Chapter 1

165 25 0
                                    

Suara gebrakan terdengar sangat keras berasal dari meja yang baru saja dipukul, hal itu menjadi penanda kemurkaan dari pria paruh baya yang kini menyorot pada seorang perempuan cantik yang justru duduk dengan santai seolah kemarahan yang terlihat dari lawan bicaranya bukanlah apa-apa.

"Keterlaluan kamu!" murka pria itu sambil menunjuk perempuan di depannya dengan bengis.

"Nggak sampe mati kan ya tuh orang? Jadi santai aja kali." balas perempuan itu tanpa beban sambil meniup kuku jari-jarinya yang baru saja dicat berwana merah.

"Astera!" peringatan penuh emosi pria itu lontarkan.

Tera berdecak lalu bangkit berdiri. "Apa sih yang bikin Papi semarah ini sama aku? Itu murni kecelakaan, siapa suruh tuh orang berdiri di tengah jalan?"

Dibalik kacamata yang dipakainya, mata Hutama terlihat melotot. "Dan apa maksud kamu nabrak istri Papi? Nggak bisa bawa mobil hah? Nggak punya mata?"

Tera kemudian menyorot pria paruh baya yang merupakan ayah kandungnya itu dengan tatapan dingin dan tajam. "Nabrak?" Tera bertanya dengan raut tak percayanya.

"Kena bumper mobil aku aja nggak. Gak usah berlebihan deh, lebay banget."

Semula berawal dari Tera yang baru masuk ke halaman rumah milik Hutama, hendak menemui pria paruh baya itu untuk urusan sesuatu yang sebenarnya jika tidak terlalu penting, Tera malas sekali untuk datang ke rumah ini. Tetapi karena Hutama hari ini tidak masuk ke kantor, dan menunggu besok Tera terlalu tak sabaran, jadi berakhirlah dengan Tera yang terpaksa harus datang.

Lalu, saat mobilnya memasuki halaman carport Tera melihat ada Anggita—istri Hutama alias si pelakor kampungan dan bisa dibilang adalah ibu tiri Tera—sedang berdiri entah sedang melakukan apa dengan bunga-bunga miliknya.

Tera yang tak pernah akur dengan pelakor itu berniat untuk sedikit mengisenginya, dengan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi sampai deru mesinnya terdengar cukup nyaring. Membuat Anggita tersentak kaget hingga menjatuhkan pot bunga yang sedang dipegangnya, sampai jatuh mengenai kakinya sendiri.

Lalu, pelakor itu langsung meraung dan menjerit dengan kencang hingga membuat seisi rumah gempar dan cepat-cepat keluar, termasuk Hutama. Dan drama wanita pelakor itu kembali dimainkan dengan mengatakan jika Tera menabraknya hingga pot jatuh ke atas kakinya dan bla bla ... masih banyak kebohongan yang Anggita ucapkan yang membuat Tera muak, dan Hutama yang murka persis seperti saat ini.

"Kamu itu dari dulu memang selalu cari masalah dengan Anggita. Memang apa salahnya Anggita? Dia istri Papi dan otomatis sekarang dia itu Ibu kamu."

Tera menaikan kedua alisnya sesaat sebelum tawanya terdengar cukup nyaring di ruangan luas yang hanya berisi dua orang itu saja. "Apa salahnya dia? Ibu? Seriously? Ibu apa? Ibu suri? Ibu-Ibu? Ibu pejabat? Ibu pelakor?" Tera mencemooh Hutama dengan kata-katanya.

Hutama terlihat tak senang ketika mendengar penuturan Tera. "Jaga sopan santun kamu Astera."

Tera mendengkus lirih. "Udah deh, aku gak mau buang-buang waktu. Maksud kedatangan aku ke sini. Aku mau ambil black card yang Papi ambil dari aku."

Hutama mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menatap tak habis pikir pada putri satu-satunya itu. "Jangan banyak tingkah."

"Banyak tingkah apa sih? Aku cuma mau ambil punya aku. Hak aku. Emangnya salah?"

"Jangan terus berfoya-foya. Ubahlah sedikit gaya hidup kamu itu."

Tera melipat kedua tangannya di atas dada. "Aku belum bilang ke Mami dan Oma soal  black card aku yang Papi ambil. Kalau aku mau, aku bisa telepon Mami atau bahkan Oma sekarang."

EDAMAMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang