih tak percaya perasaannya berubah begitu mudah. Zia mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan sebagai seorang istri. Ia juga tak lagi sering keluar tanpa izin, ke mana-mana Andra selalu mengawasi, setidaknya sopir akan mengawal.

Hari ini Zia berencana ke kantor sang suami untuk mengantarkan makan siang. Ia memasak beberapa jenis makanan yang Andra suka. Senyuman tak lekang dari bibirnya sejak berangkat hingga kini ia sudah turun dari mobil.

“Biar saya bantu bawa, Nyonya.” Sang sopir hendak mengambil kotak di tangan Zia, tetapi wanita itu menolak.

“Nggak usah, Pak, saya sendiri aja. Bapak tunggu di sini.” Zia pun bergegas masuk ke lobi, sedangkan sopirnya kembali ke mobil.
Zia menuju lift dan menekan tombol ke lantai lima, ada beberapa wanita juga di sana. Akan tetapi, mereka tak mengenal Zia sama sekali dan mengabaikannya begitu ia masuk. Ada dua perempuan yang berbincang pelan di depannya. Zia menajamkan pendengaran karena sayup-sayup ia mendengar nama suaminya disebut.

“Gimana gue nggak betah coba kerja di sini, bosnya aja modelan Pak Andra. Sumpah dia itu ganteng banget, bikin semangat kerja tiap hari,” ucap salah satunya. Zia menyipitkan mata.

“Tapi dengar-dengar dia itu duda, ya?” Yang satu lagi menyahut dengan senyum nakal. “Kalo misal kita lebih genit sedikit, dia pasti bisa jatuh cinta sama salah satu dari kita.”

Uhuk! Zia sontak terbatuk, dua wanita tadi menoleh dan menatapnya sinis.

Ya ampun! Andra itu suami gue, berani-beraninya kalian mau menggodanya! batin Zia kesal. Namun, kata yang keluar berbeda dari hatinya. “Apa liat-liat!?”

“Aneh.” Mereka berdecih tak senang.

Pintu lift terbuka, satu persatu mereka berkeluaran. Zia dan dua wanita tadi menuju ruangan yang sama. Zia berdecih dan terus melangkahkan kaki mengekor mereka. Salah satu dari mereka mengetuk pintu, dan terdengar suara dari dalam. Keduanya sontak merapikan pakaian masing-masing. Tangan keduanya sama-sama memegang map, mungkin mau menyerahkan berkas. Zia juga mengekor dari belakang.

“Pak, ini ada berkas yang perlu ditandatangani.”

Zia membuka dan menutup pintu agak keras, alhasil Andra dan dua wanita itu langsung menoleh. Pria itu tersenyum lebar melihat kedatangan sang istri. Ia langsung berdiri dan menyambut. Zia meletakkan asal kotak bekal ke meja.

“Sayang, kok kamu nggak bilang-bilang kalau mau datang,” ucap Andra sembari memeluk dan mencium kening Zia. Zia membalas pelukan itu dan mencium pipi sang suami.

“Zia tadi mau kasih surprise, eh ternyata Zia yang dapat kejutan dari mereka,” ucap Zia dengan nada tersakiti. Dua wanita itu sontak membelalakkan mata.

“Ma-maaf, Bu, maafkan atas ucapan kami tadi. Itu hanya candaan.” Keduanya sontak meminta maaf, sedangkan Andra menyipitkan mata, bingung.

“Pergi sana, suami saya mau makan siang.” Mendengar itu keduanya menganggukkan kepala dan buru-buru keluar.

Setelah mereka pergi, Zia mendorong Andra hingga mundur satu langkah. “Dasar penggoda!” seru Zia kemudian menjatuhkan bokongnya di kursi empuk milik sang suami.

“Mas penggoda? Siapa coba yang mas goda di sini?” tanya Andra sembari mengangkat bahu.

Zia kembali bangkit. “Itu dua cewek tadi mau genit-genitan sama Mas, kan? Zia dengar sendiri tadi di lift mereka ngomongin Mas. ‘Katanya Pak Andra itu duda loh. Kalau kita sedikit lebih genit, pasti bapak itu bakal jatuh cinta sama salah satu dari kita’ gitu mereka bilang di depan Zia. Coba Mas pikirkan sendiri apa yang ada di otak Zia sekarang?” Zia berkata sambil mengulangi ucapan wanita tadi.

Andra terkekeh sembari menggelengkan kepala. “Ya ampun, Sayang. Itu artinya mereka yang mau menggoda, bukan mas."

“Apa!?” Zia berkata ketus. “Makan gih tu bekal, capek tahu buatnya.”

Andra tak lagi berkomentar, langsung menarik kotak dan membukanya. Ia bergumam kagum melihat masakan sang istri. “Ayo, makan bareng, Sayang.” Zia ikut duduk di sebelah Andra, ia memang sengaja belum makan dari rumah agar bisa makan bareng suami. Keduanya pun melahap hingga habis.

***

Zia tak langsung pulang begitu selesai makan siang. Ia duduk di sofa tak jauh dari meja kerja Andra sembari memainkan ponsel. Andra memintanya pulang bersama, Zia juga sudah menyuruh sopir mereka pulang lebih dulu. Beberapa karyawan lalu lalang menjumpai Andra, di antara mereka tak jarang yanag menoleh pada Zia. Namun, wanita itu tak peduli dengan tatapan-tatapan itu. Toh, ia hanya diam saja menunggu sang suami bukan menganggu pekerjaan mereka.

Perubahan seorang Zia sangat kentara. Ia menjadi sosok yang rajin merias wajah sekarang. Ia juga selalu menggunakan panggilan ‘Zia’ pada dirinya sendiri ketika berbicara dengan Andra sama seperti pada orang-orang yang dicintainya. Ya itu memang sudah menjadi kesepakatan bersama. Beberapa orang yang tak mengenal kemungkinan akan mengira mereka bersaudara dengan panggilan itu. Namun, siapa yang peduli, itu panggilan mereka, terserah mereka.

Jam sudah menunjuk ke angka lima sore. Andra mematikan komputer dan meregangkan otot yang terasa kebas karena terlalu lama duduk. Ia melirik ke sofa, dan melihat Zia sudah tergolek di sofa dengan sebelah kaki di atas meja. Pria itu menggelengkan kepala. Istrinya benar-benar tidak akan menjaga image suaminya sebagai direktur perusahaan.

“Sayang, bangun, udah sore! Ayo, kita pulang!” seru Andra agak kencang dari tempat duduknya. Namun, tak ada pergerakan dari Zia membuat Andra harus bangkit dan mendekat. Pria itu berjongkok, terbesit rencana jail di kepalanya. Perlahan ia mengembuskan napas di telinga Zia hingga membuatnya menggeliat geli. Sayang sekali, itu belum terlalu memengaruhinya. Zia hanya membelokkan badan hingga menghadap punggung sofa. Andra kembali meniup telinganya yang satu lagi.

“Mas, ah!” Akhirnya ia pun bangun dengan kesal.

“Bangun, Sayang, bentar lagi gelap ini.” Andra membantunya duduk.

Zia mengucek-ucek matanya dan menatap sekeliling. “Udah kelar?"

Andra menganggukkan kepala dan mengulurkan tangan. “Ayo.”

Zia menerima uluran itu dan berdiri. Andra mengamit tas kerjanya dan menggandeng sang istri berjalan keluar. Tak jauh dari ruangan, Andra berhenti dan memerintahkan seorang pria yang bekerja sebagai asistennya untuk mengamankan kotak bekal yang masih tertinggal di ruangannya. Mata Zia yang masih sipit tak banyak berkomentar, kakinya saja melangkah tak tentu arah. Jika tak dipegang sang suami ia mungkin sudah kesasar ataupun terjatuh.

“Mas!” Zia tersentak dan membulatkan mata begitu tubuhnya terangkat. “Jangan digendong ah, malu!” Ia menyembunyikan wajahnya di dada bidang Andra.

Andra hanya terkekeh kecil dan terus masuk ke lift. Beberapa orang yang tadinya antri mau masuk mengurungkan niat begitu melihat Andra. Mereka hanya menyapa satu persatu, sedangkan Zia kian merapatkan wajah ke dada Andra hingga bisa mencium aroma tubuhnya.

“Mas, turunin!” ucap Zia begitu hanya tersisa mereka berdua di dalam lift. Ia sudah menjauhkan wajah beberapa inci dan menatap wajah sang suami.

Andra tak menyahut, hanya menundukkan kepala dan mengecup bibir Zia pelan. “Berisik, diam aja di situ.” Wajah Zia memerah, mulutnya terasa kering dan tak bisa mengeluarkan suara dari tenggorokannya. Lift berhenti, Andra melangkah keluar. Zia kembali menyembunyikan wajahnya hingga masuk ke mobil.

***

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nikah Dengan Duda? SIAPA TAKUT! (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang