23

759 107 14
                                    

Di bawah langit yang cerah dengan awan-awan putih yang terhampar seperti karpet di langit biru, Dohoon dan Dohoon berjalan beriringan setelah sekian lama tidak bertemu. Keduanya telah merencanakan pertemuan ini dengan penuh antisipasi, menggambarkan keinginan mereka yang tulus untuk bersama-sama. Dohoon telah berangkat dari rumah saat masih sangat pagi agar kemungkinan tidak akan ada oramg yang mengikutinya. Menjelajahi jalanan dengan langkah-langkahnya yang mantap, menikmati momen kesunyian yang jarang terjadi di kota yang selalu ramai. Kehadiran keduanya satu sama lain menjadi titik terang dalam keheningan, menjanjikan momen kebersamaan yang akan diisi dengan tawa, cerita, dan kenangan indah yang akan mereka bagi.

Dalam balutan pakaian tebal, topi, masker, dan kacamata hitam, Dohoon telah bertransformasi menjadi sosok yang hampir tidak dikenali, seakan-akan berperan sebagai seorang idol yang tengah menyamar. Melihatnya seperti itu, Shinyu tidak bisa menahan tawa yang meledak secara spontan, menggambarkan kepolosan dan keceriaannya yang tak terbendung.

“Lepaskan saja masker dan kacamatamu, Dohoon. Kau bukan idol,” pinta Shinyu dengan nada penuh keceriaan, sambil meraih masker dan kacamata Dohoon dengan gesit.

“Kalau ketahuan bagaimana?” Dohoon bertanya cemas, tatapan khawatir terpancar dari balik wajah tampannya.

“Tenang saja, tidak akan ketahuan. Bawahan Ayahku tidak pernah menjangkau daerah ini,” jamin Shinyu, sambil meyakinkan Dohoon dengan senyuman hangat yang mengandung kepercayaan. Dohoon hanya mengangguk pasrah, meyakini kata-kata Shinyu sepenuh hati.

Mereka menikmati udara segar yang diselimuti aroma khas laut. Lokasinya yang berada di ujung kota memberikan kedamaian yang jarang didapat di tengah kesibukan kota. Suasana itu kembali memunculkan kenangan kecil dalam benak Shinyu; masa-masa di mana dia dan teman-temannya sering bermain di pinggir pantai, mengejar ombak dan mengumpulkan kerang-kerang kecil.

Dohoon memperhatikan Shinyu tanpa sepengetahuannya. Shinyu yang masih sibuk memandang laut dari kejauhan wajahnya terpancar angin laut membuatnya tampak bersinar indah.

Shinyu menoleh memergoki Dohoon dan yang di pergoki langsung membuang mukanya datar lurus ke depan. Shinyu menyeringai gemas.

“Jadi bisa di bilang ini adalah kampung halamanmu, ya?” Dohoon membuka percakapan.

“Benar sekali,” Shinyu menjawab sambil mengangguk. “Ini tempat di mana aku dibesarkan. Pengasuh panti selalu mengatakan bahwa aku sudah ada di sini sejak bayi,” ujarnya dengan senyum yang mencerminkan campuran antara kehangatan dan sedikit kesedihan.

Dohoon mengangguk mengerti, merasakan betapa bermaknanya tempat tersebut bagi Shinyu. “Aku bisa membayangkan bagaimana rasanya tumbuh besar di sini,” katanya dengan penuh pengertian.

Shinyu mengangguk, membenarkan perkataan Dohoon. “Ya, di sini banyak kenangan manis yang tercipta. Walaupun tidak selalu mudah, tapi aku bersyukur dengan semua yang sudah aku alami di sini,” ujarnya dengan penuh rasa.

Dohoon tersenyum, merasa tersentuh dengan pengalaman Shinyu. “Aku yakin tempat ini telah membentukmu menjadi orang yang kuat dan tangguh,” katanya dengan penuh keyakinan.

Shinyu mengangguk setuju. “Terima kasih, Dohoon. Ada begitu banyak pelajaran berharga yang aku dapatkan di sini,” katanya sambil menatap laut yang tenang di hadapan mereka, merenungkan betapa jauhnya perjalanan hidupnya dari masa kecil di panti asuhan hingga saat ini.

Merasakan suasana menjadi sedikit sentimental Dohoon berinisiatif untuk mengajak Shinyu membeli es krim. Ia melihat di belakang mereka ada warung sederhana yang menjual berbagai jajanan termasuk es krim.

Dohoon menggandeng tangan Shinyu dengan penuh kehangatan. “Bagaimana kalau kita beli es krim di sana?” ajaknya sambil menunjuk warung kecil di pinggir jalan.

[✓] Save Me, Save You | Doshin ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang