Langkah kaki Alva melangkah dengan kepastian yang nyaris menggetarkan tanah di bawahnya. Seolah-olah setiap jejaknya adalah langkah menuju takdir yang telah lama ia nantikan.
Tidak ada lagi keraguan, hanya keberanian yang mengiringi tiap langkahnya menuju pintu gerbang yang terus mendekat.
Waktu terus berjalan, mengukir garis-garis tak terlihat di langit malam yang gelap. Jarum jam bergulir tanpa henti, namun bagi Alva, waktu hanya sebatas ukuran fisik. Hati dan pikirannya terpaku pada satu tujuan.
Sembari memandang jalanan yang sunyi, Alva membiarkan lagu-lagu penuh makna mengisi ruang keheningan di mobilnya. Suara-suara melodi mengalir memenuhi ruang dan menggetarkan hatinya. Di tengah gelapnya malam, ia merasakan getaran emosi yang memenuhi ruang dalam jiwa dan menggerakkan setiap serat dalam dirinya.
Namun, ketika lampu rumah gadis itu mulai terlihat dari kejauhan, Alva menyadari bahwa perjalanan ini tidaklah semudah yang ia bayangkan. Jarak yang terlewati lebih dari sekadar kilometer. Ia menyadari bahwa ini adalah ujian bagi keberaniannya, ujian bagi ketulusan hatinya dalam meraih apa yang diinginkannya.
Meski merasakan rasa lelah mulai menyelinap di tubuhnya, Alva menemukan kekuatan baru yang tumbuh dari dalam dirinya. Ia memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah gadis itu, menatap penuh harap ke arah jendela kamar yang mungkin saja menyimpan impian-impian yang sama dengan yang ia miliki.
Dengan hati yang berdebar, Alva melangkah mendekati pintu gerbang rumah itu. Setiap langkahnya terasa berat.
Saat Alva mencapai jendela kamar gadis itu, ia merasakan denyut nadi dalam dadanya semakin kencang. Ia berdiri di bawah cahaya remang-remang yang menyala di dalam kamar itu, memandangi bayangan yang samar dari orang yang selama ini telah menghiasi setiap pikirannya.
Dengan langkah ragu namun penuh keyakinan, Alva mengetuk jendela itu. Suara ketukan ringan terdengar di antara gemuruh hening malam. Ia menunggu, dengan harapan yang terpancar di matanya, bahwa di balik jendela itu ada seseorang yang juga merindukannya seperti yang ia rasakan.
“Ivona...” panggil Alva dengan semangat yang menggebu, meskipun sadar bahwa mungkin tindakannya ini kurang pantas, terutama di malam yang sudah larut seperti ini.
Gadis itu terkejut mendengar namanya dipanggil seperti itu. Untungnya, ia belum tidur. Baru saja selesai melaksanakan tahajjud, gadis berusia 16 tahun itu merasa bahwa ia harus lebih mendekat pada Allah SWT.
Baginya, sholat adalah penentu jalan hidupnya, suatu penghubung yang mengantarkannya pada rasa tenang dan kepercayaan pada kehendak Ilahi.
Padahal baru saja Ivona selesai melafalkan salam terakhirnya untuk malam itu, tiba-tiba terdengar namanya disebut oleh seseorang dari balik jendela. Kamar gadis itu terletak di lantai dua, sehingga Alva harus menatap ke atas saat Ivona membuka gorden berwarna abu-abu itu dan membuka jendela kamarnya.
Meskipun begitu, Ivona masih memakai mukena putihnya, menandakan bahwa ia baru saja menyelesaikan ibadah sholat tahajjud.
Ivona terkerut heran, alisnya terangkat sebelah ketika ia mencoba mengingat wajah pria yang berdiri di bawah jendelanya.
Meskipun begitu, raut wajah Alva tampak akrab baginya, meskipun dia tidak bisa sepenuhnya mengingat dari mana dan kapan ia bertemu dengan pria itu sebelumnya.
Alva, yang berdiri di bawah jendela dengan sorot mata penuh keheranan dan kegembiraan, menatap Ivona dengan harap.
"IVONA... INI AKUU ALVAA... KAMU LUPAA?" serunya dengan nada yang penuh dengan campuran emosi.
Sejenak, Ivona merenung dalam dirinya. Nama itu terdengar begitu akrab, tapi tersembunyi di dalam lapisan-lapisan memori yang telah terlupakan. Dengan perlahan, dia berusaha menggali ingatannya, mencoba mengaitkan nama itu dengan wajah dan momen yang mungkin mereka bagikan.
"Alva?" gumamnya dalam batin, sambil mencoba memahami makna di balik kata itu.
Tidak ingin meninggalkan Ivona dalam kebingungan, Alva memberikan petunjuk lebih lanjut.
"Alvaduma Liam Gilbert... inget gak?" tambahnya, berharap petunjuk itu akan membuka pintu ingatan Ivona yang terkunci.
Setetes kilatan kecerahan melintas di mata Ivona, seolah ada sesuatu yang mulai terungkap di balik kabut memori yang tebal. Dia mencoba memanggil kembali masa lalu yang terkubur, meraih potongan-potongan kenangan yang mungkin terhubung dengan sosok Alva.
"Temen satu alumni di SD Citra Arum, satu kelas malah," jawab Ivona akhirnya, suaranya dipenuhi dengan kejutan dan kegembiraan karena berhasil mengenali Alva.
Seperti sebuah karya puzzle yang akhirnya lengkap, potongan-potongan ingatan itu menyatu menjadi gambaran yang jelas: Alva, teman sekelas di masa lalu yang kini muncul kembali di hadapannya.
Perasaan lega menyelimuti keduanya, seolah menemukan potongan yang hilang dari masa lalu mereka yang terlupakan. Alva tersenyum lega, sementara Ivona merasa seperti menemukan kembali bagian yang hilang dari dirinya sendiri.
Alva tersenyum lega mendengar jawaban Ivona. Namun, di balik senyumnya, ia masih merasa cemas. Ia sadar bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan kesedihannya, terutama mengingat Ivona sendiri mungkin masih merasakan kesedihan akibat pembullyan yang ia dapat di pondok pesantren.
Tapi, pertemuan mereka ini memberinya sedikit kelegaan dari beban yang selama ini ia rasakan.
Namun, Ivona masih terdiam, mencoba mengingat kembali kenangan masa kecil yang melibatkan Alva.Sementara itu, dalam benaknya, Ivona merenung tentang hari-hari terakhir dengan ibunya. Baru tiga hari yang lalu mereka berbicara, dan sejak itu, keheningan telah mengisi ruang di rumah mereka. Trauma dan kesedihan masih melilit hati Ivona.
Di antara kebingungan dan ingatan yang berusaha diungkapkan kembali, Ivona merenung. Siapa sebenarnya Alva baginya?
Alva, dengan kehangatan yang mengalir dari tatapannya, adalah sosok yang pernah mengisi hari-hari kecilnya dengan tawa dan cerita. Mereka adalah teman sekelas, sahabat bermain di halaman sekolah, dan satu-satunya sosok yang mampu memahami masa kecilnya dengan segala kepolosan dan kegembiraan.
Namun, di balik keceriaan masa lalu, Ivona menyadari bahwa pertemuan ini juga mengingatkan akan kehilangan yang baru saja ia alami. Ia merasa sesak di dada, ingatannya tentang ibunya yang pergi begitu tiba-tiba membuatnya terdampar dalam gelombang kesedihan yang terus menghantam.
Alva, meskipun mencoba menyembunyikan kegelisahan di balik senyumnya, bisa merasakan perubahan suasana hati Ivona. Dia melihat ke dalam mata Ivona yang berkilauan, dan tanpa kata-kata, dia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak baik terjadi.
Mereka berdua terdiam sejenak, membiarkan keheningan mengisi ruang antara mereka. Kata-kata yang terpendam begitu dalam di hati masing-masing, tapi terlalu sulit untuk diucapkan. Ivona mencoba menjaga dirinya tetap tegar, sementara Alva berusaha menemukan cara untuk memberikan dukungan tanpa mengganggu keheningan yang mengambang.
Tiba-tiba, dalam detik yang terasa seperti abad bagi keduanya, Ivona mengangkat pandangannya dan bertemu mata Alva. Di sana, di balik keruhnya mata Ivona, Alva melihat kekuatan dan ketegaran yang luar biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Risak & Rusuk [On Going]
De Todo‼️Dilarang Keras Plagiat. Yang Plagiat Hidupnya Tidak Berkah‼️ Jika kalian mengira pondok pesantren itu sering bercerita tentang perjodohan? Dan kisah ini juga bercerita tentang perjodohan? Kalian salah besar. Di cerita ini, Aneska yang merupakan s...