»»--⍟--««Chapter 7»»--⍟--««

75 59 44
                                    

"Dasar, najis. Umur lima belas, muka udah tua. Kayak orang hamil aja," celetuk santriwati yang lewat di sampingnya.

Aneska merasa dadanya sesak mendengar kata-kata kasar itu. Dia menundukkan kepala, mencoba menghindari tatapan sinis dari santriwati tersebut.

Baginya, kehidupan di pesantren Al-Izaan bukanlah hal yang mudah. Setiap hari, dia harus berhadapan dengan ejekan dan perlakuan tidak adil dari sebagian santri lainnya.

Hari itu, setelah jam istirahat, Aneska memilih untuk menyendiri di sudut halaman pesantren. Di tengah heningnya, ingatannya kembali melayang ke masa lalu, pada kejadian yang membuatnya terpuruk.

Ingatan masa lalu itu membawanya ke sebuah lapangan pertandingan di pesantren lain. Aneska berdiri di tengah-tengah tim pesantren Al-Izaan, siap untuk bertanding.

Namun sayangnya, setelah pertandingan berakhir, Aneska merasa hancur. Dia merasa telah mengecewakan pesantrennya sendiri. Semua yang diutus pesantren Al-Izaan selalu menang dan berhasil lulus, kecuali dirinya. Rasa rendah diri dan kekecewaannya membuncah saat itu juga.

"Aku minta maaf," gumamnya pada dirinya sendiri, tetapi tak seorang pun mendengarnya.

Kembali pada kenyataan, Aneska mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Dia merasa kesepian.

Aneska sudah tidak lagi menemukan dunianya di mana dia berhak dihormati oleh siapa saja tanpa memandang kasta. Pengumuman pemenang pertandingan telah membuatnya terguncang, bukan karena kekalahan yang dirasakannya, tetapi karena reaksi dari orang-orang di sekitarnya.

Ketika nama-nama pemenang diumumkan, Aneska menyadari bahwa namanya tidak termasuk di antara mereka. Sebuah kegagalan yang membuatnya merasa hancur. Namun, yang lebih menyakitkan baginya adalah bagaimana teman-temannya menanggapinya setelah itu.

Saat Aneska keluar dari arena pertandingan, dia merasakan tatapan sinis dan cemoohan dari teman-temannya. Mereka yang dulu selalu bersamanya, sekarang berjalan menjauh sambil tertawa-tawa secara berisik.

"Tuh kan, Aneska kalah lagi! nggak usah ngarep bisa jadi apa-apa!" celetuk salah satu teman dekatnya dengan nada ejekan yang menusuk hati.

Aneska merasa seperti ditusuk-tusuk oleh kata-kata mereka. Dia merasa terbuang dan tidak dianggap lagi oleh teman-temannya. Semua yang pernah dia banggakan, semua keberhasilannya di masa lalu, seakan sirna dalam sekejap karena satu kekalahan.

Saat itu juga, Aneska menyadari bahwa kegagalan bukanlah satu-satunya beban yang harus dia tanggung.

Sekarang, dia juga harus menanggung pandangan rendah dan ejekan dari teman-temannya, yang seolah-olah merasa lebih baik darinya hanya karena dia kalah dalam satu pertandingan.

Dari hari itu, Aneska merasa semakin terisolasi. Teman-temannya tidak lagi menghormatinya atau bahkan mau berbicara dengannya.

Pikiran Aneska melayang lagi ketika setelah pertandingan itu mereka juga menjadikan ayahnya sebagai bulan-bulanan.

"Lo lihat itu? Ayah Aneska cuma PNS, nggak ada apa-apanya!"

"Gue dengar dia kerjaannya cuma duduk di kantor, manfaatnya apa, sih?"

"Yah, jelas dong mereka nggak bisa ngerti gimana rasanya hidup pas-pasan kayak keluarga Aneska."

Aneska mencoba menahan emosi, tetapi kata-kata itu menusuk hatinya seperti pisau tajam. Dia ingin membela ayahnya, tapi kebanyakan teman-temannya berdiri di sisi lawan.

"Kalian nggak tahu apa-apa. Ayahku emang nggak sekaya kalian, tapi ayahku pekerja keras." Aneska mencoba membela dengan suara gemetar.

"Tapi nyatanya cuman PNS, Aneska. Nggak level dan nggak pantas sama sekali lo bisa di sini bareng kita," sahut salah satu teman Aneska dengan nada merendahkan.

Aneska merasa seperti terjepit. Dia tahu dia tidak bisa menang melawan semua teman-temannya sendirian. Rasanya seperti dia melawan arus yang terlalu kuat baginya.

"Diam aja, Aneska. Lo nggak akan bisa ngubah kenyataan," kata teman lainnya dengan sinis.

Dengan hati yang hancur, Aneska hanya bisa menundukkan kepala dan diam. Dia merasa kesepian dan terasing di tengah-tengah teman-teman yang seharusnya menjadi sahabatnya.

Tetapi lebih dari itu, dia merasa sedih karena ayahnya menjadi bahan ejekan dan dia tidak bisa melakukan apa pun untuk melindunginya.

Hal lain terjadi pada hari Sabtu. Makanan itu awalnya terasa menggiurkan. Seandainya saja tidak ada kalimat menyakitkan yang dia dengar dari orang sekitarnya.

"Gue yakin menu ini murah banget deh, liat aja si Aneska beli," cemooh salah seorang temannya.

"Iya, pasti dia nggak sanggup beli makanan yang lebih mahal. Keluarganya kan nggak seberapa," sahut teman lain dengan nada sinis.

Aneska berusaha membuang jauh-jauh perasaan sakit itu dan mencoba menikmati makanannya. Tetapi setiap suapan terasa seperti pahit di mulutnya.

"Gimana rasanya makanan murahan itu, Aneska? Sepertinya nggak sepadan sama harga yang lo bayar," goda salah satu teman yang duduk di sebelahnya.

Aneska hanya bisa diam, dia merasa malu dan marah pada saat yang bersamaan. Kenapa mereka harus mengejeknya seperti ini? Apa salahnya memilih makanan yang dia suka? Tapi dia tahu, jika dia bicara, hanya akan memperburuk situasi.

"Coba deh makanan yang lebih mahal, biar bisa dibilang kekinian," saran teman yang lain sambil tertawa-tawa.
Aneska hanya mengangguk kecil, tetapi hatinya terasa hancur.

Dia berharap bisa melarikan diri dari situasi ini, tetapi dia terjebak di dalamnya tanpa jalan keluar. Dengan perasaan hampa, dia melanjutkan makanannya hingga habis, sambil menyimpan rasa sakitnya di dalam hati.

Aneska mengusap air matanya dan berusaha untuk melupakan semua itu. Dia merasa hampa. Namun, dalam keheningan hatinya, dia mencari kekuatan dari Allah.

"Dengan-Mu, ya Allah, aku bertahan," gumam Aneska dalam doa yang lembut.

"Tunjukkanlah aku jalan yang benar, dan berikanlah aku kekuatan untuk melewati cobaan ini." Dalam kegelapan hatinya, Aneska merasa ada cahaya yang menghampirinya.

Dia merasa ada kekuatan yang menguatkan dirinya, memberinya keyakinan bahwa dia bisa melalui semua cobaan ini.

Aneska mengambil napas dalam-dalam, membiarkan ketenangan dan kepercayaan diri memenuhi hatinya. Dia percaya bahwa Allah akan selalu bersamanya, memberinya kekuatan untuk bertahan hingga dia lulus di pesantren itu.

Dengan hati yang penuh dengan harapan dan keberanian,
Meskipun masih terkadang terbayang oleh kenangan buruk di kantin, Aneska berusaha untuk tidak terpengaruh.

Dia menyadari bahwa masa depannya tergantung pada usahanya sendiri, bukan pada pandangan orang lain tentang dirinya atau keluarganya.

Setiap malam sebelum tidur, Aneska memanjatkan doa syukur atas kekuatan yang diberikan Allah padanya. Dia bersyukur atas kesempatan untuk belajar di pesantren, tempat di mana dia bisa tumbuh dan berkembang sebagai individu.

Dia menatap langit-langit kamarnya dalam diam. Memikirkan hal apa lagi yang akan terjadi besok. Dia berharap keadaan tidak memburuk setelah ini.

Dia menatap ke arah Alina dan Jelita yang sibuk mengerjakan PR. Tetap terdiam ketika melihat mereka berdua sedang tertawa, tawa yang mungkin tidak akan pernah dirasakan oleh Aneska sendiri.

Aneska tidak akan pernah sanggup menceritakan kepada ayahnya bahwa profesi ayahnya menjadi ejekan di pesantren ini.

Dia tidak akan sanggup melihat wajah ayahnya yang mungkin saja kecewa dan sakit hati menerima penghinaan semacam itu bahkan kalaupun ayahnya sama sekali tidak melakukan kesalahan kepada anak-anak santri.

Risak & Rusuk [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang