BAB XIX Kejujuran

540 24 0
                                    

Agaknya selama ini terjawab sudah seluruh kegalauan di dalam hati Nayla. Begitu juga Ridwan. Bukan persoalan yang mudah untuk bisa menyadarinya dengan jiwa mereka yang sering labil. Masa-masa muda yang sering disilaukan oleh hal-hal yang tidak penting. Keegoisan, darah muda yang mendidih, dan ketidak bijakan ketika mengambil keputusan sebuah persoalan. Dan itu bukanlah sesuatu yang mudah yang harus dicapai oleh seorang Ridwan. Ia harus berjuang mengarungi kehidupannya. Berusaha bersikap bijak dalam memahami segala sesuatu. Menyusun berbagai kotak-kotak fragmen kehidupan sehingga menghasilkan sebuah cerita yang bagus.

Di dalam mobil itu Ridwan dan Nayla membisu. Perasaan mereka berkecamuk. Nayla membuang mukanya ke pinggir jalan. Ridwan pun tak berani sama sekali melirik ke arah Nayla yang ada di kursi belakang walaupun hal itu bisa dilakukannya dari kaca spion. Hari ini aku harus melakukannya, pikir Ridwan. Aku tak mau kehilangan dia untuk yang kedua kali.

Mobil pun mulai pelan ketika hampir sampai di rumah Nayla.

"Hampir sampai," Ridwan memulai kata-katanya.

Nayla tak berkata apapun. Dia membetulkan kacamatanya lagi lalu menoleh ke arah Ridwan. Kakak seniornya itu sekarang sudah dewasa. Tak pernah ia sangka sebelumnya akan bertemu dengan dirinya lagi dalam kondisi seperti ini, tapi memang inilah kehidupan. Setelah sampai mobil pun berhenti dan Nayla keluar disusul oleh Ridwan.

Nayla berdiri di depan pagar rumahnya. Dia membelakangi Ridwan. Entah rasanya waktu saat itu berhenti. Sebuah kejujuran yang seharusnya Ridwan ucapkan bertahun-tahun yang lalu, hari ini terucapkan. "Nayla, aku mencintaimu dan aku ingin menikah denganmu."

Berbeda tentunya dengan apa yang Ridwan ucapkan dulu. Ridwan dulu sekali hanya memandang Nayla sebagai seorang gadis yang dikasihani. Sebagai seorang gadis yang membuat dia bersemangat untuk bisa berubah menjadi seorang yang baik. Dan dia tanpa melihat ke dalam hati Nayla saat itu langsung bilang bahwa dia hendak melamar Nayla, tentu saja dia belum siap pada saat itu. Kata-katanya itulah yang mengakibatkan persahabatan mereka kandas. Namun kata-kata yang sedikit berbeda hari ini keluar dari mulut Ridwan. Sebuah kata yang ditunggu Nayla bertahun-tahun yang lalu. Namun sebenarnya dia sudah tahu apa isi hati Ridwan. Ia ingin Ridwan mengatakannya sendiri sejak dulu. Tangan Nayla memegang pagar rumahnya.

"Nayla, aku minta maaf atas apa yang aku lakukan dulu. Aku tahu aku orang yang bodoh. Mengatakan kepadamu ingin menikahimu waktu itu, waktu aku sebenarnya juga belum siap. Aku masih hijau, masih belum belajar tentang kehidupan, tentang dunia, tentang segala hal. Aku masih perlu banyak belajar. Dan semua pengetahuan yang aku dapat ini, semua hal yang aku perjuangkan ini, semuanya kembali di sini. Di dekatmu. Aku tahu, mungkin saat itu kau benar-benar menganggap aku orang yang tidak waras. Seenaknya bicara, orang yang sinting. Tapi, kali ini aku ingin mengatakan kejujuran hatiku.

"Aku telah lama berpisah denganmu. Aku bahkan mulai melupakanmu. Sejujurnya aku sama sekali tak ingat denganmu. Namun hidupku ada yang kurang. Di antara relung hatiku ada yang kurang. Aku pun mencari apa yang kurang. Setelah kita berpisah aku pun merasa engkau bukan jodohku, engkau tidak ditakdirkan untukku. Aku tak mengerti kenapa setelah berpisah denganmu selalu saja ada yang kurang. Di sini, di hatiku. Ada bagian-bagian yang lepas, yang aku tak bisa jelaskan mengapa. Aku telah mengarungi bahtera rumah tangga dengan orang yang sama sekali tak kukenal, dan aku pun juga mencintainya. Namun ternyata hal itu tak berlangsung lama. Kebahagiaan itu singkat. Bukan karena aku sudah tak mencintainya lagi, tetapi tetap saja ada yang kurang. Tapi aku tak bisa menjawabnya. Aku tak bisa menjawabnya hingga kemudian aku pun teringat kembali tentang sesuatu yang aku lupa. Kita bertemu lagi.

"Nay, pertemuan kita kemarin itu mengingatkanku akan dirimu. Akan alasan-alasan kenapa aku ada di sini. Akan alasan-alasan kenapa aku belajar agama ini. Semua alasan kenapa aku harus berjuang sampai di sini. Engkaulah bagian hatiku yang hilang itu. Sebab aku telah menyerahkannya separuh hatiku untukmu. Dan aku belum mengambilnya lagi. Saat aku bertemu denganmu lagi. Saat itulah aku menyadarinya. Aku sadari engkaulah cinta pertamaku. Engkaulah cinta sejatiku. Dan di sini aku berdiri dengan keberanian yang mantab sekali lagi. Dengan cinta, aku ingin meminangmu untuk menjadi bidadari surgaku."

Nayla berdiri tak bergerak. Ia hampir saja pingsan mendengar kata-kata Ridwan kalau saja tidak berpegangan kepada pagar rumahnya. Air matanya pun keluar. Tangannya gemetar. Kata-kata Ridwan itu menggetarkan seluruh syaraf yang ada di dalam tubuhnya. Bahkan jiwanya pun hampir saja melayang ke langit. Sayang dia tidak ditakdirkan untuk meninggal hari itu.

"Kenapa dulu kau pergi?" tanya Nayla.

"Aku....," mulut Ridwan tiba-tiba tercekat.

"Kenapa kau dulu pergi?" Nayla berbalik. Ridwan terkejut melihat air mata Nayla. Dia tak menyangka Nayla menangis. "Kenapa kau dulu pergi? Kenapa kau menuruti kata-kataku untuk pergi? Kenapa?"

Ridwan diam. Ia juga tak punya jawaban untuk itu.

"Aku juga kehilangan dirimu Mas. Aku sangat kehilangan dirimu. Saat kau pergi aku sangat kehilangan dirimu. Tapi kenapa kau menurutiku? Aku bisa berbicara seenaknya, semua orang selalu menurutiku, tapi kenapa kau juga harus menurutiku? Kau bisa nekad membawaku pergi. Kau bisa datang ke rumahku dan meyakinkan aku waktu itu. Bahwa kau mencintaiku. Kenapa Mas?"

Air mata Ridwan pun keluar. Ia memejamkan mata tak berani melihat mata Nayla yang menatap matanya. Ia tak punya jawaban untuk itu dan Nayla pun tahu.

"Maafkan aku yang dulu egois. Hanya karena ingin memuaskan hatiku, aku pun melupakanmu. Padahal engkau selalu ada di saat aku butuh. Engkau selalu menemaniku di saat aku sendiri. Engkau selalu ada dan aku buta. Engkau sahabatku dan aku tahu engkau mencintaku. Tapi aku terlalu egois. Maafkan aku Mas."

"Akulah yang bersalah Nay. Akulah yang bersalah. Aku baru bisa jujur kepadamu," Ridwan menghapus air matanya.

"Kita semua salah. Kita punya ego kita masing-masing. Kepala kita keras seperti batu. Aku, engkau, semuanya. Harusnya kita tak seperti ini."

Mereka berdua menyadari kesalahannya masing-masing. Sebuah keegoisan yang meruntuhkan persahabatan. Sebuah keegoisan yang membuat Nayla dan Ridwan kehilangan cinta sejati mereka. Ridwan pun menghapus air matanya. Ia menarik nafas dalam-dalam. Mereka berdua menyesali perpisahan mereka selama ini.

Ridwan mengambil sapu tangan di sakunya. Lalu menghampiri Nayla. Dia kemudian melepas kacamata Nayla. Dihapusnya air mata Nayla dengan sapu tangan itu. Nayla memegang tangan Ridwan. Perasaan mereka sekarang menyatu. Jantung mereka berdebar-debar kencang. Bahkan Ridwan pun bisa mendengar jelas detak jantung Nayla. Dada mereka sama-sama sesak, syaraf-syaraf mereka seolah-olah sudah tak berfungsi lagi. Keduanya telah kembali menemukan cinta sejati mereka.

"Aku juga mencintaimu Mas. Lamarlah aku kepada kedua orang tuaku. Aku siap. Aku akan tunggu dirimu di sini."

"Aku akan datang, wahai calon bidadari surgaku," ujar Ridwan.

Ridwan menaruh sapu tangannya di tangan Nayla. Ia lalu berbalik menuju ke mobilnya. Sesaat sebelum masuk ke mobilnya ia pun berkata lagi, "Seminggu lagi aku akan datang. Persiapkan segalanya. Aku tak akan membawa hadiah apa-apa dan jangan memberikanku hadiah apa-apa. Karena aku akan datang hanya untuk mengutarakan maksudku kepada keluargamu, sebab kalau mereka menerimaku maka engkau adalah hadiah yang paling indah yang akan aku terima."

"Iya, aku mengerti," kata Nayla. "Aku juga tak ingin hadiah apapun, karena Mas adalah hadiah terbaik untuk diriku."

Ridwan membuka pintu mobilnya dan ia masuk. Tak berapa lama kemudian mobil sedan itu melaju meninggalkan Nayla yang terus menatapnya hingga menghilang dari pandangan. Di dalam mobil Ridwan pun berseru. "ALHAMDULILLAH! Aku akan kawin!"

Nayla sambil tersenyum ia berkata dalam hati, "Aku akan menunggumu pangeranku. Aku akan menunggumu."

Sapu tangan Ridwan digenggamnya erat. Dan dia segera masuk rumah dengan wajah tersipu-sipu. Ibunya melihat dia masuk rumah, ternyata sedari tadi ibunya mendengarkan segalanya. Nayla makin malu dan masuk ke kamarnya.

Pak Kusmoharjo kebingungan. "Ada apa bune?"

"Anakmu lagi kasmaran. Sebentar lagi kita akan ngunduh mantu lagi," kata istrinya.

"Hah? Yang bener?"

"Iya, aku tadi sudah dengar semuanya. Seminggu lagi dia akan melamar Nayla."

"Siapa bune?"

"Nggak tahu, tapi orangnya ganteng, bawa mobil. Katanya mereka dulu sahabatan."

"Oh, begitu. Nayla?! Nayla!?"

"Bapak ih, biarin! Dia lagi kasmaran koq diganggu!" istrinya menepuk bahu Pak Kusmoharjo. "Aku nggak pernah melihat Nayla seperti ini sebelumnya. Mungkin sudah saatnya Nayla mendapatkan kebahagiaan yang dia impikan selama ini."

Di dalam kamarnya, Nayla menciumi pipi anaknya. Malam itu dia tidur sambil memeluk anaknya. Perasaannya bahagia, tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Bahkan ia akan memberikan apapun di dunia ini untuk mendapatkannya. Mungkin inilah yang dicarinya selama ini. Cinta yang sejati.

***


9 BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang