Happy Reading
Tap tap tap
Suara langkah kaki Janggala menggema pada dinding lorong kelas-kelas kosong. Jam baru menunjukkan pukul setengah tujuh pagi tapi ia sudah berada di sekolah, padahal bel masuk baru berbunyi pukul 07. 30. Bukannya ia terlalu rajin, tapi ia tidak bisa diam terlalu lama dirumah.
Rasanya sangat memuakkan mendengar setiap kali bundanya membentaknya karena kesalahan kecil yang ia buat. Ia hanya menjatuhkan tutup botol miliknya tapi bundanya memarahinya seolah-olah ia sudah memecahkan gelas kaca berharga ratusan ribu.
Pun apa yang ditakutkan Janggala benar-benar terjadi tadi pagi, tepat sebelum ia sarapan bundanya baru saja mengecek nilai-nilai ujian akhir semester 1 nya. Sesuai dugaannya, Isabella benar-benar murka. Janggala mendapatkan tamparan di pipi tirusnya karena nilainya menurun. Ia tahu bundanya kecewa, ia juga kecewa dengan nilainya sendiri. Namun hatinya terasa jauh lebih sakit melihat dengan mata kepalanya sendiri tangan bundanya berwarna merah padam setelah menamparnya.
"Bukan cuma Janggala yang sakit, tapi bunda juga."
Pemuda pucat dengan pipi kanan yang merah itu terduduk di kursi depan kelasnya. Jemarinya mengusap darah kering disudut bibirnya, bekas tamparan Isabella. Kepalanya terasa pening akibat tamparan Isabella yang tak main-main, bukan hanya sekali bundanya menampar pipinya. Sudah tidak terhitung hingga pipinya pun saat ini memerah padam.
"Janggala? Ngapain sendirian disini?"
Janggala mendongak, Kevin, salah satu teman sekelasnya berdiri tepat didepannya sambil membawa tumpukan buku paket.
"Loh bentar, pipimu kenapa?" Tanya Kevin lagi. Anak ini memang agak cerewet menurut Janggala, tapi dia baik.
"Gapapa Vin, tadi tidak sengaja terbentur pintu waktu berangkat ke sekolah." Jawab Janggala bohong sambil tersenyum tipis.
Kevin menatap Janggala tak percaya, pemuda berkulit putih itu berkacak pinggang. "Kamu pikir aku anak TK yang gampang dibodohi? Anak TK sekarang aja susah dibohongin. Ayo coba bilang siapa yang abis nampar kamu?"
"Beneran terbentur pintu vin." Elak Janggala.
"Pintu mana yang bisa ngecap tangan kayak gitu hadehh." Kevin tidak habis pikir. Pemuda itu meninggalkan Janggala tanpa pamit lalu memasuki kelasnya. Tak lama ia kembali dengan sebuah tube kecil ditangannya.
"Sini coba liat pipinya." Suruh Kevin, pemuda berkulit putih itu tidak menunggu Janggala menoleh dan langsung mencengkram pelan rahang tegas Janggala.
Selanjutnya Kevin lantas mengusapkan gel aloevera di pipi memerah Janggala. Tangan kasarnya dengan telaten meratakan gel berbau harum itu hingga seluruh bekas tamparan itu tertutup oleh gel.
"Siapa yang nampar kamu Jangga?" Tanya Kevin lagi. Mata sipitnya menatap tepat di iris mata Janggala. Membuat yang lebih muda merasa terintimidasi. "Jangan coba-coba buat bohong lagi. Aku heran, kita udah temenan dari SD tapi sampai sekarang kamu masih menganggap aku ini seolah-olah orang asing." Tutur Kevin.
Janggala tersenyum pedih, ia benar-benar tidak terbiasa bercerita. Ia adalah pendongeng yang buruk. Selain itu bundanya juga selalu melarang ia menceritakan tentang keluarganya kepada teman-temannya, hal itu yang membuat Janggala benar-benar tidak berani membuka mulut untuk mengungkapkan kebusukan keluarganya.
Kevin menghela nafas lelah. Ia sudah menduga endingnya akan berakhir seperti ini. Hal ini sudah berkali-kali terjadi, seharusnya ia tidak kaget lagi. Namun ia masih tidak puas, ia akan selalu berusaha agar Janggala mau bercerita. Ia kasihan setiap kali melihat Janggala masuk ke sekolah dengan bekas luka baru di tubuhnya, entah di tangan maupun wajah. Namun pemuda itu terlihat biasa saja seperti tidak punya beban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janggala Ingin Pulang [Park Jisung]
Fanfiction"Dunia itu tidak pernah adil. Anak semanis ini harus menanggung tuntutan seberat itu. Apa salahnya? Bahkan dia tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia fana ini. Kamu yang memintanya untuk hadir." "Aku tidak pernah menginginkan anak cacat sepe...