BAB I Kegalauan

2.6K 59 5
                                    

Nayla memetik senar gitarnya. Memainkan irama-irama yang membuat hatinya tenang. Hatinya baru saja gundah. Hanya karena satu persoalan dan ia pun sebenarnya ragu untuk mengatakannya. Satu nama di dalam benaknya, yaitu Ridwan. Siapa sih dia? Seenaknya saja masuk ke dalam kehidupannya. Baginya seorang yang tiba-tiba berubah begitu saja menjadi seorang aktivis, berjenggot, berbaju gamis adalah orang yang aneh. Lagi pula dia telah mengusir lelaki itu dari kehidupannya beberapa tahun yang lalu. Ia benar-benar mengusirnya dengan perkataan, "Jangan pernah temui aku lagi." Sebuah ucapan yang benar-benar membuat siapapun akan gentar untuk bisa bertemu lagi dengan dirinya. Dan itu manjur untuk mengusir lelaki-lelaki seperti itu. Hanya saja dia kali ini ragu, karena sekali lagi Ridwan datang tapi dalam bentuk yang lebih dewasa. Hingga ia tak tahu lagi apa yang menjadi pilihannya.

Setelah pernikahannya kandas setahun yang lalu. Kini dia menjanda dengan seorang anak perempuan. Mantan suaminya telah menandatangani surat gugatan cerainya setahun lalu dan agaknya berat bagi Nayla untuk bisa mengikhlaskan rumah tangga yang sudah dibinanya selama enam tahun. Ia harus hidup dalam lingkup hidup yang keras. Harga kebutuhan naik, belum lagi sekarang Laila sudah harus masuk taman kanak-kanak. Tagihan demi tagihan makin menumpuk tiap hari tapi penghasilannya sebagai guru musik tidak bisa diharapkan begitu saja. Meskipun begitu sang ayah tetap menyayanginya dan memberi dia nafkah. Tapi dia dengan halus menolaknya. Sebab katanya ia bisa mendapatkan penghasilan sendiri dan masih kuat. Kini setelah ia tak lagi tinggal bersama mantan suaminya dan kembali ke rumahnya yang dulu. Memory-memory tentang masa lalunya kini hinggap lagi. Terlebih ketika Ridwan, orang yang dulu pernah "melamarnya" sekarang datang lagi. Iya, melamar dalam tanda kutip. Karena dia melamar tidak datang langsung cuma bilang lewat telepon ingin melamarnya, tapi kemudian ditolak mentah-mentah olehnya lalu diberikan kata-kata ajaib itu.

Sebenarnya bisa saja Nayla tidak bertemu dengan Ridwan andai saja ketika itu di sebuah tempat wisata tidak bertemu dengan dia. Mereka pun bertemu dengan tidak sengaja, karena ternyata rombongan wisata mereka sama dan anak-anak mereka pun bermain dalam satu kelompok. Betapa canggungnya Nayla waktu itu. Ridwan pun canggung sebenarnya. Dan setelah itu dawai-dawai cinta mulai sedikit demi sedikit mengusik hatinya. Apalagi rumah orang tuanya tempat dia tinggal sekarang tetap masih yang dulu, telepon rumahnya pun tetap masih yang dulu. Dan Ridwan tahu hal itu. Perjumpaan mereka yang terlalu sering, akhirnya menumbuhkan benih-benih cinta itu lagi. Apalagi Ridwan juga tahu kini dia telah menjanda. Dan besok Ridwan akan datang ke rumahnya untuk melamarnya. Boleh dibilang Nayla kini dalam kondisi galau tingkat dewa.

Kamarnya pun diketuk. Ia sudah bisa menebak siapa yang mengetuknya.

"Nay? Kamu ngapain?" tanya Rita kakaknya.

"Nggak ngapa-ngapain koq kak," jawab Nayla.

"Boleh masuk?" tanya Rita.

Tanpa meminta persetujuan pun Nayla sebenarnya membolehkan kakaknya untuk masuk. Rita melihat adiknya sedang bersandar di dinding kamar di atas ranjang sambil memegang gitar. Rita pun teringat bagaimana dulu adiknya ini menjadi vokalis sebuah group band. Dan kini masa-masa itu telah berlalu menyisakan sebuah kenangan gitar yang selalu dibawanya ketika dia merasa suntuk, galau dan dengan gitar itu pulalah adiknya menciptakan lagu-lagu.

"Laila pulang jam berapa dari sekolah?" tanya Rita.

"Jam sepuluh, sekarang masih jam sembilan, kan?" tanya Nayla balik.

"Jam sembilan lewat tiga puluh," jawab Rita. "Aku ke sini mau ngobrol sedikit ama kamu."

"Ngobrolin apa?"

Rita pun duduk di atas ranjang adiknya. "Kamu lagi galau?"

"Ah, sok tahu."

"Kakak itu tahu kamu lagi galau. Kakak tahu gimana sih sifat adikku ini, memangnya kenapa?"

9 BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang