• End

532 18 3
                                    

Andra kembali ke rumah sakit begitu melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Tion. Ia kembali saat sang pajar sudah menyinhsing dengan masih mengenakan pakaian kemarin. Ia tiba dengan wajah pucat dan cemas.

"Pa, Ma." Kini bukan hanya mertuanya, tetapi ada juga sang papa, Cindy, dan Revan menunggu.

"Andra." Bunga pertama kali bangun, ia langsung menghampiri Andra. "Zia, dia mengalami panik attack."

Andra menatap mereka satu persatu, kemudian membuka ruangan itu. Kini Zia tidak dipasang alat-alat medis lagi, tetapi tubuh tampak sangat lemah. Pria itu duduk dan mengusap wajah sang istri lembut.

"Sayang, Mas ada di sini sekarang."

Hubungan batin mereka tampak sangat kuat, begitu suara Andra keluar tangan dan mata Zia langsung bergerak. Perlahan-lahan hingga matanya terbuka setengahnya. Senyum di bibir wanita itu berangsur-angsur terbit.

Andra mengembangkan senyuman dan mengecup dahi Zia.

"Mas Andra." Suara Zia masih lemah.

Andra menganggukkan kepala pelan. "Iya, ini mas, Sayang."

Bagaikan diberi sumber kekuatan, Zia pun bergerak untuk duduk. Andra dengan cekatan membantu, wanita itu sontak memeluknya erat.

"Mas Andra, jangan tinggalkan Zia."

Andra mengusap punggung sang istri lembut. "Mas nggak akan meninggalkan kamu, Sayang. Jangan berpikir yang bukan-bukan, mas ada di sini, akan selalu ada di samping kamu."

Zia menguraikan pelukan dan menatap wajah sang suami. "Tapi, Zia nggak bisa jaga bayi kita. Zia nggak--"

"Ssttt." Andra menutup bibir Zia dengan telunjuknya. "Jangan katakan apa pun, Sayang, itu bukan salah kamu. Itu salah mas yang nggak bisa jaga kamu dengan baik." Ia kembali mengulurkan tangan untuk memeluknya.

Zia menggelengkan kepala. "Zia takut Mas bakalan tinggalkan Zia. Zia nggak tahu gimana hidup kalau Mas nggak mau Zia lagi."

"Kamu duniaku, Sayang, aku hanya bisa meninggalkanmu kalau aku udah nggak ada di dunia lagi." Keduanya beradu dalam tangis.

***

Sebulan kemudian Zia sudah kembali ke rumah, keadaannya juga sudah baik-baik saja. Kekhawatiran yang sempat merusak hati dan pikirannya perlahan menghilang dan keceriaan kembali dalam harinya.

Andra juga tak lagi mengekang, hanya berpesan agar lebih hati-hati ke mana pun ia pergi. Zia kembali menjadi wanita bebas yang selalu dimanja sang suami. Hanya saja ia masih penasaran ke mana perginya Celia, sejak kembali dari rumah sakit ia dan Andra tidak pernah menyebutkannya.

Hari ini Andra mengajaknya keluar, padahal bukan hari libur hingga membuat Zia bertanya-tanya.

"Mas, kita mau ke mana sih?" Zia bertanya saat mereka sudah masuk mobil.

"Nanti juga kamu tahu, Sayang." Mobil Andra meninggalkan pekarangan rumah dan melaju ke arah berlawanan ke taman kota. Zia semakin penasaran, tetapi juga tak lagi bertanya karena sia-sia, ia tetap tak akan bisa mendapat jawaban.

Mobil mereka membelok dan memasuki pekarangan rumah sakit yang belum pernah mereka datangi. Zia mengerutkan dahi sesaat sebelum terbelalak melihat pamflet di depan mereka.

"Mas, ngapain kita ke rumah sakit jiwa?" Zia tak bisa menahan diri. Ia menatap Andra dengan tatapan penasaran.

Andra tersenyum kecil sebelum menghentikan mobil di parkiran. Ia membuka sabuk pengaman dan turun lebih dahulu. Ia memutar dan membukakan pintu sang istri. "Ayo, Sayang."

Zia menyambut tangan Andra dan mulai melangkah bersama. Entah mengapa jantung Zia berdegub lebih kencang dari biasanya. Zia duduk di kursi tunggu saat Andra berbicara dengan seorang wanita yang tampak seperti perawat. Ia menganggukkan kepala beberapa kali dan mengarahkan mereka ke suatu ruangan.

Andra menggenggam tangan Zia erat, keduanya melangkah bersama mengikuti langkah sang perawat. Tak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah ruangan, perawat itu membukanya hingga tampaklah beberapa orang tengah duduk di ranjang masing-masing.

Tatapan Zia melotot begitu melihat sosok yang dikenal tengah memeluk boneka. Ia terkikik kemudian menangis, terkikik lagi dan menangis lagi. Zia mempererat genggaman tangannya pada Andra.

"Mas, i-itu Celia?" Suara Zia bergetar.

Andra menganggukkan kepala. "Iya, Sayang. Mas juga baru tahu seminggu yang lalu kalau dia dibawa ke rumah sakit ini. Sebelumnya dia hanya dirawat biasa di penjara, mas nggak tahu kalau dia separah ini."

"Dia di penjara?" Zia mengangkat kepala dan menatap sang suami.

Andra menganggukkan kepala. "Kasus dia banyak, Sayang. Selain menyakiti kamu, dia juga suka menyebarkan berita palsu, dan melakukan hal buruk pada karyawan perusahaan. Mas dapat semua bukti dan saksi, jadi dia dipenjara. Tapi mas nggak kalau kalau dia selama ini juga depresi."

Zia tak menyahut, tatapannya kembali ke dalam.

"Anakku, ini mama. Hihihi, jangan sembunyi, mama pasti akan dapatkan kamu. Hihihi ke mana kamu, Sayang?" Wanita itu melemparkan bonekanya ke lantai, ia juga turun untuk memungutnya lalu melakukannya berkali-kali. Setelah itu ia meletakkan boneka itu di atas tempat tidur, ia berdiri tegak, kemudian melenggakkan badannya seolah-olah tengah berjalan di catwalk.

"Lihat, Sayang, mama ini model. Mama juga bisa akting!" Ia berteriak dan mengambil boneka itu, memeluk dan menciumnya.

Namun, tiba-tiba ia menoleh ke arah pintu, tepat bertemu tatapan Zia. Wanita itu tak lagi tersenyum, kakinya melangkah gontai. Ia menatap Zia, Andra, lalu ke bonekanya lalu terisak.

"Lihatlah, Nak, papamu sudah punya istri baru. Dia nggak mau kamu lagi! Hanya ada kita berdua di sini." Wanita itu pun berbalik, memeluk bonekanya dan berbaring di tempat tidur.

Zia melepaskan genggaman tangannya dari Andra. Hatinya terasa sakit mendengar kalimat itu. Walaupun ia tahu Celia melakukan kesalahan saat berpisah dengan Andra, Zia bisa merasakan ada penyesalan besar di wajah wanita itu.

"Sayang, ayo kita pulang." Andra kembali menggenggam tangan sang istri.

"Dia-dia apa nggak bisa sembuh lagi, Mas? Apa ada cara biar dia kembali pulih?" tanya Zia ragu.

Andra terkekeh kecil. "Kamu memang wanita terbaik, Sayang. Setelah yang dia lakukan ke kamu, kamu masih berpikir bagaimana cara agar dia pulih. Bukannya harusnya kamu senang dia mendapatkan balasan yang setimpal?" Pria itu menarik tangan Zia meninggalkan ruangan itu.

"Mas, aku nggak pernah ingin ini terjadi pada Celia. Biar bagaimanapun dia itu mantan istri kamu, dia pernah buat kamu bahagia di masa lalu." Zia berkata dengan wajah tegang.

Andra merasakan aura berbeda itu. "Ya, dia memang pernah menjadi orang penting dalam hidup mas di masa lalu. Tapi sekarang sudah seharusnya memikirkan masa depan kita sendiri, kan?" Senyum pria itu semakin lebar.

Zia terdiam sesaat sebelum kemudian wajahnya menjadi lebih rileks. "Ya, kita juga harus memikirkan masa depan kita."

"Hmm, gimana kalau kita pergi keluar negeri untuk jalan-jalan. Negara apa yang ingin kamu kunjungi?" Kaki mereka melangkah keluar dari dalam rumah sakit menuju parkiran.

"Korea? Jepang?" Entah sebagai pertanyaan atau pernyataan, Zia menatap sang suami.

"Ke mana pun kamu mau, mas bisa bawa, Sayang." Andra mencium puncak kepala Zia dan membukakan pintu mobil.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nikah Dengan Duda? SIAPA TAKUT! (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang