06

915 124 5
                                    

"Dohoon!" seru Shinyu tidak percaya saat melihat Dohoon sudah berkeliaran keesokan harinya. Dohoon hanya memandang Shinyu sekilas dengan tatapan malasnya, mencoba mengabaikannya.

"Kau ini tidak pernah mendengarkan perkataan orang lain ya?" ucap Shinyu sambil mengikuti langkah Dohoon dari belakang.

"Aku tidak bisa terus berdiam diri di rumah sakit seperti itu. Aku harus bekerja," jawab Dohoon dengan suara rendah.

"Dengan keadaanmu seperti ini?" tanya Shinyu, mengkhawatirkan kondisi Dohoon.

"Aku sudah lebih baik," jawab Dohoon dengan mantap.

"Benarkah?" ragu Shinyu.

Dohoon tiba-tiba berhenti melangkah dan berbalik, membuat Shinyu terkejut karena tak sempat menghentikan langkahnya, sehingga jarak di antara mereka sangat dekat. Wajahnya tepat di depan tatapan tajam Dohoon. Shinyu merasa gugup, menelan ludah dengan tegang.

"Aku bahkan bisa melemparmu dari sini ke rumahmu sekarang juga," ucap Dohoon dengan nada rendah, penuh penekanan. Napas hangatnya menerpa wajah Shinyu, membuatnya merasa darahnya berdesir panas.

"Ouhhh!" Shinyu tersadar akhirnya dan segera mendorong tubuh Dohoon menjauh darinya.

"Ja-jangan dekat-dekat seperti itu. Nanti aku ketularan sakitmu," gerutu Shinyu.

"Bagus kalau kau mengerti. Kalau begitu jangan dekati aku lagi supaya kau tidak tertular penyakit orang melarat ini," Dohoon menegaskan, suaranya menusuk hati Shinyu. Meskipun begitu, Shinyu tetap Shinyu. Dia sudah kebal dengan kata-kata tajam yang selalu dilemparkan Dohoon padanya.

Dalam keheningan yang tercipta, Shinyu menyadari betapa pedihnya kata-kata tersebut. Namun, meskipun tersakiti, Shinyu tetap tegar dan berusaha untuk tetap berdiri kokoh di hadapan Dohoon.

"Hei, tunggu!" seru Shinyu mengejar Dohoon dan menghadangnya.

"Apa?" Dohoon bertanya, mengerutkan keningnya.

"Ini." Shinyu menyerahkan sebuah salinan catatan materi pelajaran hari itu. Dia tahu bahwa Dohoon pasti membutuhkan catatan itu mengingat ujian tengah semester sudah semakin dekat.

Dohoon terdiam, menatap catatan itu dengan keraguan yang terlihat jelas. Shinyu menyadari keengganan Dohoon untuk menerimanya, lalu menarik tangan Dohoon agar menerima catatan tersebut. Dohoon menghela napas, tetapi matanya menunjukkan rasa terima kasih yang hangat.

"Terimakasih. Akan aku gunakan dengan baik," ucap Dohoon dengan suara datar, namun terkesan lebih hangat dari biasanya.

"Sama-sama," balas Shinyu.

"Lalu..." ucap Dohoon, memotong keheningan. Dia merogoh ke dalam tasnya dan menyerahkan sebuah amplop putih kepada Shinyu. Tanpa pikir panjang, Shinyu menerima amplop tersebut.

"Apa ini?" tanyanya, memandang Dohoon dengan curiga. Ketika membuka amplop itu, Shinyu terkejut menemukan sejumlah uang di dalamnya.

"Hutangku padamu. Biaya rumah sakit semalam," jelas Dohoon.

"Darimana kau mendapatkan uang ini? Kau mengambil pinjaman?" tebak Shinyu.

"Melakukan pinjaman bukanlah kebiasaan orang seperti aku," jawab Dohoon tegas.

"Apa kau menjual organ tubuhmu semalam?!" desak Shinyu dengan khawatir.

"Cukup. Aku mengembalikan uang itu karena aku tahu pasti itu bukan uangmu. Jangan bebani orang tuamu dengan hutang semata," tegur Dohoon.

"Aku tidak bersenang-senang. Itu uangku sendiri dan aku bebas menggunakannya untuk apa pun. Aku membantumu karena aku peduli," sahut Shinyu.

"Apa untungnya kau peduli padaku? Apa kau sedang beramal kepada Tuhan?" cemooh Dohoon.

[✓] Save Me, Save You | Doshin ♡Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang