09 ;

25 6 2
                                    



Dengung di telinga Rin semakin menyebar hingga terasa memenuhi seluruh rongga di dalam kepalanya. Dua jam, tidak ada fokus pelajaran yang bisa ia serap sama sekali saat Bu Sri menjelaskan pelajaran terakhir.

Kalimat-kalimat aneh Bas dan kenangan-kenangan Ken saling hantam bertubrukan di saraf otak yang terhubung. Rin berulang kali menghilangkan itu dengan cara menutup matanya, tapi itu terasa sangat sia-sia, semuanya masih terus berputar di dalam sana.

Tere bicara penuh kepanikan di bangku sebelah. Mencoba membujuk Rin lagi.

"Ke UKS aja yuk"

Rin menggeleng kesekian kali, yakin tidak akan kenapa napa.

"Tapi muka lo udah pucet banget. Obat lo mana, udah di minum belum?"

Gadis itu menggeledah tas Rin tanpa izin, menarik sebungkus obat Erythropoietin yang selalu tersimpan di dalam sana, tidak lupa juga menarik sebotol air yang ditaruh di tempatnya.

"Nih minum dulu" Titahnya panik. "Apa sih yang lo lakuin sampai bisa kayak gini?"

Rin mendorong tubuhnya terduduk tegak, mengambil sebutir kapsul berukuran sedang itu dari tangan Tere dan langsung meminumnya. Tatapannya buyar di telapak tangan yang gemetar.

"Ree.."

Suara Rin pecah.

"Sepertinya dugaan lo benar"

Tere mengangkat wajah, dari yang sebelumnya fokus pada obat yang di masukannya lagi ke dalam tas, kini beralih menatap Rin penuh pertanyaan.

"Maksud lo?"

"Lo mau bantu gue?"

Tere menautkan alis. "Bantu apa?"

"Bantu gue masuk club majalah tanpa Ibu tahu"

.


Jauh sebelum Rin menjadi murid Guna Bangsa tapatnya dua tahun lalu, Ibu sudah mewanti-wanti dirinya. Katanya kalau ingin menjadi siswa sekelas Guna Bangsa, harus patuh semua kata ibu.

Tidak boleh melawan ibu, mendengar apa yang ibu perintah, jangan terlalu lelah, tidak perlu pintar Rin, kamu sehat itu sudah cukup. Seperti itu kira-kira.

Rin persis mendengar kata-kata itu seminggu sebelum pengumuman saat dirinya tergolek lemah di atas ranjang karena kelelahan belajar tiga hari tanpa henti, dan seminggu setelahnya surat dari Guna Bangsa sudah bertengger manis di meja kamarnya. Usahanya memang tidak sia-sia, tapi itu justru yang membuat ibu semakin menentang untuk Rin bersekolah disana.

Jelas ibu sudah bilang lebih baik sekolah di tempat lain saja yang lebih bagus dari Guna Bangsa, entah apa alasannya hingga Ibu berucap begitu. Padahal jelas-jelas dia memegang kuasa di sekolah Guna Bangsa.

Tidak perlu berpikir bagimana Rin bisa masuk sekolah itu. Memohon dan memelas kepada ibunya agar memberinya izin bersekolah di Guna Bangsa hingga akhirnya ia berhasil menjadi salah satu murid disana.

Meski Rin yakin jawabannya saat tes masuk tidak akan mengecewakan, Ibu kepala sekolahnya bahkan jika jawaban Rin mengasal saat itu, Rin sudah pasti mendapatkan kursi, karena mereka sudah janji.

Dan janji itu sekarang yang membuat Rin bimbang, janji untuk menjadi siswa yang biasa saja, dan jangan terlalu lelah. Tangannya sejak tadi tak berhenti tremor.

Tapi keputusannya sudah bulat, club majalah mungkin bisa membuka jalan kalau setidaknya ibunya tidak ingin kasus ini sampai ditangani polisi.

Zero Attention Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang