Alva duduk sendiri di sudut kafe, menatap gelas kopi yang dingin tanpa merasakannya. Hatinya dipenuhi kebingungan dan ketegangan. Di sebelahnya, teman-teman lama dari lingkungan sebelumnya tertawa riang, tak menyadari pertarungan batin yang sedang dia alami.
"Apa kabar, Alva? Kenapa kelihatan begitu serius?"
Alva menggeleng pelan.
"Nggak apa-apa. Lagi mikirin sesuatu."
"Jangan-jangan lo masih kepikiran soal itu lagi, ya?" goda salah satu temannya.
Alva menarik nafas dalam-dalam. Percakapan seperti ini sudah terjadi beberapa kali sejak dia mulai menunjukkan minat pada Islam. Namun, setiap kali dia menyatakan ketertarikannya, tanggapan dari teman-temannya selalu sama: cemoohan dan penolakan.
"Lo tau, Alva, itu semua nggak masuk akal. Kenapa lo ingin meninggalkan agama kita? Kristenlah yang membawa kita ke surga," kata temannya yang lain.
"Lo hanya perlu mempercayai Yesus sebagai Tuhanmu, Alva. Nggak perlu memilih jalan lain."
Alva merasa seperti terjepit di antara dua pilihan yang sulit. Di satu sisi, dia merasakan panggilan yang kuat untuk memeluk Islam, tetapi di sisi lain, dia takut kehilangan hubungan dengan orang-orang yang sudah lama dia anggap sebagai keluarga.
Malam itu, Alva memutuskan untuk menghadapi kenyataan. Dia memanggil semua teman-temannya ke rumahnya.
"Ada yang mau gue omongin ke kalian semua," ucap Alva dengan suara gemetar. "Gus sudah memutuskan untuk masuk Islam."
Diam.
Teman-temannya saling memandang, tak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar. Temannya melangkah maju dengan wajah penuh kemarahan.
"Lo gila, Alva? Lo benar-benar akan meninggalkan agama kita?"
"Nggak ada yang gila. Gue hanya mengikuti panggilan hati," jawab Alva dengan mantap.
Namun, reaksi teman-temannya tidak seperti yang diharapkan Alva. Mereka mulai meninggalkan rumahnya satu per satu, meninggalkan Alva sendirian dalam keheningan yang menyakitkan.
Tak lama setelah itu, orang tua Alva juga mengetahui keputusannya. Mereka datang dengan ekspresi kekecewaan yang tak terbendung."Anakku, mengapa kamu membuat keputusan yang bodoh ini?" tanya ibunya dengan suara terisak.
Alva menatap ibunya dengan tulus."Maafkan aku, Ma."
"Apa yang bisa kamu dapatkan dengan meninggalkan agama kita, Alva? Kamu hanya akan membuat kami kecewa," ujar ayahnya dengan nada penuh penyesalan.
Meskipun hatinya hancur, Alva tetap bertahan pada keputusannya. Dia tahu bahwa perjalanan menuju Islam tidak akan mudah, tetapi dia yakin bahwa itu adalah langkah yang benar baginya.
Memasuki agama Islam memang terlihat sederhana. Hanya dengan melafalkan dua kalimat syahadat, seseorang bisa menjadi bagian dari umat Islam.Namun, di balik kesederhanaan itu, terdapat perjalanan spiritual dan komitmen yang mendalam. Alva adalah salah satu individu yang menemukan ketertarikan pada agama Islam meskipun latar belakangnya sangat berbeda.
Alva, sejak awal, menunjukkan minat yang kuat pada agama Islam. Meskipun di lingkungannya ia dikenal sebagai anak yang sangat taat pada agama yang dianutnya sejak lahir, keinginan untuk mengeksplorasi dan memahami Islam tidak pernah lekang dari pikirannya. Dia sering kali bertanya pada dirinya sendiri, "Apa yang membuat agama ini begitu menarik bagi begitu banyak orang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Risak & Rusuk [On Going]
Random‼️Dilarang Keras Plagiat. Yang Plagiat Hidupnya Tidak Berkah‼️ Jika kalian mengira pondok pesantren itu sering bercerita tentang perjodohan? Dan kisah ini juga bercerita tentang perjodohan? Kalian salah besar. Di cerita ini, Aneska yang merupakan s...