»»--⍟--««Chapter 15»»--⍟--««

52 32 26
                                    

Aneska tersenyum mengangguk. "Oke, itu dia," ucapnya sambil melangkah mendekati kasir.

Mereka duduk di sebuah meja kecil di sudut cafe, menikmati suasana yang hangat dan ramah. Aneska meletakkan beberapa cemilan di atas meja, termasuk kue tart keju yang lezat dan potongan brownies cokelat yang menggoda.

Nawa dengan cepat mengambil sepotong kue bolu yang dipilihnya sebelumnya. Wajahnya berseri-seri saat ia menikmati rasa manis kue bolu itu. Sementara itu, Aneska memilih untuk menikmati sepotong kue tart keju yang lembut dan legit. Setiap gigitannya memberikan kenikmatan yang tak terlupakan, membuatnya tersenyum puas.

Mereka berdua menghabiskan waktu dengan bahagia di cafe kecil itu, menikmati cemilan-cemilan yang lezat dan berkualitas. Namun pada akhirnya, Aneska harus berbesar hati merapikan semua pakaiannya ke motor dan siap untuk kembali ke pesantren. Hatinya berat meninggalkan rumah dan terutama meninggalkan Nawa.

Belum masuk ke motor, Aneska memeluk adiknya erat-erat. "Sampai jumpa, Nawa. Jangan nakal, ya. Belajar yang rajin," bisiknya dengan suara serak, mencoba menahan air mata yang ingin berlinang. Nawa merangkul kakaknya dengan erat, rasanya sulit untuk melepaskan pelukan itu.

"Sampai jumpa, Kak. Jangan lupa menelepon, ya!" ucapnya dengan suara gemetar, mencoba menahan tangisnya.

Aneska melepaskan pelukannya perlahan-lahan dan menatap wajah manis adiknya dengan penuh kasih sayang. Dia mencium kening Nawa sebelum akhirnya membiarkannya masuk ke dalam motor.

Nawa menatap motor itu dengan tatapan sedih saat motor itu mulai melaju perlahan meninggalkan rumah mereka. Hatinya terasa hampa, namun dia tahu bahwa Aneska harus kembali ke pesantren untuk menyelesaikan kewajibannya.

Sambil menatap motor yang semakin menjauh, Nawa berjanji dalam hati bahwa dia akan tetap kuat dan bersemangat, serta menunggu dengan sabar hingga Aneska kembali lagi ke rumah. Mereka berdua berjanji untuk tetap saling mendukung dan menjaga satu sama lain, meskipun jarak memisahkan mereka.

Aneska diam dalam motor itu. Wajahnya terlihat tegang, mata yang tadinya berbinar kini terlihat redup. Dia merenung dalam hati, memikirkan segala hal yang menunggunya di pesantren.

Bundanya mencoba untuk memulai percakapan dengan Aneska. "Semoga saja setelah ini masalahnya selesai, Nak. Aku yakin para ustadzah udah bisa ngatasin semua masalah kemarin," ucapnya dengan suara lembut.

Aneska hanya tertunduk, meresapi setiap kata yang diucapkan bundanya. Dia mengangguk sejenak, tetapi tidak mengucapkan apa pun. Pikirannya terus melayang pada kekhawatiran dan ketidaknyamanan yang dia alami di pesantren. Bundanya jadi heran dengan reaksi Aneska yang cenderung terdiam.

"Aneska, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanyanya penuh perhatian. Aneska mengangkat wajahnya, mencoba tersenyum meskipun terasa dipaksa.

"Ya, Bunda. Aku baik-baik aja," jawabnya pelan.

Bundanya merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi dia memilih untuk menghormati privasi Aneska. Dia tahu bahwa Aneska mungkin butuh waktu untuk menyembuhkan luka hatinya sendiri.

Dalam perjalanan ke pesantren, suasana di dalam motor terasa hening. Aneska memendam banyak perasaan di dalam hatinya, tetapi dia berusaha untuk tetap kuat.

Motor itu melaju. Bundanya sudah tidak bicara lagi, meninggalkan suasana hening di dalam motor. Aneska merasakan beratnya atmosfer di sekitarnya, tetapi dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri.

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengisi paru-parunya dengan udara segar. Matanya menatap keluar jendela, memperhatikan pemandangan yang berlalu dengan cepat.

Dia meresapi setiap detil, mencoba mengalihkan pikirannya dari kegelisahan yang menghantui.

Aneska mengingat nasihat-nasihat ayahnya yang selalu mengatakan bahwa di setiap masalah pasti ada hikmahnya. Dia berusaha untuk menggali kekuatan dari dalam dirinya, menguatkan hatinya agar mampu menghadapi segala rintangan yang akan dihadapinya di pesantren.

Risak & Rusuk [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang