Setelah mendapat izin dari dokter, pihak keluarga bisa menjaga satu persatu ke dalam ruangan. Pertama Bunga lalu setelahnya Andra, sedangkan Endang sudah dijemput sang suami. Andra masuk dengan langkah berat, ia mendorong pintu dengan pelan, dan berhenti sejenak di ambang pintu dengan tatapan sendu ke arah brankar. Di sana terbaring wanita pucat yang paling dicintai.
"Ehem!"
Andra tersadar mendengar dehaman dari belakang, segera ia melangkah masuk dan menutup pintu rapat. Pria itu menarik kursi di dekat brankar dan duduk di sampingnya. Tangan Andra perlahan meraih sebelah tangan Zia yang tak terpasang infus. Tatapan pria itu memburam melihat leher Zia yang terdapat beberapa tanda biru.
Ia mengecup lembut permukaan tangan Zia dengan lembut dan menggengamnya erat. Air mata mulai menitik satu persatu, yang membuat pria itu semakin rapuh.
"Sayang, maafin mas yang belum bisa jadi suami baik buat kamu. Maafin mas yang nggak bisa jaga kamu dengan baik." Andra meletakkan kepala di samping tempat tidur dan memeluk lengan sang istri. Air matanya kian mengalir deras. "Mas minta maaf."
Ruangan itu sepi, hanya ada suara ventilator dan deru napas. Andra bernapas perlahan, tatapannya tak beralih dari jemari lentik milik Zia. Mungkin karena kelelahan sejak tadi siang, perlahan pria itu memejamkan mata, dan bernapas lebih ringan.
Setengah jam berlalu, Andra sudah tertidur nyenyak. Sedangkan di luar Bunga uring-uringan karena menantunya tak kunjung keluar.
"Pa, kita harus liat ke dalam." Bunga menatap sang suami.
Tion mengangkat kepala dan menatap pintu. "Nggak usah, Ma, biarkan aja Andra di dalam."
"Tapi ini udah setengah jam loh, dia ngapain selama itu di dalam?"
Tion belum sempat menjawab, dokter yang tadi menangani Zia telah muncul dan berniat masuk untuk memeriksa keadaannya. Namun, dokter itu terhenyak begitu melihat Andra tertidur. Bunga yang ikut mengekor membulatkan mata dan mendahului langkah dokter untuk membangunkan Andra.
"Ma!" Tion berusaha menahan.
"Heh, bangun kamu!" Bunga memukul bahu Andra secara kasar.
Andra mengangkat kepala dan membuka mata secara perlahan, tangannya masih memegang erat tangan Zia. Bunga menatapnya tajam.
"Ma, ayo kita keluar."
Dokter mulai mengambil langkah memeriksa Zia. "Nggak masalah, Pak. Keadaan Bu Zia sudah lebih baik dari beberapa jam yang lalu. Mungkin karena sentuhan dari orang yang dicintainya." Dokter itu tersenyum seraya mulai menulis hasil pemeriksaan.
Bunga tercengang, Tion tersenyum senang, sedangkan Andra tak memperlihatkan ekspresi apa pun. Hanya datar dengan mata yang sembab.
Setelah dokter selesai menjelaskan, ia pun pergi meninggalkan tiga orang yang memiliki ekspresi berbeda. Andra duduk kembali, Bunga menatapnya tak percaya.
"Ma, udahlah. Jangan buat masalah lagi, Mama lihat sendiri kan, Andra cuma sebentar di sana, keadaan Zia udah lebih baik. Zia itu--" Ucapan Tion terpotong begitu tangan Bunga terangkat.
"Mama nggak peduli, toh ini semua salah dia, wajar aja kalau dia yang harus andil dalam kesembuhan Zia." Wanita itu mengalihkan pandangan dan duduk jauh dari mereka.
Tion mendekati Andra dan menepuk bahunya. "Maafin mama mertua kamu ya."
Andra menganggukkan kepala tanpa senyuman. "Malam ini aku akan pergi menyelesaikan sesuatu, Pa. Titip Zia ya."
Tion tidak bertanya hanya menganggukkan kepala.
"Ke mana kamu pergi? Sekarang Zia terbaring tak sadarkan diri dan kamu mau berkeliaran di luar sana?" Bunga menatapnya tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Dengan Duda? SIAPA TAKUT! (END)
RomanceMenikah memang selalu menjadi impian Zia di usianya yang tak lagi muda. Ia berharap seorang pria tampan, kaya, baik, dan sangat mencintainya tiba-tiba datang melamar ke rumah. Gadis itu bisa saja menerima jika dijodoh-jodohkan dengan siapa pun asal...