Happy Reading
"Wira apa kabar?" tanya seorang wanita paruh baya dengan suara lembutnya.
Senyum lebar Janggala merekah melihat kedatangan wanita dengan kisaran usia 60 tahunan yang kini berjalan mendekat ke arah bed-nya.
"Cucu nenek sudah merasa lebih baik?" tanya wanita itu lagi. Ekspresi khawatir tercetak jelas pada paras ayu yang kini tak lagi muda. Jemari rentanya mengelus kepala Janggala hati-hati karena takut menyakiti raga penuh luka itu.
Masih dengan senyuman yang tersungging apik pada bilah bibirnya, Janggala mengangguk untuk menjawab pertanyaaan neneknya. Mata sipitnya terpejam, menikmati setiap sentuhan penuh cinta yang ia terima.
Netra wanita tua itu berembun mendapati keadaan cucunya yang tampak mengenaskan dengan banyaknya luka yang mulai mengering pada kulit pucatnya. "Ayah kamu dimana Wira?" tanyanya dengan suara bergetar menahan tangis.
"Wira tidak tahu nenek. Mungkin ayah masih sibuk, makanya belum bisa kesini." jawab Janggala jujur. Karena memang sejak ia dirawat ayahnya belum menjenguknya sama sekali.
Wanita tua itu mengurut pelipisnya frustasi diiringin dengan dengusan kasar yang tidak disangka-sangka. Janggala yang baru pertama kali mendengarnya tentu saja tertegun.
"Ayah kamu itu ya, sudah sejak dulu nenek peringatkan untuk lebih perhatian pada anaknya. Namun tidak digubris sama sekali."
Janggala tampak menghela nafas perlahan. Sebenarnya bukan hanya neneknya yang merasa jengkel pada sang ayah, namun ia juga. Sejak dulu mereka berdua jarang sekali bertemu karena Jacob yang selalu memprioritaskan pekerjaannya. Tapi karena Janggala merasa sang ayah sudah cukup baik karena masih memperhatikannya, ia tidak mau berpikir terlalu panjang. Menurutnya selagi ayahnya tetap menyayanginya, ia tidak masalah tidak bertemu dengan ayahnya.
"Tidak apa-apa nek, mungkin pekerjaan ayah saat ini membutuhkan perhatian lebih. Lagi pula Wira sudah baik-baik saja sekarang." jawab Janggala menenangkan.
"Tapi Wira, ayahmu itu sudah keterlaluan. Coba Wira pikir, masa iya seorang ayah lebih memperhatikan pekerjaannya daripada keadaan anaknya sendiri?" Tanya Gayatri, nenek Janggala realistis.
Janggala terdiam, lidahnya seolah kelu untuk mengucapkan sepatah kata saja.
~o0o~
Hembusan asap rokok tampak mengepul memenuhi segala penjuru ruang yang semula berbau earthy yang menenangkan. Ruangan penuh buku yang semula terasa nyaman kini justru menyesakkan dada. Ditambah dengan pertengkaran yang baru saja dimulai, membuat suasana perpustakaan mini milik keluarga Wijaya memanas.
"Kamu itu bisa gak sih mas, urus-urusanmu sendiri?!" Sentak wanita cantik dengan batang nikotin yang terselip pada jemari lentiknya. Dahi yang dirawat dengan treatment botox itu tampak menegang selagi si empunya berpikir keras.
Jayantaka mendengus, siap melemparkan asbak kayu yang berada didepannya jika saja logikanya tidak mengambil alih. "Kamu itu keterlaluan Isabel! Saya ini suami kamu, pantas kamu bicara begitu?"
"Eh ingat ya mas, kita menikah bukan karena cinta! Jangan ngomong seolah-olah aku ini menikah sama kamu secara sukarela!"
Suara tamparan menggema pada dinding-dinding penuh buku yang tertata rapi.
Siapa lagi pelakunya jika bukan Jayantaka?"MESKIPUN BEGITU NAMA KITA TERCATAT PADA CATATAN NEGARA ISABELLA AKSHITA! Dan status saya itu suami kamu!" jawab Jayantaka penuh penekanan. Jemari kekar yang terlapisi kulit pucat itu mencengkram pipi mulus Isabel yang tak berkutik dari tempatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janggala Ingin Pulang [Park Jisung]
أدب الهواة"Dunia itu tidak pernah adil. Anak semanis ini harus menanggung tuntutan seberat itu. Apa salahnya? Bahkan dia tidak pernah meminta untuk dilahirkan ke dunia fana ini. Kamu yang memintanya untuk hadir." "Aku tidak pernah menginginkan anak cacat sepe...