Menikah memang selalu menjadi impian Zia di usianya yang tak lagi muda. Ia berharap seorang pria tampan, kaya, baik, dan sangat mencintainya tiba-tiba datang melamar ke rumah. Gadis itu bisa saja menerima jika dijodoh-jodohkan dengan siapa pun asal...
"Cinta itu bukan tentang menemukan orang yang sempurna, tapi tentang melihat orang yang tidak sempurna dengan sempurna." ***
Zia mendorong pintu gerbang besi rumahnya dan bersiul gembira. Ia tampak senang pulang dari butik tempatnya kerja karena hari ini Sabtu, pastinya besok libur dan malam ini ia akan keluar bersama teman-teman.
"Zia pulang." Zia mendorong pintu utama dan melangkah masuk setelah melepaskan sepatu kerja di rak. Ia mengedarkan pandangan, tak ada wujud manusia di sana. Dengan sedikit decakan ia terus melanjutkan langkah menuju kamarnya. Di sana ia menghempaskan tubuh dan menatap langit-langit kamar.
Tahun ini gadis itu telah menginjak usia 26 tahun, tetapi ia sangat manja dan selalu bertingkah seolah masih remaja. Bukan sekali dua kali orang tuanya meminta ia segera menikah. Namun, bukankah ini zaman modern? Kapan pun ia mau menikah, maka ia akan menikah.
Faktanya, bukan karena zaman. Zia memang belum ada yang melamar. Entah karena wajahnya yang pas-pasan atau memang tak ada lelaki tampan di dunia ini sesuai dengan kriterianya.
Zia bangkit dari tempat tidur dan duduk tepat di depan meja rias. Ia menatap wajahnya yang saat ini tampak berkilau karena minyak yang berlebih. Walaupun tak terlalu mengurus wajahnya, Zia memang memiliki paras yang manis dan tak bosan untuk dilihat.
"Zia, kamu udah pulang?" Suara Bunga, sang mama terdengar dari balik pintu kamar.
Zia menjawab, "Iya, baru aja, Ma." Ia bangkit dan segera membuka pintu.
Bunga menatapnya dengan pandangan sedikit kesal. "Ya ampun, anak gadis pulang kerja bukannya langsung mandi dan bersih-bersih, malah malas-malasan." Wanita itu menoel pipi Zia. "Liat, muka kamu semuanya berminyak, lebih dari gorengan."
"Aduh, Ma. Zia masih capek tahu. Mandinya nanti-nanti juga bisa. Mama masak apa hari ini?" Zia melenggang pergi meninggalkan sang mama yang sudah menggelengkan kepala. Gadis itu tiba di ruang makan dan melihat meja makan yang penuh dengan makanan enak dan mewah.
"Wah, Ma, ada apa ini? Kok Mama masak banyak dan enak banget ini." Ia langsung duduk dan mengambil piring. Gadis itu berniat menyendok nasi, tetapi tangannya tertahan karena dipegang oleh Bunga. Gadis itu merengut.
"Ma, Zia udah lapar banget ini. Zia makan duluan aja deh, papa kan lama pulangnya. Lagian ini malam minggu, Zia mau keluar sama teman-teman."
"Nggak, malam ini kamu nggak boleh ke mana-mana. Sekarang kamu mandi, dandan yang cantik." Bunga kembali menyusun piring yang tadi diambil Zia.
"Emang ada apaan sih, Ma? Ada teman papa yang datang atau siapa?" Zia mengerutkan dahi. Biasanya mamanya akan masak banyak kalau ada tamu datang, terutama rekan bisnis sang papa. Pasti Zia disuruh dandan yang cantik biar nama baik papanya tidak anjlok.
"Pokoknya kamu mandi dan dandan yang cantik." Bunga melirik arloji di tangan kirinya. "Bentar lagi papa kamu pulang." Wanita itu meninggalkan Zia yang memasang wajah bete, perutnya sudah keroncongan melihat makanan. Ditambah tadi siang ia tak banyak makan karena ada rencana keluar malam mingguan.
Daripada kena marah sang mama, mau tak mau Zia pun bangkit dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Zia bukan tipe cewek yang suka dandan berlebihan, apalagi hanya untuk menyambut tamu keluarga. Gadis itu hanya memakai pelembab wajah dan liptin. Rambutnya yang sepunggung dibiarkan tergerai indah. Rambut Zia sudah diurus sejak kecil makanya sangat cantik, lembut dan legam. Namun, kalau pergi bekerja ia kerap menggulung rambutnya karena merasa risi dan kesulitan bergerak bebas.
Ia mendengar suara ribut di lantai bawah. Pasti papanya sudah pulang. Zia menatap dirinya yang mengenakan dress sage selutut dengan atasan memperlihatkan lengannya yang putih. Bukan keinginannya, gaun itu dipilih sendiri oleh Bunga. Meski sempat mengomel tak terima, Zia tak akan melawan sang mama. Apa pun yang dikatakan mamanya, itulah yang terbaik menurutnya.
Setelah berdiam menatap diri sendiri di cermin, Zia pun turun untuk melihat suasana di bawah karena ia juga tak lagi mendengar kericuhan suara orang tuanya. Di ruang tamu kosong, di teras juga tak ada orang. Zia berjalan menuju kamar orang tuanya dan mengetuk pintu.
"Pa, Ma?"
"Iya, bentar. Papa kamu lagi siap-siap. Kamu tunggu aja dulu di situ."
Zia memutar bola matanya malas. Ia berjalan ke ruang tamu dan duduk sembari memainkan ponsel yang sejak tadi digenggam. Ia berselancar di aplikasi Facebook untuk melihat status orang-orang dunia maya. Sesekali ia terkekeh geli melihat postingan orang-orang yang lebai. Malam Minggu memang sosial media akan ramai membuat status, baik yang galau ataupun yang bahagia.
"Zia?"
"Iya, Ma?" jawab Zia tanpa menoleh ke arah sang mama yang sudah keluar kamar.
"Buka gerbangnya, Nak, kayaknya tamu kita udah di depan."
Zia meletakkan ponselnya di atas meja dan bergegas ke teras. Benar saja, ada sebuah mobil mewah di sana dengan lampu yang masih menyala. Tanpa pikir panjang, Zia membuka gerbang lebar hingga mobil itu memasuki pekarangan rumah mereka.
Ada tiga orang yang turun. Dua pria dan satu wanita. Satu pria tampak sudah beruban, sedangkan satu lagi masih tampak muda dan ... sangat tampan. Ada satu wanita, dilihat dari wajahnya kemungkinan seumuran dengan Zia. Zia mengembangkan senyuman kecil dan mempersilakan mereka masuk. Yang lebih tua tersenyum lebar.
"Kamu pasti Zia, kan?"
Zia menganggukkan kepala. "I-iya, Pak."
Pria itu tampak mengerutkan dahi sesaat sebelum kemudian terkekeh kecil. "Papa kamu belum mengenalkan kami ya. Tapi nggak apa-apa, nanti juga kenal." Ia melanjutkan langkah ke dalam.
"Hei, Erik!" Orang tua Zia sudah menunggu di ruang tamu.
"Apa kabar, Tion?"
Tion adalah nama papa Zia. Mereka tampak sangat akrab. Zia hanya menatap interaksi mereka dari ambang pintu. Ia sama sekali tak kenal mereka, rasanya ini pertama kali mereka datang ke rumah itu. Atau mungkin sudah pernah datang, tetapi Zia tak di rumah.
"Zia, sini, Nak. Ini Om Erik, teman papa. Erik, ini anak saya Zia." Tion memanggil Zia untuk mendekat.
Zia menghampiri mereka dan mencium tangan Om Erik. Ia juga bersikap sama pada dua orang lagi. Zia mencium tangan pria satu lagi, ia tampak kaget untuk sesaat dan hampir menarik tangannya, tetapi tak jadi. Lalu ia memasang wajah datar. Saat Zia akan mencium tangan si wanita, ia menolak.
"Nggak usah, Kak. Kakak lebih tua daripada aku. Namaku Cindy." Ia tersenyum manis dan memeluk Zia.
Zia hanya menganggukkan kepala kaku. Om Erik dan papanya tertawa melihat kejadian itu.
"Ini kedua anak saya. Ini Andra calon suami kamu, dan itu adiknya yang baru kenalan sama kamu." Om Erik menunjuk anaknya satu persatu.
"Ha? Calon suami?" Zia membulatkan mata dan menatap kedua orang tuanya.
"Iya, meskipun Andra sudah duda, tapi kalau dilihat-lihat kalian sangat cocok." Om Erik melanjutkan ucapannya dengan tawa yang renyah. Orang tua Zia juga ikut tertawa.
"Du-duda?"
***
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.