Canggung

132K 1.8K 16
                                    

PESONA PAMAN SENO | Canggung

Seno menatap kosong kaca jendela yang menampilkan sinar matahari yang baru terbit dari ufuk timur. Sejak semalam dia tidak bisa memejamkan matanya karena mengingat apa yang terjadi pada dirinya dan keponakan istrinya.

Tidak. Mereka tidak melakukan sesuatu yang lebih dari sekedar cium4n. Seno lebih dulu menyudahi kegiatan mereka sebelum semuanya semakin jauh.

Hanya cium4n. Benar. Tapi entah kenapa susah sekali bagi Seno untuk melupakannya. Dia masih mengingat jelas bagaimana rasa bibir Rindu yang terasa manis di indra pengecapnya. Juga suara merdu gadis itu yang membuat hasratnya terbakar.

Semua yang terjadi pada dirinya dan Rindu benar-benar tidak pernah ada di dalam benak Seno. Apa mungkin dirinya mulai tertarik dengan keponakan istrinya itu?

Memangnya siapa pria yang bisa menolak pesona seorang Rindu Sarasvati Budiman? Gadis muda berusia 20 tahun yang memiliki paras menawan dan tubuh yang aduhai.

Awalnya Seno tidak terlalu memperhatikan keponakan istrinya itu. Namun seiring berjalannya waktu, Rindu mulai menarik atensinya. Apalagi dengan perhatian yang akhir-akhir ini dia dapatkan dari gadis itu.

Seno mengira jika Rindu hanyalah anak manja yang selalu bergantung pada kedua orang tuanya semasa Heru dan Rinda masih hidup. Namun ternyata pemikirannya salah besar.

Rindu sangat pandai memasak, itu yang hanya Seno tahu pada awalnya. Tapi semakin lama mengenal gadis itu, dia mulai mengetahui banyak kelebihan dari Rindu.

Namun yang tidak disadarinya, selama dia berusaha mengenal gadis itu, semakin besar rasa penasaran yang dia rasakan. Hingga akhirnya berubah menjadi sebuah ketertarikan yang membuatnya mulai memandang Rindu dengan pandangan berbeda.

Sekali lagi pria itu menghembuskan napasnya dengan berat. Netra jelaganya melirik ke arah ranjang dimana istrinya tengah tertidur dengan lelapnya. Padahal hari sudah mulai beranjak siang.

Merasa suasana hatinya pagi ini kurang baik, Seno memutuskan untuk mendinginkan pikirannya dengan mandi. Berharap bayang-bayang akan ciumannya bersama Rindu bisa hilang seiring dengan guyuran air yang membasahi tubuhnya. Namun bukannya hilang, bayangan itu justru semakin terekam jelas di otaknya. Diiringi dengan angan tentang kegiatan mereka setelahnya.

Seno cepat-cepat menggelengkan kepalanya berusaha menyingkirkan pikiran laknat itu. Bisa-bisanya dia mengkhayal sedang bermain di atas ranjang bersama Rindu. Pikiran macam apa itu?

Menggeram kesal, Seno lantas menyudahi kegiatan mandinya. Dia menyambar asal kaos dan celana pendek yang ada di lemari lalu memakainya dengan cepat. Lagi-lagi ketika dia melirik ke arah Hanum berada, wanita itu masih belum membuka kedua matanya.

Melihat hal itu Seno tanpa sadar mendesah berat. Dia pikir ucapannya kemarin malam bisa membuat Hanum sadar. Namun sepertinya wanita itu tidak menggubris apa yang dia ucapkan.

Tak ingin membuat suasana hatinya semakin buruk jika tetap berada di sini, Seno lantas memutuskan untuk keluar dari kamar. Tujuannya saat ini tak lain untuk menyegarkan pikirannya yang kalut sejak semalam. Dan mungkin segelas kopi hitam pahit bisa membuatnya lebih rileks.

Tapi, belum juga tujuannya terealisasikan, Seno justru mendapati sumber kekalutannya tengah berada di dapur. Tengah sibuk memasak sesuatu sepagi ini. Dengan tampilan yang cukup menyegarkan mata.

Sial.

Seno mengumpat dalam hati begitu netranya bersitubruk dengan netra bening milik Rindu. Padahal dirinya hendak berbalik pergi meninggalkan dapur.

Tak ingin membuat Rindu merasa jika dirinya sengaja menghindar, Seno akhirnya kembali melanjutkan langkah kakinya menuju dapur. Mencoba santai, pria itu lantas mengambil gelas kosong yang tertata rapi di atas rak.

Dari ekor matanya Seno bisa melihat jika Rindu tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. Namun dia berusaha untuk tetap tenang dan mulai meracik kopi kesukaannya.

"Paman mau buat kopi? Kenapa tidak meminta Rindu saja yang membuatkan?" tanya gadis itu yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya. Benar, tepat di sampingnya dalam jarak yang cukup dekat. Bahkan kedua lengan mereka saling bersentuhan.

"Em, Paman tidak ingin merepotkan kamu." balas Seno tanpa melirik Rindu.

Terdengar helaan napas kecil dari gadis yang ada di sampingnya ini. Dan hal itu menarik atensi Seno yang berusaha untuk acuh.

Rindu melipat kedua tangannya dengan punggung yang dia sandarkan pada pinggiran meja. Lalu menatap ke arah Seno dengan mendongakkan kepalanya karena tinggi badan pria itu yang lebih tinggi darinya.

"Padahal Rindu tidak merasa direpotkan." timpal gadis itu dengan wajah memberengut.

Seno hanya berdehem dan melirik masakan Rindu yang ternyata sudah tersaji di atas meja makan.

"Pagi sekali kamu memasak. Hanum saja belum bangun." celetuk Seno berusaha menghilangkan kecanggungan di antara mereka. Atau mungkin hanya dia yang merasa canggung?

Rindu kembali menghadapkan dirinya ke arah Seno. Menatap lamat-lamat pria itu dengan tatapan polosnya.

"Rindu mau ikut Paman ke bengkel." balas gadis itu.

Eh

Seno lantas menoleh ke arah Rindu dengan tatapan heran. Mau apa gadis ini ikut dengannya ke bengkel?

"Untuk apa ikut Paman ke bengkel?" tanya Seno tak ingin menutupi keheranannya.

Rindu terlihat gelagapan begitu Seno menatap ke arahnya. Sedetik kemudian semburat merah tampak menghiasi kedua pipi gadis itu.

"Y-Ya ingin saja, Paman." balasnya tergagap.

Seno tak langsung menjawab, memilih untuk kembali mengaduk kopinya yang telah terisi air panas. Hal itu membuat Rindu berpikiran jika pamannya tidak ingin dia ikut.

"Paman.." panggil Rindu setengah merengek, sembari mendekatkan tubuh depannya pada Seno. Gadis itu tanpa segan merangkul lengan sang paman.

Seno yang mendapati tingkah Rindu kali ini tentu saja mulai meradang. Jika biasanya dia akan merasa kesal dengan sikap manjanya, kali ini dia justru merasa terhibur. Apalagi dengan ekspresi gadis itu yang terlihat menggemaskan.

Ah, sial. Sejak malam itu Seno mulai berpikiran yang tidak-tidak pada gadis cantik ini. Tapi mau bagaimana lagi, Rindu juga sepertinya tidak mempermasalahkan hal itu.

Lagi-lagi rengekan Rindu membuat Seno tersadar dari lamunannya. Menahan rasa gemasnya, dia akhirnya membolehkan Rindu untuk ikut. Seno berusaha untuk tidak berpikiran macam-macam. Padahal tanpa sepengetahuannya, Rindu tengah merencanakan sesuatu untuk kembali menjeratnya.

"Baiklah. Kamu boleh ikut." kata Seno pada akhirnya.

Rindu memekik senang dan tanpa segan memeluk lengan Seno dengan manja. Bukannya risih atau menolak, Seno justru membiarkannya. Pria itu bahkan tampak tersenyum tipis dan mengelus puncak kepala Rindu dengan lembut.

"Em, karena Rindu juga sudah mandi, bagaimana kalau setelah sarapan kita langsung pergi ke bengkel Paman?" tanya Rindu dengan semangat.

Seno lagi-lagi mengiyakan ucapan Rindu. Menurutnya tidak ada salahnya dia berangkat lebih pagi ke bengkelnya. Hal itu bisa dia manfaatkan untuk menghabiskan waktunya berdua bersama Rindu lebih lama, eh.

Seno buru-buru mengenyahkan pikiran tersebut dari benaknya. Bisa-bisanya dia berpikiran seperti itu. Dia merasa aneh dengan dirinya sendiri. Setelah ciuman mereka semalam, pikirannya hanya dipenuhi dengan nama Rindu.

"Lebih baik kita sarapan sekarang." kata Seno yang tak ingin dirinya kembali berpikiran yang tidak-tidak pada Rindu.

"Lalu Bibi bagaimana?" tanya Rindu mengernyit.

"Biar dia sarapan sendiri nanti." balas Seno tampak acuh dan berlalu meninggalkan Rindu menuju meja makan. Tak menyadari raut wajah Rindu yang menyeringai senang karena ucapannya barusan.



Tbc.

_________

Cegil mulai manja nih bos, senggol dong ><

Pesona Paman SenoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang