BAB XX Dijemput Pangeran Pujaan Hati

589 24 0
                                    

Ridwan mencium tangan ibunya yang masih tergolek tak berdaya di atas ranjang. Di sampingnya ada Budhe Har istri dari Pak Dhe Ronggo. Mata ibunya yang sayu menatapnya itu seolah-olah mengatakan "selamat berjuang nak" semoga kamu berhasil. Lik Gatot sudah menunggu di luar dan sudah siap berangkat. Ridwan kemudian keluar kamar ibunya.

Di ruang keluarga ia menyaksikan Pak Dhe Ronggo, juga sepupu-sepupunya. Entah kenapa ia seperti akan berangkat menuju medan perang. Melihat perabot-perabot yang ada, dia pun teringat tentang dulu ia sama sekali tak mempunyai ini. Sofa yang empuk saja ia tak punya. Rumah ngontrak tanpa perabotan apapun. Meja saja tak ada. Hanya sebuah kasur dan itu pun ia harus berbagi. Kini semuanya bisa ia beli. Di pojok ruangan ada sebuah jam dinding yang berdetak dan kalau pas dengan jam tertentu pasti berdentang seperti lonceng. Ridwan tak pernah menyangka bisa memiliki jam seperti itu.

"Lik Gatot, ayo berangkat!" kata Ridwan.

Dia memakai baju batik berwarna coklat. Benar-benar necis. Dia dan Lik Gatot keluar dan menuju ke sebuah mobil sedan berwarna biru. Ridwan yang akan mengendarainya. Dia sudah memberi tahu Nayla bahwa akan melamarnya pada hari ini. Siap atau tidak siap dia akan datang. Dia juga memberi tahu Nayla tak akan membawa apapun, sebab urusannya hanya melamarnya bukan untuk memberi hadiah bukan untuk unjuk kekayaan sebab kekayaannya pun akan menjadi miliknya suatu saat nanti kalau dia telah menjadi istrinya. Nayla juga diberi tahu tak perlu pakai acara adat-adat segala, karena memang tujuannya hanya untuk lamaran, simple dan tak neko-neko. Roda mobil sedan itu berdecit. Meninggalkan rumah. Ridwan mengambil nafas dalam-dalam. Kini ia siap untuk menjemput salah satu bintangnya.

***

Nayla sudah berdandan. Sebenarnya ini bukan kali pertamanya ia memakai jilbab. Hanya saja rasanya lain. Sebentar lagi akan ada orang yang akan melamarnya. Sebenarnya dia pernah mengalami hal ini, dulu ketika Toni mantan suaminya melamarnya dulu. Tapi rasanya lain. Kalau Toni datang dengan anggota keluarganya lengkap dengan mobil mewah dan berbagai hadiah serta parcel, tapi kali ini Ridwan datang sendirian. Ada alasannya kenapa Ridwan datang sendirian hanya ditemani oleh seorang pamannya, yaitu Lik Gatot. Salah satu alasannya adalah dia tak bisa mengajak ibunya. Karena ibunya sedang berada di rumah dalam kondisi sakit. Ridwan tak membawa apapun, karena tujuannya ke rumahnya Nayla hanya satu, yaitu ingin meminang janda itu.

Ridwan mengendarai mobilnya dan sudah terparkir di luar pagar rumah Nayla. Langsung saja beberapa anggota keluarga Nayla menyambut mereka. Tampak Ridwan keluar dengan baju batik. Pakaiannya sangat rapi dan santun. Memang ada yang berubah dengan Ridwan. Ia lebih dewasa sekarang. Dari mata Ridwan saja sudah tersiat kewibaannya. Apalagi telah diketahui semua orang bahwa Ridwan sekarang sudah mempunyai perusahaan sendiri. Kalau dulu dia kesulitan dalam hal finansial, sekarang dia sudah bisa membeli apapun.

Yang pertama kali menyambut Ridwan adalah suami dari Rita—Dani. Mereka berjabat tangan dan Ridwan dipersilakan masuk. Sebelum masuk rumah Ridwan mengucapkan salam. Di dalam rumah sudah berkumpul beberapa keluarga dari Nayla. Ada ayahnya Bapak Kusmoharjo. Ridwan dulu pernah bertemu dengannya sekali. Sekarang ia bertemu lagi. Mereka berdua berjabat tangan. Disusul Lik Gatot. Kemudian Ridwan dan Lik Gatot dipersilakan duduk.

"Ini yang namanya Ridwan?" tanya Pak Kusmoharjo.

"Iya, saya Ridwan ini paman saya, Lik Gatot," jawab Ridwan sambil menunjuk ke Lik Gatot.

"Oh begitu," kata Pak Kusmoharjo.

Saat itu dari dalam kamar tampak seorang wanita berjilbab dan memakai kacamata minusnya. Sesekali ia betulkan kacamata minus itu. Ridwan pun hampir saja melayang waktu itu, kalau Lik Gatot tidak memeganginya. Seorang wanita yang dulu ketika masa-masa sekolah pernah ia sukai dan merupakan salah satu alasan dia terjun ke medan dakwah sekarang ada di hadapannya. Nayla lalu duduk di dekat ayahnya.

"Saya kurang lebih sudah mengetahui maksud kedatangan Nak Ridwan ke rumah ini, maka dari itu kami sekeluarga hanya bisa menyerahkan semuanya kepada anak saya saja. Dialah yang memutuskan, apalagi sudah sama-sama dewasa. Janda ketemu duda, kan ya pas," kata Pak Kusmoharjo. Seluruh ruangan tertawa mendengarnya. "Nah, cah ayu. Sekarang terserah kepadamu!"

Entah kenapa waktu itu Nayla tak berani menatap ke arah Ridwan. Ia sama sekali tak berani. Dia menunduk memandangi kakinya. Semua orang tak tahu kalau sekarang ini ia berdebar-debar. Antara takut, bingung, galau, semuanya jadi satu. Ridwan menatap ke arah Nayla yang mana tahu bagaimana perasaan sang wanita ketika sedang dilamar.

"Saya boleh bicara bapak?" tanya Ridwan.

"Silakan!" kata Pak Kusmoharjo.

"Saya ke sini memang sudah memberitahukan maksud saya beberapa hari yang lalu. Saya sudah kenal baik dengan Nayla, karena memang dulu teman sekolah saya. Dan sekarang saya ke sini bukan untuk meminta dia menjadi teman saya lagi, tapi lebih dari itu, saya ingin dialah yang bisa mengisi kehidupan saya kelak. Saya kemari tak membawa hadiah apapun, juga tak membawa ibu saya yang sekarang sedang sakit. Tapi saya yakin kalau Nayla akan diterima dengan senang hati di keluarga kami," kata Ridwan.

Semua mata tertuju kepada Ridwan. Ridwan pun melanjutkan.

"Nay, sekarang aku datang lagi. Aku sudah penuhi janjiku dan aku tak akan lari lagi. Apakah kau bersedia dengan lamaran ini?" tanya Ridwan.

Rita lalu menggeser tempat duduknya dan mencubit Nayla. Nayla memukul tangan kakaknya. Semuanya tertawa. Ibunya Nayla—Herdiyani—tersenyum, "Kayaknya anaknya masih malu."

Lagi-lagi terdengar tawa dari seluruh orang.

Nayla menaikkan dagunya. Diliriknya Ridwan. Langsung hatinya serasa cess....wajah Ridwan tiba-tiba sudah tak bisa dia lupakan saat itu juga. Nayla tak bisa bicara, hanya mengangguk.

"Koq mengangguk? Bicara dong!" kata Rita.

"Iya, aku terima lamarannya mas," kata Nayla spontan.

"Alhamdulillah," kata Ridwan. Disusul yang lainnya pun berkata demikian. "Trus, kamu ingin mas kawin apa?"

"Mas beri apapun aku akan terima, katanya wanita yang paling baik adalah yang paling sedikit maharnya," kata Nayla.

"Masyaa Allah, Alhamdulillah. Baiklah aku akan persiapkan," kata Ridwan.

Setelah itu acara dilanjutkan dengan ramah tamah. Perasaan Nayla hari itu berbeda. Sangat berbeda dari sebelumnya. Hatinya berbunga-bunga. Seandainya taman bunga mungkin sekarang seluruh bunga yang ada di sana bermekaran. Entah kenapa hari itu ia malu sekali dan menghindari bertemu mata dengan Ridwan. Dulu acara lamaran Toni tak seperti ini. Waktu itu dia seolah menguasai panggung. Tapi kini dia bahkan ingin berkata apapun tak bisa. Dia digoda oleh kakaknya pun tetap diam. Ada sesuatu yang tak bisa diungkapkan olehnya. Sesuatu yang melebihi apa yang dia rasakan dulu. Namun kehadiran sesuatu itu membuat hidupnya lebih hidup. Membuat dirinya kuat. Inilah yang disebut dengan cinta.

***


9 BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang