»»--⍟--««Chapter 1»»--⍟--««

218 89 100
                                    

"Lepaskan rambutku, kalian sudah berani membuka jilbabku!" desis Aneska dengan nada tinggi, seraya berusaha melepaskan cengkeraman Sofia yang kuat pada rambutnya.

Dia merasa marah, tak bisa lagi menahan diri. Namun, cengkeraman itu semakin kuat, tak ubahnya seperti belitan ular yang enggan melepaskan mangsanya. Aneska merasakan sakit menusuk kulit kepalanya.

"Lo pikir bisa macam-macam sama kami, hah?" Sofia menyeringai, matanya berkilat penuh kebencian.

Di sisinya, Mel dan Vivi, senyuman licik menghiasi wajah mereka. Mereka berdua tampak bersiap untuk ikut dalam pertarungan ini.

Aneska menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit dan kemarahan yang mendidih dalam dirinya. Dia tahu, melawan satu lawan tiga tidak akan mudah.

"Diam kalian!" Aneska melontarkan teriakan, mencoba menakut-nakuti lawannya. Namun, ketiganya hanya tertawa sinis, seolah meremehkan ancamannya.

Para santri yang berada di sekitar kantin itu terdiam, sebagian besar memilih untuk hanya menyaksikan pertarungan ini dari kejauhan.

"Kamu nggak bisa buat aku takut, Sofia!" serunya. Matanya berbinar, terlihat merah dan air menggenang di sana.

Sofia terkejut oleh tindakan Aneska.

"Kita belum selesai!" bentaknya sambil menegakkan diri.

Sayangnya, dia merasakan kekuatannya mulai memudar saat dia merasakan tekanan dari tiga lawan sekaligus.

Meskipun telah berusaha sekuat tenaga, namun serangan itu membuatnya tak sanggup lagi untuk melawan.

Dia merasakan cengkeraman Sofia semakin kuat pada rambutnya, sementara Mel dan Vivi juga tetap membantu memojokkannya.

Dengan langkah ragu, ia akhirnya melepaskan diri dari cengkeraman Sofia.

Dia merapikan kembali jilbabnya dengan gemetar, mencoba menahan tangis. Kekecewaan dan rasa malu melanda hatinya saat menyadari bahwa dia tidak mampu menghadapi tiga lawan sekaligus.

"Babi lo! Dasar, najis!" sindir Sofia dengan nada sinis, menambah luka di hati Aneska.

Dia berdiri di sampingnya, menatap dengan tatapan meremehkan yang membuat Aneska semakin terpojok.

Santriwati lainnya ikut menertawakannya. Mereka tampak tidak peduli sama sekali, bahkan tampaknya puas melihat kekalahannya.

Tanpa berkata sepatah kata pun, Aneska memilih untuk pergi dari tempat itu. Dia tahu bahwa jika dia tetap berada di sana, dia akan meledak dalam tangisan di depan mata Sofia dan teman-temannya.

Dia tahu bahwa Sofia akan semakin mengejeknya jika dia sampai menangis di depan mereka.

"Pengecut, anjing!" Sofia berteriak lagi, namun Aneska berusaha tidak peduli.

Dengan langkah yang berat, Aneska meninggalkan tempat itu.

Tangisannya tertahan, namun kepedihan dan kekecewaan dalam hatinya terasa begitu dalam.

Aneska duduk sendirian di pojok jemuran pondok pesantren, di antara pakaian yang bergantung rapat.

Cahaya remang-remang senja menyusup masuk melalui celah-celah jemuran, menciptakan bayangan-bayangan samar di sekelilingnya.

Dia merasa terisolasi, terpisah dari ramainya kehidupan di pesantren.

Dalam keheningan yang menyiksanya, air mata tak terbendung lagi membanjiri mata Aneska.

Dia meratapi nasibnya yang terasa begitu menyedihkan.

"Kenapa seakan-akan Allah nggak adil buat aku?" bisiknya lirih, suara terputus oleh tangisannya yang tersedu-sedu.

Perasaan kesepian dan kekosongan melanda dirinya seperti ombak yang menghantam batu karang.

Aneska merasa tak ada seorang pun yang memahami kegelisahan dalam dirinya.

Teman-temannya, yang seharusnya menjadi sandaran dan penghbundar, seolah menjauhinya.

Entah kenapa, dia merasa tersisih, seakan dunia ini berputar tanpa mempedulikan keberadaannya.

Dia mencoba merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang membawanya ke titik ini. Aneska mencoba menguatkan hatinya.

Dia sadar bahwa dalam kesendirian ini, dia sebenarnya tidak sendirian. Allah selalu ada, menguatkan dan memberinya kekuatan untuk melalui setiap cobaan.

Setelah pertengkaran sengit di kantin, Sofia bersama dengan dua temannya, Mel dan Vivi, memutuskan untuk pergi ke kamar mandi untuk merapikan diri.

Langkah mereka terdengar beriringan di koridor pesantren yang sunyi, langkah yang penuh dengan kepuasan atas kemenangan mereka.

Di dalam kamar mandi, Sofia memilih satu sudut yang agak sepi untuk mencuci wajahnya.

Air mengalir dingin dari keran, menyegarkan kulit yang terasa panas akibat pertengkaran tadi.

Dengan gerakan lembut, dia menggosok wajahnya dengan sabun, mencoba menghilangkan jejak keringat dan debu yang menempel.

Setelah wajahnya terasa segar, Sofia mengambil jilbabnya yang tergantung di dekat sana.

Dia melepas jilbab lamanya yang sedikit kusut akibat kejadian tadi, dan menggantinya dengan jilbab yang lebih baru dan rapi.

Sementara itu, Mel dan Vivi juga sibuk dengan urusan masing-masing. Mel membilas wajahnya dengan air yang sama dinginnya sambil berbicara pelan dengan Vivi tentang rencana mereka selanjutnya. Vivi, sambil membenahi jilbabnya yang sedikit terlipat, bergumam setuju dengan rencana Sofia.

Vivi masuk ke kamar mandi. Suara deruman air dari salah satu kamar mandi mengalihkan perhatian mereka. Sofia tersenyum puas, merasa bahwa kemenangan mereka telah membuat Aneska menjadi tak berdaya.

"Setelah ini, mungkin Aneska nggak akan pernah lagi berani mengganggu kita," ucap Sofia dengan nada sombong.

Namun, tawa Vivi yang terdengar dari dalam kamar mandi membuat Sofia terdiam sejenak. Vivi keluar dari kamar mandi sambil tersenyum lebar, mengatakan bahwa jika Aneska berani menantang mereka lagi, mereka bisa memberi pelajaran yang lebih parah daripada sebelumnya.

Sofia menatap Vivi. Dia tahu bahwa Vivi benar, mereka tidak akan ragu untuk mengambil tindakan lebih keras jika Aneska masih mengganggu mereka.

"Gue nggak akan biarin Aneska bertindak semaunya lagi. Dia nggak boleh merasa bahwa dia bisa mendominasi kita dengan cara apa pun." Ketegasan dalam kata-kata Sofia terpancar jelas dari matanya yang tajam.

Dia menegaskan bahwa dia tidak akan pernah mundur dalam menghadapi tantangan dari Aneska. Bahkan, dia merasa semakin terpacu untuk memberikan respons yang lebih kuat setiap kali Aneska mencoba mengganggunya.

Mel dan Vivi mengangguk setuju dengan serius. "Lo tidak perlu khawatir," kata Mel dengan suara yang hangat, "kami selalu berada di pihak lo. Kami akan selalu bantu jika lo kembali memiliki masalah dengan Aneska."

Vivi mengangkat kepalanya, matanya sedikit redup karena kelelahan. Seperti inilah keseharian mereka selama di pesantren.

Belajar di tempat semacam ini bukan berarti tidak ada masalah sama sekali. Bukan berarti mereka selalu membagi cinta dengan semua penghuni pesantren sebagaimana yang sering dipikirkan oleh orang luar.

Biar bagaimanapun mereka juga remaja biasa yang sama dengan remaja pada umumnya.

Yang berada dalam fase pencarian jati diri, kompetensi, dan akan selalu terjadi konflik antara remaja lainnya. Suatu kesalahan yang supaya bisa menjadi sangat besar hanya karena mereka benci pada seseorang yang salah satunya adalah Aneska.

Risak & Rusuk [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang