Bab 4: The Unrequited Pain

2.2K 105 13
                                    


Hening melingkupi seisi mobil dengan deru pelan yang terdengar samar-samar. Entah karena terlalu lama tidak berbincang, atau memang keduanya sama-sama enggan memulai obrolan. Sore hari berbalut senja itu seakan tidak mampu menciptakan kesan romantis bagi kedua manusia yang sepakat untuk saling terdiam.

"Ras..."

Seketika Rasi menoleh ketika Nigel akhirnya menyebut namanya. Gadis itu hanya menunjukkan ekspresi wajah datar, enggan terlihat tertarik atas suara Nigel yang begitu ia rindukan.

"Rumah kamu masih yang dulu?"

"Masih."

"Masih tinggal sama Kak Andreas aja?" Nigel berusaha melontarkan pertanyaan itu sehalus mungkin.

Pertanyaan yang terlalu sederhana itu entah mengapa mampu mengusik perasaan Rasi. Hal yang ditanyakan Nigel seakan-akan cukup menjelaskan seberapa dekat hubungan yang mereka  memiliki  di masa lalu.

"Mama tinggal bareng kita," jawab Rasi setelah terdiam beberapa saat.

"Mama..."

"Belok kiri," potong Rasi.

Nigel terhentak ketika Rasi memotong ucapannya tiba-tiba. Laki-laki itu lantas mengemudikan mobilnya ke arah jalan kecil sesuai dengan arahan Rasi.

"Aku kira kalian udah pindah. Beberapa kali aku pernah sengaja mampir ke sini cuma buat mastiin ada kamu atau enggak," ujar Nigel.

"Nggak guna," balas Rasi.

Nigel mengangguk membenarkan ucapan Rasi. Usahanya selama hampir dua tahun untuk menemukan Rasi nyatanya memang tidak ada gunanya sama sekali. Nigel akan tetap kehilangan Rasi, seberapa keras pun ia berusaha untuk menemukan gadis itu di sisa-sisa ingatannya.

"Band kalian... gimana?"

Itu adalah pertanyaan pertama yang dilontarkan Rasi tanpa emosi menggebu atau tatapan sinis seperti sebelumnya. Pertanyaan itu mengalun hati-hati, seolah takut menyakiti hati yang mendengarnya.

"Bubar," jawab Nigel lugas. "Enam sampai tujuh bulan kita berusaha mertahanin band itu, tapi nggak bisa."

"Karena Kinan?"

Decit mesin mobil terdengar nyaring saat Nigel mengerem mobilnya tiba-tiba. Tampaknya nama itu menjadi keramat hingga menimbulkan reaksi terluka yang tergambar jelas dari raut wajah Nigel. Laki-laki itu masih belum bisa terbiasa untuk menghadapi rasa kehilangannya atas kepergian Kinan, sahabatnya.

"Nggak ada band yang bisa jalan tanpa vokalis," ujar Nigel pada akhirnya.

"Kalian bisa cari vokalis baru," celetuk Rasi, yang entah mengapa begitu tertarik membahas hal ini. "Bukannya malah bubarin band yang udah lama jadi mimpi kalian."

Nigel tersenyum tipis sebelum melajukan mobilnya kembali. "Itu mimpi Kinan, dan dia udah pergi jauh ninggalin mimpi itu disini."

"Padahal kalian bisa aja nerusin mimpi itu," balas Rasi, lalu memalingkan wajahnya kembali.

"Nggak guna."

Kini giliran Rasi yang terdiam mendengar ucapan singkat Nigel. Gadis itu masih mengarahkan pandangan ke luar jendela, sementara pikirannya sudah berkelana entah kemana.

Ada yang berbeda dari sosok Nigel yang dikenalnya dua tahun lalu. Nigel yang kini duduk di sebelahnya seperti cangkang kosong tanpa nyawa. Dan Rasi bisa merasakan kekosongan itu bahkan saat pertama kali keduanya bertemu lagi setelah sekian lama.

***

Mungkin sebenarnya Nigel sudah mati sejak lama.

Sejak Kinan—sahabat sekaligus cinta pertamanya—pergi meninggalkannya dengan cara yang paling ia benci. Atau sejak ia tidak bisa mempertahankan perasaannya untuk Rasi yang saat itu setia menunggu hatinya terbuka.

Turning PointTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang