BAB XII Perpisahan

423 24 0
                                    

Ridwan makin yakin ia telah jatuh cinta kepada Nayla. Sebuah perasaan yang nyata, bukan khayalan. Hanya saja ia juga tak tahu harus bagaimana. Dia masih harus konsentrasi terhadap Ujian Akhir Nasional yang akan digelar sebentar lagi. Dan ternyata Nayla memberikan semangat yang luar biasa. Hampir tiap waktu Nayla mengirim pesan agar Ridwan tetap semangat dan terus belajar. Waktu terus berjalan, hingga akhirnya masa itu tiba. Ujian Akhir Nasional selesai. Hasil pun telah diumumkan. Ridwan lulus.

Kemudian yang akhirnya menjadi pertanyaan seluruh murid yang baru lulus adalah "Kemana aku harus kuliah?" Ridwan ingin kuliah ssuai dengan hobinya, yaitu komputer. Dan ia ingin pergi ke Surabaya untuk kuliah di salah satu perguruan ternama di sana.

Acara perpisahan pun diadakan. Dan Nayla dengan bandnya menjadi bintang tamu pada acara itu. Ridwan sepertinya agak bersedih tidak bisa melihat pertunjukkan sahabatnya itu lagi. Perpisahan itu adalah langkah awal bagi para murid yang sudah lulus untuk menghadapi dunia yang sesungguhnya. Entah mereka kerja ataukah melanjutkan kuliah.

"Rid, aku ingin bicara ama kamu sebentar ya?" tanya Shinta.

Tanpa mendengar persetujuan Ridwan, Shinta langsung menggandeng Ridwan untuk meninggalkan ruang acara. Ridwan kebingungan. Ia hanya mengikuti kemana Shinta mengajaknya. Mereka pun sampai di samping gedung, agak jauh dari tempat acara. Shinta lalu tiba-tiba langsung memeluk Ridwan. Ridwan terkejut mendapatkan perlakuan itu. Tiba-tiba Shinta menangis.

"Shin, ada apa?" tanya Ridwan.

"Aku akan kehilangan kamu Rid, aku nggak mau. Aku nggak mau kehilangan kamu," kata Shinta.

"Tapi lepasin dulu ini, plis."

Shinta lalu melepaskan pelukannya. Air matanya mengalir di pipinya. Ridwan tak tahu apa yang terjadi.

"Ada apa? Kenapa kamu menangis?"

"Rid, aku....aku....aku...aku suka ama kamu. Aku cinta ama kamu. Aku tak mau berpisah ama kamu Rid."

Shinta merasa lega bisa mengutarakan isi hatinya selama ini. Walaupun dalam keadaan yang sangat tidak ia inginkan.

"Aku minta maaf selama ini sudah jahat sama kamu. Aku minta maaf selama ini sudah menyakitimu. Tapi itu bukan berarti aku benci ama kamu Rid. Aku sayang ama kamu. Kamu sudah banyak mengubah diriku selama ini. Aku dulu suka menyakiti teman, sekarang sudah tidak lagi. Engkau mengubahku Rid. Dan aku mengatakan perasaanku sekarang kepadaku, kalau aku cinta ama kamu, aku suka ama kamu."

Ridwan menarik nafas dalam-dalam. Selama ini tak pernah ada cewek yang menembak dia seperti ini. Ia tak pernah menyangka kalau Shinta yang dulu jahat kepadanya sekarang berbaik hati kepadanya. Bahkan malah mencintainya. Ridwan lalu menghapus air mata Shinta. Wajah Shinta yang biasanya terlihat judes itu sekarang seperti kekanakan, cantik, imut, bahkan mungkin hal itu tak pernah disangka oleh Ridwan sebelumnya.

"Aku boleh bertanya kepadamu?" tanya Ridwan.

Shinta mengangguk.

"Dadamu sekarang sesak ndak?"

Shinta menggeleng.

"Jantungmu berdebar-debar?"

Shinta mengangguk.

"Apakah seluruh syarafmu sekarang kaku?"

Shinta menggeleng.

"Ibuku berkata, orang yang jatuh cinta yang luar biasa, maka dia akan mengalami tiga hal ini. Dada terasa sesak, jantung berdebar-debar dan syaraf-syarafnya serasa lumpuh. Engkau hanya merasakan satu macam dari tiga tanda. Artinya itu bukan cinta yang sebenarnya. Aku bisa katakan sebenarnya kamu mungkin kagum kepadaku atau semisalnya.

"Aku telah memaafkanmu. Dan aku yakin kemungkinan engkau tergerak atas apa yang aku perjuangkan selama ini. Dibully selama dua tahun itu tidak mudah. Kau pun akhirnya mengerti perasaanku. Perasaan dihina, dilecehkan, disakiti. Engkau sekarang bisa merasakannya. Tapi aku tak bisa menerima cintamu. Aku tahu kehilangan itu berat, perpisahan itu berat. Itulah kehidupan, ada perjumpaan ada perpisahan. Aku tak akan menyalahkanmu atas cinta yang kau rasakan kepadaku. Tapi kalau kau menganggap ini adalah cinta, maka simpanlah perasaan itu di dalam dadamu. Jangan kau buang, buatlah hal itu sebagai penyemangat dirimu. Agar kau tahu bahwa engkau pernah mencintai seseorang seperti aku yang sebenarnya tak pantas engkau cintai."

"Apakah sudah ada wanita lain di hatimu?"

Ridwan mengangguk. "Iya, ada."

"Ternyata, aku keduluan dia ya?"

"Iya, dia sudah mengisi hatiku."

Shinta menghirup nafas dalam-dalam. "Aku terlalu bodoh mengira bahwa kamu tidak punya tambatan hati. Aku tak menyangkanya. Tapi....terima kasih atas semuanya. Kau tidak marah, tapi kau juga tak menginginkan agar aku membuang perasaan cintaku kepadamu. Mungkin memang benar kalau aku kagum kepadamu. Ini bukan cinta yang sebenarnya. Ridwan, aku ingin engkau tahu. Engkaulah sesuatu terindah yang pernah datang dalam hidupku. Aku tak akan melupakanmu selama-lamanya."

Shinta tiba-tiba maju dan mencium pipi Ridwan. Ridwan mundur selangkah.

"Maaf, tapi biarkan ini menjadi hadiah perpisahan kita," Shinta bergegas meninggalkan Ridwan sendirian. Ridwan hanya bisa melihatnya berlari-lari dengan wajah tersipu-sipu meninggalkan tempat itu.

Usai acara perpisahan Ridwan menyenggol Nayla.

"Nay, jalan sebentar yuk?!" kata Ridwan.

"Kemana?" tanya Nayla.

"Ke taman deket sini," kata Ridwan.

Mereka pun kemudian berjalan-jalan di taman. Agaknya mungkin ini adalah kesempatan terakhir mereka bertemu.

"Mas, jadi ke mana kuliahnya?" tanya Nayla.

"Ke Surabaya sepertinya. Mungkin ini pertemuan kita terakhir di sini. Ntar kalau aku mudik kita ketemuan lagi juga boleh," kata Ridwan.

"Nggak terasa ya, udah lulus. Perasaan baru kemarin kita ketemu."

"Masih ingat pertama ketemu?"

"Masih dong, mas nemuin lensa kontakku yang jatuh."

"Aku bakal merindukan aksi panggungmu setelah ini."

"Aku juga bakal merindukan suara merdu nasyid mas setelah ini."

Mereka berdua lalu terdiam. Ridwan dalam hati berkata, 'Ayo katakan, katakan kalau kamu suka ama dia. Katakan!'

Nayla juga sama, 'Ayo Nay, bilang kalau kamu suka sama dia. Jangan nunggu dia yang bilang! Sebentar lagi kalian berpisah'

"Maafkan aku selama ini. Mungkin ada banyak salah," kata Ridwan.

"Sama-sama Mas."

Ridwan menjulurkan tangannya yang dikepalkan. Nayla lalu meninju pelan tangan Ridwan. Salamnya yang biasanya dilakukan Ridwan kepadanya.

"Janji, jangan nangis!?" tanya Ridwan.

"Nggak koq, aku nggak bakal nangis," jawab Nayla sambil matanya berkaca-kaca.

"Itu nangis gitu," goda Ridwan.

"Nggak, lhoo nggak kan?" Nayla melotot.

Ridwan ketawa. "Menangis saja nggak apa-apa. Sudah sewajarnya anak cewek itu menangis."

"Tapi aku bukan cewek yang sewajarnya koq."

"Hahaha. Iya, itulah Nayla. Sampai ketemu lagi nanti. In Syaa Allah."

Ridwan lalu meninggalkan Nayla. Nayla hanya bisa menatap punggung Ridwan meninggalkan dirinya.

"Mas, katakan kalau kamu mencintaiku. Jangan biarkan aku sendirian di sini," gumam Nayla. Tetapi Ridwan tidak pernah menoleh kepadanya lagi sampai menghilang dari pandangannya. Nayla pun menangis. Ia menutup wajahnya, lalu berbalik meninggalkan taman itu. Sementara itu dari kejauhan Ridwan ternyata tidak pergi jauh. Ia berbalik lagi ke tempat Nayla berada, tapi Nayla sudah tidak ada lagi di tempat itu. Ridwan menatap kosong. Tak ada lagi wujud Nayla. Tak ada lagi.

"Nay, aku mencintamu. Aku tak ingin meninggalkanmu sendirian di sini. Nayla..."

***


9 BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang