3. Dekapan Harsa

102 12 5
                                    

Happy Reading

Keheningan malam tidak berhasil menyepikan isi kepala Janggala. Ribuan sesal timbul di benaknya karena tidak berhasil menyembunyikan masalahnya dari sang bunda. Walaupun ini bukan kesalahannya, tapi tetap saja ia harusnya bisa mengantisipasi kemarahan bundanya. Janggala menghela nafas, kepalanya berdenyut karena terlalu keras berpikir.

Kini jam sudah menunjukkan pukul 4 pagi, Janggala tidak berhasil memejamkan matanya semalam. Bahkan di pagi-pagi buta begini pun dia masih belum mengantuk.

Mengabaikan pusing yang melanda kepalanya, Janggala bangkit dari kasurnya menuju meja belajar. Membuka lembaran demi lembaran diary, tempatnya mencurahkan isi hatinya selama ini. Setelah menemukan lembar kosong, remaja itu dengan lihai menorehkan tinta pena diatas kertas putih itu.

Tulisannya termasuk bagus untuk ukuran anak laki-laki. Itu semua berkat latihan rutin saat ia SD dulu. Tiba-tiba Janggala terkekeh, teringat kenangannya semasa kecil dimana ia dipaksa belajar menulis, hal yang sangat ia benci dulu. Namun sekarang hal itu menjadi salah satu kegemarannya. Tempatnya bercerita disaat tidak ada telinga yang mampu mendengarkan kesehariannya.

Ia menuliskan kesehariannya didalam diary kesayangannya itu untuk beberapa menit. Lalu memutuskan untuk kembali belajar karena sudah 2 hari ini ia tidak masuk sekolah. Asmanya sudah kambuh beberapa kali dalam sehari karena ia terlalu lelah ditambah dengan beban pikiran yang terlampau berat memperparah penyakitnya. Terlalu lemah kata bundanya.

Selesai membaca materi kimia, lantas remaja kelahiran Februari itu menata jadwal pelajaran hari ini dan memasukannya kedalam tas. Rencananya ia akan masuk hari ini, ia tidak mau terlalu lama meninggalkan pelajaran karena takut tertinggal pelajaran.

Sebelum mandi, Janggala sempatkan untuk berdoa sejenak. Berharap kepada Tuhannya hari ini akan lebih baik dari sebelumnya. Barulah ia beranjak untuk mandi.

~o0o~

"Badanmu sudah benar-benar pulih, Janggala?" Tanya Jayantaka saat melihat Janggala berjalan menuruni tangga.

"Sudah papa." Jawab Janggala sembari menarik kursi meja makan.

Marko merotasikan bola matanya malas, "Kalo belum sembuh ga usah sok ngide buat masuk sekolah dah. Ntar kambuh nyusahin orang serumah."

"Shh Marko!" Desis Jaya, tangan pengusaha itu terkepal menahan emosi. Tangannya berusaha ia tahan agar tidak melayang ke arah Marko. Mulut anaknya yang satu itu sudah seperti orang tidak pernah diajari sopan santun.

Janggala menunduk, merasa bersalah. "Sudah betul-betul sembuh kak, tenang saja. Kali ini aku tidak akan merepotkan lagi."

"Bagus deh kalo gitu."

Baru saja Janggala ingin mengambil nasi, sebuah amplop sudah disodorkan disebelahnya. Janggala mendongak, rupanya Isabella yang memberikannya.

"Uang untuk bulan ini. Gunakan baik-baik, jangan boros." Nasihat wanita ayu itu.

Janggala mengangguk mengerti diakhiri kalimat terima kasih.

By the way ia baru melihat ibunya pagi ini, dua hari sebelumnya ibunya tidak pernah menampakkan batang hidungnya sama sekali. Entah pergi kemana wanita itu, Janggala pun tidak tahu.

"Itu bunda tambah uangnya, untuk uang saku saat nanti kamu study tour. Pembayarannya kamu bayar sendiri." Jelas Isabella tanpa memandang Janggala. Wanita itu kini sibuk mengambilkan nasi untuk suaminya.

"Wah, terima kasih bunda."

"Tumben banget, kesambet apaan tan?" Sindir Marko.

Isabella tidak menjawab, wanita itu hanya melirik anak tirinya itu sinis.

Janggala Ingin Pulang [Park Jisung]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang