6. Bunda Dimana?

80 13 2
                                    

Happy Reading

Ruangan berukuran 4×3m itu terasa sepi. Bahkan suara air conditioner terdengar sangat keras saking sepinya. Bau obat tercium dimana-mana, yang tentunya membuat sebagian besar orang merasa tidak nyaman berada terlalu lama disini.

Perlahan kelopak mata pemuda itu mengerjab, menyesuaikan retinanya dengan cahaya lampu yang tampak sangat terang. Dahinya mengernyit merasakan ada sesuatu yang mengganjal pada hidungnya.

"Oksigen?" tanya Janggala entah pada siapa. Pikirannya berantakan, kondisinya saat ini sudah seperti orang linglung. Mungkin efek obat bius yang masih tersisa.

Netra Janggala menyusuri seluruh penjuru ruangan, seolah mencari sesuatu. Setelah itu remaja jangkung itu terkekeh, jemarinya dengan gerakan acak mengusap helaian tebalnya yang dicukur sebagian dan tertutup oleh kasa dan plaster.

"Kenapa bagian ini yang luka? Harusnya lebih ke bawah biar gegar otak sekalian." gumam Janggala diakhiri tawa sumbangnya. Air matanya mengalir tanpa diminta, menganak sungai begitu saja. "Padahal bagus kalau aku bisa lupa ingatan." ujarnya dengan suara parau.

Tangisan tanpa suara Janggala terlihat menyakitkan. Wajah rupawan dengan beberapa goresan itu tampak sangat menyedihkan. Ekspresi datar yang biasa ia perlihatkan kepada dunia kini luntur oleh banyaknya air mata yang mendobrak keluar.

Namun tak lama kemudian tangisan itu terpaksa harus berhenti disaat nafas Janggala kian memendek. Bahkan bantuan dari selang oksigen seakan tidak membantu apapun. Dengan refleks tangannya mencari-cari tombol yang bisa mendatangkan para medis ke kamarnya.

Setelah tombol kecil itu ditekan, tak sampai 1 menit satu dokter dan satu perawat mendatangi kamarnya. Keduanya tampak panik hingga berjalan tergopoh-gopoh.

"Dokter, sesak." Adu Janggala lirih.

Tanpa banyak pertanyaan tenaga kesehatan itu memeriksa tubuh Janggala. Mulai dari detak jantung hingga oksigen yang masih terus bekerja. Keduanya tidak ada yang bermasalah, bahkan oksigen masih bekerja dengan baik.

"Saudara Janggala sempat overthinking ya?" tanya dokter yang menyadari wajah Janggala penuh dengan air mata dan keringat.

Janggala mau tak mau mengangguk.

"Saudara punya sesak nafas bawaan?" Tanya dokter itu lagi saat mendengar suara nafas Janggala.

"Iya dok."

"Tolong ditenangkan dulu pikirannya nak Janggala. Emosinya diatur, jangan sampai terlalu berlebihan. Karena penyebab asma kambuh itu salah satunya karena ledakan emosi dan juga stress." jelas dokter paruh baya itu dengan sabar.

Janggala menurut, remaja itu perlahan-lahan mulai melepaskan pikiran buruknya dan memfokuskan dirinya untuk bernafas dengan baik. Beruntung tak memerlukan waktu lama nafasnya sudah mulai membaik.

"Selain sesak apakah ada keluhan lagi nak?"

Janggala menggeleng, karena memang hanya itu yang ia rasakan. "Tidak ada dok, hanya agak lemas saja."

Dokter itu mengangguk mendengar jawaban Janggala, "Syukur kamu baik-baik saja nak. Padahal kemarin lukamu lumayan parah, tapi tubuhmu lumayan cepat beregenerasi." ucapnya lega.

Janggala tersenyum canggung, bingung harus bereaksi seperti apa.

"Sudah ya nak, digunakan lagi untuk istirahat ya? Nanti jangan lupa diminum obat anti nyerinya supaya nyeri di kepalamu tidak terlalu terasa."

Janggala mengangguk disertai dengan senyum tipis andalannya, "Iya, terima kasih dokter."

Ruangan yang cukup besar itu kini kembali sepi sepeninggalan dokter paruh baya itu. Janggala menghela nafas panjang, disaat seperti ini tidak ada yang menjaganya bahkan menunggunya sadar. Apakah eksistensinya se tidak penting itu? pikir Janggala.

Janggala Ingin Pulang [Park Jisung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang