BAB XIII Kenapa Harus Seperti Ini?

396 20 0
                                    

Agaknya kuliah tidaklah seberat yang dipikirkan oleh Ridwan. Ia bisa mengikutinya dengan baik. Sebulan, dua bulan, tiga bulan tak ada halangan. Bahkan ia sangat senang sekali bisa kuliah. Terlebih ekstrakulikulernya sangat banyak. Tentu saja, kehidupan mahasiswa sangat berbeda dengan anak-anak SMA. Semuanya serba mandiri, merasa ingin dihormati dan kebanyakan militan.

Ridwan masih menyempatkan untuk pulang ke rumah sebulan dua kali. Kadang ketika pulang itu ia menyapa Nayla, sekalipun lewat telepon. Bahkan di kampus pun dia terkadang masih suka iseng menelpon Nayla di sana. Walaupun jauh, hubungan mereka masih baik.

Dia teringat dengan nasehat ibunya, "Jangan pacaran!"

Di kampus Ridwan menjadi aktivis. Bersama dengan teman-teman Unit Kerohanian Islam, ia makin banyak belajar tentang agama. Salah satu hal yang membuat dia ingin belajar agama adalah agar ia tahu bagaimana memberikan solusi kepada persoalan yang Nayla sedang hadapi. Ia dilarang untuk memakai jilbab oleh orang tuanya. Keinginannya hanya satu apakah ada cara yang lebih baik untuk bisa menolong Nayla?

Tempat baru teman-teman baru. Di kampus dia mulai banyak teman. Baik dari seniornya maupun teman-teman seangkatan. Pergaulan Ridwan makin luas. Temannya pun beragam, dari daerah Indonesia Timur ataupun dari Indonesia Tengah. Dari ujung Indonesia pun ada. Karena tekadnya untuk kuliah agar mendapatkan nilai terbaik di kampusnya, maka setelah dua semester ia bisa mendapatkan beasiswa di kampus ini. Mempunyai IPK tertinggi, bahkan menjadi asisten dosen.

Tak terasa setahun sudah dia kuliah.

Masjid adalah salah satu tempat favoritnya. Selain sebagai tempat ibadah, Ridwan memilih tempat ini untuk memberikan ketenangan kepada pikirannya dari ketegangan sehari-hari. Masjid kampus ini tidak terlalu besar, tapi cukup untuk menampung shalat Jum'at mahasiswa kampus. Karena setiap shalat Jum'at pasti penuh. Tempat akhwat dan ikhwan dipisah oleh sebuah tabir yang terbuat dari papan yang diberi kelambu. Ridwan berpikir para akhwat ini hebat-hebat. Mereka mau memakai jilbab lebar, bahkan mungkin tak ada halangan dari orang tuanya. Tidak seperti Nayla. Sampai sekarang Ridwan masih memikirkan kejadian waktu itu. Salah satu bintang-bintang Nayla adalah agar bisa memakai jilbab.

"Nikahi saja dia!" celetuk seseorang.

Ridwan terkejut. Dia melihat kanan dan kiri. Ternyata ada dua orang yang sedang bicara di salah satu sudut masjid. Dia para senior. Ridwan tak tahu siapa mereka karena tak kenal. Yang satu memakai kemeja biru yang satunya memakai baju koko.

"Apaan sih? Mana berani aku melamar dia?" kata yang memakai kemeja biru.

"Udahlah, kamu niatnya kan ingin agar dia jadi baik kan? Sekarang siapa sih yang bisa membimbing dia? Apalagi kamu suka kan sama dia? Dari pada kamu dosa karena mikirin dia terus, maka yang lebih baik adalah kamu nikahi dia. Kalau ditolak? Ya sudah mungkin dia bukan jodohmu. Tapi niatmu kan benar-benar tulus. Untuk menyelamatkan diri, agamamu dan juga dirinya."

"Duh, gimana ya."

"Udah ah, jadi ikhwan koq galau melulu"

Ridwan jadi teringat apa yang diucapkan oleh ibunya. Memang ia tak boleh pacaran tapi bolehkan kalau menikah? Apakah kalau misalnya Ridwan melamar Nayla dia akan menerima? Sekarang Nayla sudah lulus dan dia pasti sudah akan kuliah. Tapi apa mau dia nikah muda?

Hari Sabtu Ridwan pun mudik. Ia sebenarnya bisa saja menelpon Nayla, tapi ia ingin bicara langsung. Namun ia sama sekali tak punya keberanian.

Benar. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan Nayla adalah dengan cara menikahi dia. Kalau Ridwan menikahi Nayla maka dia bisa menjaga Nayla, bisa membantunya mendapatkan apa yang dia inginkan. Nayla bisa memakai jilbabnya. Tak ada cara lain. Mau adu argumen dengan orang tua Nayla? Mana mungkin. Siapa dia? Ridwan melakukan ini karena semata-mata untuk menolong Nayla. Walaupun caranya naif. Ridwan masih hijau dalam permasalahan ini. Dia tidak memikirkan bahwa pernikahan adalah suatu yang sakral yang tidak bisa diucapkan begitu saja. Karena banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan, salah satunya adalah mencari nafkah. Ridwan sama sekali tak punya. Dia juga nantinya harus berbagi kepada istrinya, berbagi semuanya. Berbagi tempat untuk tidur, berbagai makanan, berbagi kesusahan, kesenangan. Ridwan tidak berpikir sampai di situ. Bahkan kalaupun sampai punya anak, ia juga harus memikirkan anak-anak mereka nantinya. Sekali lagi Ridwan masih hijau. Dia tidak berpikir sejauh itu, dia hanya memikirkan bagaimana cara untuk menolong Nayla. Tidak lebih dari itu. Dia hanya ingin menolongnya. Menolong sahabat yang paling dicintainya itu.

Hati pemuda ini galau. Apakah harus dengan cara seperti ini? Tapi, ia tak punya cara lain. Ia akan hadapi semuanya. Ini adalah pilihannya. Dia pun menghubungi Nayla. Tak perlu menunggu lama langsung ada suara.

"Dengan rumah keluarga Kusmoharjo di sini. Assalaamu'alaykum Mas?"

"Wa'alaykumussalam. Bagaimana kabarmu?"

"Baik. Alhamdulillah. Mas mudik ya?"

"Iya. Kamu nerusin kemana?"

"Kuliah di kota ini saja deh. Nggak mau jauh-jauh dari rumah."

"Oh, begitu."

Mereka lalu terdiam. Cukup lama mungkin hampir satu menit.

"Koq diem?" Nayla mulai memecah keheningan. "Ada yang ingin dibacarakan kah?"

Inilah saatnya, pikir Ridwan. Sekarang atau tidak sama sekali.

"Ada yang ingin aku bicarakan kepadamu."

"Katakan saja!"

"Kamu selama ini sudah baik kepadaku. Berteman sudah lama. Dan kamu selalu ada disaat aku butuhkan."

"Sama Mas. Mas juga ada saat aku butuh. Kita sudah menjadi sahabat."

"Oh ya, ngomong-ngomong bagaimana ayahmu?"

"Orangnya baik-baik aja, kenapa?"

"Masih nggak boleh pakai jilbab?"

Nayla mendesah. "Iya."

"Oh..maaf, sebenarnya aku juga nggak tahu apa yang bisa aku bantu. Aku hopeless. Tak bisa menolong sahabatku untuk persoalan yang satu ini."

"Nggak usah begitu mas. Ini persoalan pribadiku. Aku nggak ingin Mas Ridwan terbebani. Sudahlah aku bisa mengurusnya sendiri."

"Tapi tak bisa begitu dong, kau sahabatku. Kau telah menolongku dulu. Memberiku semangat ketika aku jatuh. Kau cukup mengubah hidupku."

"Tak apa-apa Mas. Aku bisa menghadapinya seorang diri. Mas tak perlu khawatir. Aku tahu bagaimana sifat ayahku dan aku yakin bisa membujuknya."

Ridwan kemudian terdiam agak lama.

"Koq diem lagi? Ada apa sih? Bilang dong. Lagi naksir cewek?"

"Nggak. Sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu."

"Apa?"

"Tapi kau tidak marah?"

Nayla berdebar-debar. Apakah Ridwan akan menembaknya? Nggak mungkin. Apa Ridwan berani melakukannya? Walaupun itu yang ia tunggu. Tapi rasanya hal itu dirasa tak mungkin. Nayla bingung. Kalau sampai Ridwan menembaknya apa yang akan terjadi setelah ini.

"Kau mau menikah denganku?"

BRAK! Saking terkejutnya Nayla ia sampai-sampai menjatuhkan ponselnya sendiri ke meja belajarnya hingga menimbulkan suara gaduh. Untungnya ponselnya tidak mati.

"Apa Mas?"

"Kau mau menikah denganku?"

"Ah, Mas ini lucu deh."

"Aku nggak melucu beneran. Plis beneran, aku serius."

Tidaaakk! Aku tak mau! Pikir Nayla. Apa sih yang dipikirin Mas Ridwan?

"Mas, nggak salah ngomong kan? Mas kan masih kuliah?"

"Iya."

"Mas udah kerja?"

"Belum."

"Mas koq bisa bilang seperti itu?? Kenapa?"

Ridwan tak ingin memberitahukan alasannya. Karena ia ingin menolong Nayla. "Ya ingin saja."

Kenapa Mas tak bilang kalau cinta kepadaku? Kenapa?

"Jujur saja mas, katakan kenapa mas ingin menikah denganku?" tanya Nayla.

Saat itu Rita melintas di kamar Nayla dan mendengar percakapan Nayla ia pun terkejut. "Menikah??"

"Nay, aku tak ingin selalu memikirkanmu. Aku tak ingin bisa jadi orang yang tak bisa berbuat apa-apa demi dirimu. Aku ingin bisa menjadi sesuatu yang berarti untuk dirimu."

"Itukah alasannya? Apakah Mas merasa kasihan kepadaku?"

Telak sudah apa yang dikatakan Nayla.

"Apakah Mas mengira aku bisa dikasihani? Kenapa Mas tidak menjawab? Benar bukan? Mas kasihan kepadaku? Nggak perlu dikasihani, aku kuat Mas, aku kuat. Aku akan buktikan kalau aku kuat."

Ridwan terdiam. Ia tak tahu harus bilang apa lagi. Mereka terdiam cukup lama. Mata Nayla berkaca-kaca.

Dalam hati Nayla berkata, "Kenapa kau tidak bilang kalau kau cinta kepadaku? Katakan saja, apa susahnya? Kenapa kau tidak bilang 'Nay, aku mencintaimu aku ingin menikahimu' Apa susahnya?"

"Jawabanmu berarti tak mau?"

"Iyalah. Nikah itu butuh banyak hal Mas yang perlu dipikirkan. Terutama nafkah! Yang diperlukan juga adalah tempat tinggal. Bagaimana nanti kalau misalnya sudah punya anak? Apa Mas tidak mikirin sampai ke situ?"

Ridwan tak menjawab. Ia memang tak memikirkannya. Dan ia telalu naif.

"Baiklah kalau kau tak mau. Tak apa-apa," kata Ridwan.

'Mas Ridwan, kenapa kau bodoh sekali? Kenapa? Bilang saja kau mencintaiku apa susahnya?' Nayla berteriak dalam hati. 'Aku benci kepada Mas, benci sekali benci!'

"Sudahlah Mas. Aku tak mau mendengarkan Mas lagi. Pergi saja. Pergi dari kehidupanku. Aku tak mau melihat Mas lagi. Jangan hubungi aku lagi! Jangan pernah lagi menemui aku. Dan lebih baik nggak usah menghubungi aku lagi!" kata Nayla. Nayla menutup teleponnya dan membantingnya di atas tempat tidurnya.

"Mas Ridwan kamu bodoh sekali! Aarrgghh!" Nayla langsung ambruk ke atas tempat tidurnya dan menutup wajahnya dengan bantal.

Ridwan tak bisa berkata apa-apa lagi. Dia bodoh. Kenapa dia seperti itu? Kenapa harus terjadi hal seperti ini padahal dia sangat mencintai Nayla. Ridwan bingung apa yang telah dilakukannya. Bahkan sekarang Ridwan tak berani untuk menghubungi Nayla lagi. Tangannya gemetar memegang ponselnya. Dia telah melakukan sebuah kesalahan yang harusnya tidak dia lakukan. Kenapa bilang kalau dia sangat mencintai Nayla susah sekali? Kenapa? Ridwan membanting ponselnya hingga hancur. Besoknya dia kembali ke Surabaya. Dia berjanji tak akan pulang untuk menemui Nayla lagi sampai waktu yang tidak ditentukan. Dia telah melepaskan Nayla begitu saja. Rasanya ia sudah tak bisa kembali lagi menemui Nayla.

"Selamat tinggal Nay, kau adalah sesuatu terindah dalam hidupku. Aku tak akan melupakanmu. Perasaanku ini...," Ridwan memegang dadanya yang sakit. Jantungnya berdebar-debar. Wajah Nayla terbayang lagi. Seluruh syaraf-syarafnya bergetar. "Kau adalah cinta sejatiku. Andai Allah berkehendak mempertemukan kita lagi, maka kita akan ketemu. Ketahuilah perasaanku tak akan berubah."

Kereta Api cepat Dhoho mengantarkan Ridwan kembali ke Surabaya dengan penuh penyesalan. Dia ingin membuang seluruh hal tentang Nayla. Semuanya. Ia bahkan membakar foto-foto Nayla. Kenangan-kenangan dari Nayla pun ikut ia buang. Bahkan lagu-lagu Nayla yang sempat tersimpan di ponselnya pun tidak pernah ia bisa selamatkan lagi setelah ponselnya hancur. Ia ingin melupakan Nayla. Seolah-olah Nayla adalah sebuah tempat impian yang tak akan bisa ia raih lagi.

****


9 BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang