»»--⍟--««Chapter 2»»--⍟--««

134 82 64
                                    

Dadanya sesak dengan mata yang sudah sangat sembab karena air mata. Aneska melintasi lorong-lorong kecil menuju jemuran di pondok pesantrennya.

Setiap langkahnya terasa berat, seperti beban perasaan yang tak tertahan. Embusan angin sepoi-sepoi pagi menyambutnya, tetapi tak mampu meredakan kegelisahan yang merayap di dalam dirinya.

Saat tiba di area jemuran, pemandangan yang menanti Aneska begitu menenangkan, namun juga menyisakan rasa hampa di dalam hatinya.

Barisan jemuran yang terbentang menghadap matahari pagi, dihiasi oleh beragam warna pakaian dan kain-kain yang berkibar lembut oleh tiupan angin.

Sinarnya yang memancar membelai jilbab bergo yang berantakan di tangannya, memantulkan kilauan yang hampir seperti sebuah seruan untuk menenangkan dirinya.

Aneska duduk di antara jemuran-jemuran itu. Dia menutup mulutnya erat-erat, berusaha keras menahan isak tangisnya agar tak ada yang mendengar.

Namun, setetes air mata tetap jatuh, meresapi kain jilbabnya yang kusut akibat ditarik oleh Sofia.

Perlahan, dia merapikan jilbabnya, menyusunnya dengan hati-hati meski hatinya masih bergetar oleh emosi yang meluap. Setiap sentuhan tangan di kain jilbab itu seperti menyiratkan sebuah harapan.

Angin pun berbisik, membawa aroma harum dari dedaunan segar di sekitar pondok pesantren.

Aneska memejamkan mata sejenak, mencoba meredakan detak jantung yang terasa begitu keras.

Dia ingin menemukan kedamaian di tengah kekacauan perasaannya, mencari jawaban atas pertanyaan yang masih bergelayut di pikirannya. Lama kelamaan, isak tangisnya mereda,
digantikan oleh hembusan angin yang mengusap lembut pipinya yang masih basah oleh air mata.

Aneska bangkit, mengambil napas dalam-dalam, dan memandangi langit di atasnya. Meski hatinya masih terluka, namun dia yakin, seperti matahari yang terbit setiap pagi, ada harapan baru yang menanti di balik cakrawala kehidupannya.

"Apa salahku, ya Allah?" rengek Aneska sambil merangkul dirinya sendiri di antara barisan jemuran yang sepi. Air matanya masih mengalir deras, tak kunjung berhenti seiring dengan rasa sakit dan kekecewaan yang memenuhi hatinya.

Di keheningan pagi itu, Aneska merasa terisolasi. Tidak ada yang datang untuk menghbundarnya, tidak ada yang menawarkan kata-kata penghbundaran di saat dia membutuhkannya.

Dia merenung tentang mengapa hidupnya di pondok pesantren begitu pahit, mengapa tak ada santriwati lain yang mau berkawan dengannya, mengapa selalu dia yang menjadi sasaran cemoohan dan sindiran.

"Kenapa, ya Allah? Kenapa engkau ngasih cobaan semacam ini kepadaku?" desisnya lirih, suaranya terhenti oleh rintihan tangisannya yang tak tertahan.

Namun, tak ada jawaban yang datang. Hanya sunyi yang semakin memperdalam luka di hatinya.

Aneska menatap jilbabnya, tangannya gemetar saat dia mulai mengucir ulang rambutnya.

Setiap gerakan yang dilakukannya terasa seperti menemukan sedikit ketenangan di tengah ketakutan yang menggelayutinya.

Dia masih tidak menyadari kehadiran yang tak diinginkan di sekitarnya, tidak tahu bahwa sebuah aura misterius terus memandanginya dari kejauhan.

Dengan perlahan, dia kembali memakai jilbabnya, merapikan lipatan-lipatan kainnya dengan hati-hati.

Namun, sentuhan lembut angin yang menyelinap di antara barisan jemuran membuat bulu kuduknya merinding.

Ada sesuatu yang tak dia kenali sama sekali, sebuah kehadiran yang tak terlihat namun terasa begitu nyata.

Bayangan gelap yang berdiri di antara pepohonan menyaksikan setiap gerakan Aneska dengan tatapan yang penuh keingintahuan.

Hantu itu terus memandanginya, tanpa sepengetahuan Aneska yang tengah sbundak dengan urusannya sendiri.
Aneska, masih terombang-ambing dalam gelombang ketakutan dan kebingungannya, berusaha keras untuk menenangkan diri sendiri.

Dia mencoba mengusir semua pikiran buruk yang merayap di dalam pikirannya.

Namun, di balik semak-semak yang rimbun, hantu itu tetap bersikap diam. Matanya yang redup terus memandang, tanpa ekspresi yang terbaca.

Aneska mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ada kilatan dingin yang menyentuh belakang lehernya, membuatnya merinding hingga ke tulang.

Dia menoleh, mencari sumber sentuhan itu, namun tak ada apa pun kecuali jemuran-jemuran yang berkibar pelan.
Di kejauhan, hantu itu tersenyum, senyum yang tak terbaca oleh mata manusia.

Dia masih tak sadar bahwa kehadiran yang tak terlihat itu tetap mengawasinya, siap untuk mengganggu kapan pun kesempatan muncul.

Dan di bawah sinar matahari yang semakin tinggi, di antara jemuran-jemuran yang terus berkibar, Agatha memandang dingin pada gadis itu.

Ya, hantu itu bernama Agatha. Tubuhnya bergelombang di antara semak-semak, kehadirannya terbungkus dalam aura yang mencekam.

Wujudnya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata manusia biasa, karena dia adalah hantu yang terikat pada pondok pesantren ini sejak zaman dahulu.

Wajah Agatha pucat seperti kain kafan, dengan mata yang menyipit dan memancarkan cahaya hijau kebiruan. Bibirnya terkatup erat.

Saat Aneska hendak memakai jilbabnya dengan rapi, Agatha mengambang perlahan-lahan mendekatinya dari belakang.

Langkah-langkahnya tak bersuara, hanya getaran angin pelan yang menyertainya. Ketika dia berada tepat di belakang Aneska, Agatha berhenti dan menatapnya dengan intens.

Aneska, yang sedang sbundak dengan urusannya, belum menyadari keberadaan Agatha yang ada di belakangnya.

Dia merasa lega karena tangisnya telah mereda, namun kekhawatiran dan rasa tidak aman masih menyelimuti hatinya.

Tiba-tiba, udara di sekitar Aneska terasa semakin dingin. Suasana yang tadinya hangat dan menyenangkan berubah sedikit mencekam.

Aneska merasakan sesuatu yang tak beres, tapi dia tidak bisa mengidentifikasi apa itu.

Wajahnya yang aneh terpampang jelas.
Agatha semakin berani, walau Aneska belum menyadari keberadaannya.

Dengan hati-hati, dia mendekat ke arah Aneska yang tengah tertunduk, anggota tubuhnya samar dalam gerakan yang tak beraturan. Dia mencoba menembus dunia nyata dengan sentuhan lembutnya.

Ketika jarak mereka semakin dekat, Agatha mengulurkan tangannya. Dia meraih kepala Aneska dengan lembut, mengusapnya dengan penuh kasih sayang. Aneska, yang masih tenggelam dalam kebingungannya sendiri, merasa sentuhan itu seperti hembusan angin lembut yang menyapu kegelisahannya.

"Hai," gumam Agatha pelan, suaranya merintih.

Aneska masih belum sadar pada keberadaan Agatha. Dia terduduk di antara jemuran-jemuran itu, mencoba menenangkan diri dari kecemasan yang melanda. Tangannya gemetar saat dia mengusap air mata yang masih menetes di pipinya.

Agatha merasakan jilbab yang Aneska kenakan begitu lembut di ujung jarinya.

Dia tersenyum dalam hati, merasa lega bahwa sentuhannya bisa memberikan sedikit kehangatan pada gadis itu.

Dan di antara jemuran yang berkibar pelan, di bawah sinar matahari yang semakin hangat, Aneska tidak sadar bahwa ini akan menjadi babak baru dalam hidupnya.

Suara Agatha lirih, namun belum sanggup didengar oleh Aneska. Entah berapa lama dia tidak sadar dengan hal ini.

Hal yang paling pasti, hantu itu menaruh perhatian padanya. Agatha sendiri bahkan merasa bingung kenapa dia merasa sangat tertarik pada gadis ini.

Mereka tidak saling mengenal, tidak punya hubungan apa pun di masa lalu. Aneska juga hanya seorang santriwati biasa di pondok ini. Hanya terkenal karena menjadi samsak bagi teman-temannya yang lain.

"What happened to you?"

Risak & Rusuk [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang