Seharusnya dia bahagia hari ini, sama seperti anak-anak lainnya. Sudah seminggu ini Aneska merasa terus diawasi oleh dua hantu, Agatha dan Elisya.
Entah mengapa, mereka sepertinya menempel erat padanya, tak pernah lepas dari pandangan Aneska. Awalnya, Aneska berusaha mengabaikannya, menganggap itu hanya imajinasinya yang berlebihan.
Namun, semakin hari, perasaan itu semakin kuat dan nyata baginya.
Ketika hari kunjungan orangtua tiba, Aneska masih merasa dihalangi oleh keberadaan hantu-hantu itu.Meskipun kedua orangtuanya telah tiba di pesantren, Aneska tidak berani keluar dari kamarnya. Dia terlalu takut akan kehadiran Agatha dan Elisya yang selalu mengintainya di lorong-lorong pesantren.
Dari luar, kedua orangtuanya menunggu. Mereka datang dengan harapan bisa menghabiskan waktu bersama Aneska, mengobrol, dan menikmati momen kebersamaan. Namun, Aneska tidak kunjung muncul dari kamar.
Suara pintu yang tertutup rapat menambah kegelisahan hati kedua orangtuanya. Dalam kamar, Aneska terus mengurung diri. Tangisannya terhenti saat rasa lelah akhirnya memaksanya untuk tertidur.
Namun, bahkan dalam mimpinya, dia masih merasa diawasi oleh Agatha dan Elisya. Mereka berdiri di sisi tempat tidur Aneska, menyaksikan setiap gerakannya dengan tatapan yang penuh tekanan.
"Dia ngunci pintu dari dalam," ucap ayah Aneska, sambil menunjuk pintu kamar Aneska yang masih tertutup rapat.
Ustadz yang mendengar ucapan ayah Aneska mengangguk serius. Tanpa ragu, dia memutuskan untuk mengambil tindakan.
Dengan hati-hati, Ustadz mencoba membuka pintu kamar Aneska yang terkunci. Setelah beberapa usaha, akhirnya pintu itu terbuka.
Mereka berdua memasuki kamar dengan hati-hati.Saat mereka melihat Aneska tidur dengan wajah yang pucat dan kusut, bunda Aneska menahan napasnya.
"Mengapa Aneska bisa begini?" tanyanya pada Ustadz dengan nada khawatir.Ustadz itu menatap Aneska dengan penuh perhatian sebelum akhirnya menjawab, "Aneska kayaknya kurang sehat beberapa hari ini. Mungkin karena itu dia keliatan capek."
Bunda Aneska merasa kekhawatiran tetap menghantui pikirannya. Dia berjalan mendekati tempat tidur Aneska dan duduk di sebelahnya. Tangannya menyentuh dahi Aneska yang terasa panas.
"Ayah, cepat panggilkan dokter," pinta bunda Aneska sambil mengusap lembut dahi putrinya.
Ayah Aneska segera mengangguk dan meninggalkan kamar untuk mencari bantuan. Sementara itu, bunda Aneska tetap duduk di samping Aneska.
Namun Aneska tiba-tiba bangun kemudian menggeleng. "Nggak perlu sampai segitunya, Bunda."
Tangan bundanya mengelus lembut kepala Aneska. Wajahnya dipenuhi kekhawatiran yang mendalam saat dia mendengar Aneska menolak untuk dibawa ke rumah sakit.
"Kamu harus ke rumah sakit. Kamu keliatan pucat banget," desak bunda Aneska dengan suara lembut.
Namun, Aneska menolak dengan tegas. Dia duduk tegak di tempat tidur, matanya memandang lurus ke arah bundanya. Meskipun wajahnya tampak pucat dan lemah, dia masih bisa tersenyum.
"Cuman demam biasa. nggak perlu repot-repot," ucap Aneska dengan suara lemah namun penuh keyakinan.
Bunda Aneska terdiam sejenak, mencoba memproses kata-kata putrinya. Meskipun hatinya ingin menolong Aneska sebaik mungkin, dia juga menghormati keinginan Aneska. "Tapi Sayang, kondisimu nggak baik. Kita harus pastikan kamu dapat perawatan yang tepat," ujarnya dengan nada lembut.
Aneska tetap kukuh pada pendiriannya. Dia tahu bahwa dia hanya mengalami demam biasa dan tidak butuh perawatan khusus di rumah sakit.Kedua orangtuanya saling pandang, tampak bingung dan cemas. Mereka ingin yang terbaik untuk Aneska, namun Aneska sendiri menolak untuk dibawa ke rumah sakit.
Akhirnya, kedua orangtua Aneska menyerah. Mereka memilih untuk menghormati keinginan putri mereka.
Bundanya mengeluarkan cemilan yang dibawa.Aneska tersenyum melihat semua cemilan itu. Dia berusaha menunjukkan wajah ceria di depan kedua orangtuanya saat mereka pergi karena waktu kunjungan berakhir. Aneska berdiri di depan gerbang bersama santri lainnya.
Saat Aneska berjalan kembali ke kamarnya, dia merasa berat. Beban yang terus menerus dia pikul membuatnya terasa lelah. Langkahnya terasa berat, dan wajahnya tampak kusam di bawah cahaya temaram koridor pesantren.
Para santri yang melihatnya merasa aneh. Mereka tidak bisa mengabaikan perubahan yang terjadi pada Aneska.
Wajahnya tampak layu dan suram. Mata mereka mulai berbisik-bisik, mencurigai ada sesuatu yang tidak beres dengan Aneska.
"Dia keliatan aneh banget, 'kan?" bisik salah satu santri kepada temannya."Ya, benar. Masih muda, tapi muka kok boros bener," sahut santri yang lain dengan wajah penuh tanda tanya.
Ketika Aneska tiba di kamar, dia langsung melemparkan dirinya ke tempat tidur tanpa peduli pada tatapan atau bisikan orang lain.
Beban yang terus menerus menekannya membuatnya merasa terisolasi, terjebak dalam kegelapan yang tak kunjung reda.
Dia tidak peduli lagi pada dunia di luar kamarnya. Dia hanya ingin menenangkan pikirannya yang kacau dan meredakan rasa cemas yang menghantuinya setiap hari. Makanan yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya tidak menarik perhatiannya. Aneska hanya ingin memejamkan mata dan beristirahat sejenak dari segala kepahitan yang dia rasakan.
Alina dan Jelita memandang Aneska yang duduk di ranjang dengan pandangan kosong. Mereka merasa cemas melihat perubahan yang terjadi pada sahabat mereka. Wajah Aneska terlihat pucat dan lelah, bahkan matanya terlihat kosong.
"Kamu kenapa?" tanya Alina dengan suara lembut, berharap mendapatkan jawaban dari sahabatnya.
Namun, Aneska hanya diam. Dia terus menatap ke arah sudut kamar, di mana bayangan-bayangan gelap Agatha dan Elisya berada. Wajah mereka terlihat samar di bawah cahaya redup kamar, tapi kehadiran mereka terasa begitu nyata bagi Aneska.
Alina dan Jelita merasa kebingungan. Mereka mencoba mengajak Aneska bicara, mencoba menyentuh hatinya, tapi Aneska tetap diam dan terpaku pada bayangan yang menghantui di sudut kamar.
Tanpa disadari, suasana kamar mulai berubah. Udara terasa semakin dingin. Aneska merasa seperti terperangkap dalam labirin gelap yang tidak ada ujungnya. Suara-suara aneh mulai terdengar di telinganya, bisikan-bisikan menakutkan yang membuat bulu kuduknya merinding.
Dia mencoba mengabaikan semuanya, tapi kehadiran Agatha dan Elisya terasa semakin menakutkan. Mereka menatap Aneska dengan mata yang menyala-nyala dalam kegelapan, memberikan rasa takut yang melilit hati Aneska.
Aneska mulai merasa sesak. Dia merasakan sentuhan dingin di sekelilingnya, merasakan bayangan-bayangan itu semakin mendekat. Dia ingin berteriak, tapi suaranya tidak keluar. Dia ingin berlari, tapi kakinya terasa terikat oleh kegelapan yang menyerap segala energinya.
Dalam keadaan panik, Aneska mencoba memohon pertolongan pada Alina dan Jelita, tapi semua kalimat terjebak di tenggorokannya.
"We will never leave you, Aneska. We will always be with you," bisikan itu menggema di telinganya, menghantui pikirannya.
Aneska memejamkan mata dalam putus asa, berharap semua ini hanya mimpi buruk yang akan segera berakhir. Tapi ketika dia membuka mata, dia masih terperangkap dalam situasi horor yang dirasakannya sendiri.
Merasa tidak kuat, dia kembali merebahkan diri. Aneska mencoba menutup mata dan mengabaikan dua sosok itu. Namun, ketika dia merasakan sentuhan lembut di kepalanya, dia tak bisa lagi mengabaikan keberadaannya. Aneska merinding ketika dia menyadari bahwa sentuhan itu datang dari Agatha.
"We are always with you."
KAMU SEDANG MEMBACA
Risak & Rusuk [On Going]
De Todo‼️Dilarang Keras Plagiat. Yang Plagiat Hidupnya Tidak Berkah‼️ Jika kalian mengira pondok pesantren itu sering bercerita tentang perjodohan? Dan kisah ini juga bercerita tentang perjodohan? Kalian salah besar. Di cerita ini, Aneska yang merupakan s...