»»--⍟--««Chapter 18»»--⍟--««

31 22 18
                                    

Alina duduk di sisi tempat tidur, memperhatikan wajah pucat Aneska dengan khawatir.

Cahaya remang-remang di kamar menyoroti wajahnya yang lelah, menciptakan bayangan-bayangan yang menggerakkan hatinya yang gelisah.

Dia merasakan denyut jantung Aneska yang lemah, dan kepanikan mulai melanda. Apa yang bisa dilakukannya? Bagaimana bisa Aneska sampai pada kondisi ini?

"Kayaknya ada gangguan di sini," gumam Alina, suaranya hampir tercekat oleh ketegangan. Dia mengelus lembut kepala Aneska yang masih terbungkus jilbab hitam.

“Nes,” bisiknya dengan nada penuh penyesalan. Air mata Alina menetes di pipinya saat dia merasakan suhu tubuh Aneska yang naik turun. Apa yang harus dia lakukan?

Tanpa ragu, Alina bangkit dan menuju lemari di sudut kamar. Dia mengambil selimut merah kesayangan Aneska, yang biasa dipakainya saat mereka bersama-sama. Alina berharap dengan meletakkannya di atas tubuh Aneska, itu akan memberikan sedikit kenyamanan bagi sahabatnya.

“Sini, Nes,” ucap Alina lembut, melingkarkan selimut itu di sekitar tubuh Aneska. Setelah itu, dia mengambil botol kecil minyak kayu putih dari laci kecil di meja samping tempat tidur.

Alina tahu bahwa minyak kayu putih adalah obat mujarab neneknya untuk berbagai macam penyakit ringan. Dia berharap dengan mengoleskan sedikit minyak itu di pelipis Aneska.

Dengan hati-hati, Alina meneteskan beberapa tetes minyak kayu putih ke ujung jarinya dan menggosokkannya perlahan di pelipis Aneska. Dia melakukannya dengan penuh perhatian, berharap bahwa setiap sentuhan itu akan membawa sedikit keajaiban dan membantu Aneska kembali sadar.

“Sadarlah, Nes,” desis Alina, suaranya penuh harapan. Dia duduk kembali di samping tempat tidur, memandangi wajah damai Aneska dengan doa-doa yang terucap dalam hatinya. Alina tahu bahwa dia harus tetap tenang dan tabah, karena Aneska membutuhkannya sekarang lebih dari sebelumnya.

Waktu berlalu dengan lambat di dalam kamar yang sunyi itu. Alina tidak tahu berapa lama mereka telah berada di sana, tetapi dia tidak peduli.

Ketika kedatangan kakak asrama, Alina segera merasakan suasana yang berubah. Langkah kakak asrama memecah keheningan koridor asrama, namun detak jantung Alina terdengar semakin keras. Dia tahu bahwa saatnya menjelaskan situasi kepada mereka telah tiba, dan kekhawatirannya tentang reaksi kakak asrama terhadap kondisi Aneska.

"Ini kenapa?"

Tapi sebelum dia bisa melanjutkan, Jelita menyambung, mencoba menjelaskan sebaik mungkin, "Pingsan, kak."

“Yaudah, bawa ke UKS aja. Takutnya kenapa-napa nanti,” jawab kakak asrama dengan cepat, menunjukkan kepeduliannya meskipun terdengar sedikit kasar.

Alina dan Jelita mengangguk, merasa lega mendapat respons yang cepat, dan bersama-sama mereka menggendong Aneska yang masih tak sadarkan diri menuju Unit Kesehatan Sekolah.

Perjalanan mereka ke UKS tidaklah mudah. Sorot mata penasaran dan bisikan-bisikan dari sesama santri membuat mereka menjadi pusat perhatian di sepanjang jalan.

Beberapa komentar menyakitkan terdengar di telinga mereka, membuat Alina dan Jelita merasa marah dan kesal. Namun, mereka memilih untuk tetap fokus membawa Aneska ke tempat yang tepat untuk mendapatkan pertolongan.

“Ini yang gagal itu, sih?” bisik salah satu santri perempuan dengan nada sinis, yang terdengar begitu keras di tengah kerumunan.

"Iya, kayaknya. Dari wajahnya aja udah keliatan, kayak orang mati dan gak ada tujuan," timpal yang lain dengan nada merendahkan, membuat Alina merasa panas.

"Moga cepat mati, deh," ujar yang lainnya dengan nada setengah bergurau, sebuah pernyataan yang begitu kejam dan tidak manusiawi.
Alina merasa seakan-akan berada dalam pusaran emosi yang bertentangan.

Di satu sisi, ada kekhawatiran mendalam tentang keadaan Aneska, namun di sisi lain, dia merasa marah dan terluka oleh komentar-komentar keji yang terus menerus menghujani mereka.

Tetapi, dalam kekacauan pikiran itu, satu hal yang tetap jelas bagi Alina: Aneska adalah sahabatnya, dan dia bertekad untuk memberikan segala yang terbaik untuknya.

Alina memilih untuk mengabaikan bisikan-bisikan yang tidak berarti dan bersikeras untuk tetap fokus membawa Aneska ke UKS.

Kata-kata itu menusuk hati Alina dan Jelita seperti pisau tajam. Mereka merasa marah dan kesal, ingin sekali membela Aneska dari ejekan dan hinaan yang tidak berdasar itu. Tapi, mereka tahu bahwa saat ini yang paling penting adalah membawa Aneska ke UKS secepat mungkin.

Dengan ekspresi geram, mata mereka memandang santriwati yang julid dan suka mencibir orang. Namun, meskipun penuh dengan kemarahan, Alina dan Jelita memilih untuk tetap diam. Mereka tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk dengan terlibat dalam percekcokan langsung.

Dengan hati yang berat, mereka melanjutkan langkah mereka menuju UKS, membawa Aneska yang terus tak sadarkan diri. Meskipun dihantui oleh kata-kata pedas yang terus terngiang di telinga mereka.

Setelah mengantar Aneska ke UKS, Alina dan Jelita merasa terpaksa untuk segera pergi. Meskipun hati mereka ingin tetap berada di sana untuk menemani teman mereka yang sedang sakit, namun peraturan pesantren tidak mengizinkan mereka untuk berlama-lama di UKS.

Dengan berat hati, mereka meninggalkan Aneska di tangan para petugas medis, berharap yang terbaik untuk kesembuhannya.

Namun, ketika mereka keluar dari UKS, suasana hati mereka berubah menjadi kesal. Di lingkungan pesantren ini, seharusnya ada perasaan kepedulian dan empati antara sesama santri, terutama dalam situasi yang genting seperti ini.

Tetapi, apa yang mereka lihat adalah sikap acuh tak acuh dari masing-masing organisasi yang bertugas di pesantren.

Alina dan Jelita merasa frustasi dan kecewa. Mereka berdua tahu betapa pentingnya dukungan moral dan empati dalam proses penyembuhan seseorang, terutama di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat di mana nilai-nilai kemanusiaan dijunjung tinggi. Namun, sikap acuh tak acuh dan keengganan untuk membantu yang mereka saksikan hanya menambah beban emosional mereka.

Mereka berjalan pergi dengan langkah berat, hati-hati menghindari tatapan sinis dan bisikan-bisikan yang mungkin mengganggu. Tetapi, di dalam hati mereka, api kemarahan terus berkobar.

Mereka bertanya-tanya apa yang bisa mereka lakukan untuk mengubah sikap dan budaya di lingkungan pesantren menjadi lebih peduli dan empatik, terutama dalam menghadapi situasi-situasi genting seperti yang mereka alami saat ini.

Alina dan Jelita berjalan menjauh dari UKS. Mereka melihat beberapa anggota dari organisasi-organisasi tersebut lewat begitu saja tanpa sedikit pun memberikan perhatian kepada Aneska.

Sungguh tidak adil rasanya. Aneska adalah salah satu dari mereka, saudara seiman yang seharusnya mendapatkan dukungan dan perhatian dari sesama santri. Namun, kenyataannya sangat menyakitkan bagi Alina dan Jelita.
Dengan perasaan yang campur aduk antara kecewa dan kesal, Alina dan Jelita berjalan menjauh dari UKS.

Mereka merasa bahwa mereka sendirilah yang harus menjadi penopang bagi Aneska dalam saat-saat sulit seperti ini. Meskipun dihadapkan pada sikap acuh tak acuh dari sesama santri dan organisasi di pesantren.

Risak & Rusuk [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang