BAB XV Ini Adalah Pilihan

412 23 0
                                    

Setelah kurang lebih selama dua tahun kuliah Ridwan pun memutuskan untuk menikah. Namun ia masih bingung dengan calonnya. Sebenarnya ada banyak pilihan. Dan ia sendiri sudah melupakan Nayla. Ia pun menyambi bekerja sebagai seorang programmer di sebuah software house besar di kota tempat ia kuliah. Penghasilannya bahkan lebih bisa untuk membiayai perkuliahannya sendiri. Namun tetap saja ia belum lulus. Melihat banyak teman-temannya yang sudah menikah membuat ia juga kepingin menikah.

Dari semua teman-teman di kampusnya salah satu yang berasal dari kota yang sama dengan dirinya adalah Ukhti Neishira. Ilmu agamanya baik. Dan tentu saja sebagai seorang aktivis dengan jilbab lebarnya ia sangat disegani. Bahkan sampai sekarang pun para ikhwan-ikhwan cukup keder dengan dirinya. Hafalan Al-Qur'annya lebih banyak, bahkan ia juga bisa bahasa arab. Satu-satunya yang bisa menyamai hanyalah Ridwan. Bahkan Ridwan pun sekarang sudah menjadi ketua Unit Kerohanian Islam. Wawasannya lebih luas lagi dan pergaulannya di bidang dakwah sangat luas. Ia bahkan mengenal para ustadz yang ahli di bidang mereka.

Hingga suatu ketika Ridwan pun benar-benar serius untuk bisa menikah. Ia pun menyiapkan segalanya. Tentunya biaya pernikahan. Untuk pemuda yang masih labil seperti dia salah satu alasan dia menikah sekarang adalah karena biaya pernikahan naik dari tahun ke tahun. Dan ia juga segera ingin menyusul teman-temannya, apalagi dengan provokasi di sana sini baik dari artikel, majalah, mading, semuanya ngajak segera menikah.

Ridwan merasa cukup. Tapi apakah benar-benar cukup, ia sendiri tak yakin. Sebagai seorang yang memang butuh tantangan ia pun nekat. Pada hari sabtu, dia mengundang Neishira untuk datang ke masjid, karena ada sesuatu yang sangat penting untuk dibahas.

Hari sabtu itu sebetulnya sepi. Masjid juga nggak ada kegiatan. Ridwan sudah menunggu Neishira sejak pagi. Mereka berjanji untuk bertemu jam sembilan pagi. Apa yang disiapkan Ridwan? Secara materi tidak ada. Ia hanya mempersiapkan mental. Karena meminta seorang akhwat untuk jadi istrinya itu hal yang benar-benar terlalu berani. Terus terang Ridwan grogi. Menunggu dua jam lamanya itu sangatlah tidak mengenakkan. Ia pun berjalan mondar-mandir, kadang juga membaca Al-Qur'an, kadang juga membaca yang lain. Kadang juga melihat kontak-kontak di ponselnya.

"Assalaamu'alaykum?" sapa seorang akhwat dari balik tabir. "Apakah ada akhi Ridwan?"

"Wa'alaykumussalam. Ya, saya?" seru Ridwan.

"Ana Neishira. Ada apa ya? Koq cuma sendiri?"

Ridwan beringsut mendekat ke tabir.

"Sebenarnya ada yang ingin ana sampaikan dan ini penting. Mohon dengarkan baik-baik!" kata Ridwan.

"Iya, kenapa ya?"

"Ukhti ana punya rencana menikah. Hanya saja pilihan ana jatuh kepada anti. Apakah kira-kira kalau ana lamar anti ke orang tua, bisa?"

Neishira terdiam. Ia tentu saja terkejut mendengar ucapan Ridwan. Dia lebih muda dari dia dua tahun. Bahkan sekarang Neishira sendiri sudah ujian akhir sebentar lagi wisuda. Adanya Ridwan yang tiba-tiba mengutarakan maksud hati untuk melamarnya, tentu diluar dugaan.

"Ukhti Neishira, koq nggak ada jawaban? Bagaimana?" tanya Ridwan.

"Akhi serius?" tanya Neishira dari balik tabir.

"Aku serius. Maukah kau menikah denganku? Kalau memang ukhti nggak siap, nggak apa-apa," kata Ridwan.

"Tapi ini terlalu mendadak. Ana sendiri nggak pernah menyangka antum mengatakan hal ini," ujar Neishira.

"Kalau anti keberatan juga nggak apa-apa," kata Ridwan. "Tapi ana serius. Kalau misalnya harus bertemu dengan kedua orang tua anti pun ana nggak masalah."

"Hmm...baiklah," kata Neishira. "Ana butuh waktu. In Syaa Allah ana akan kabari lagi. Tapi jujur ana kaget. Ana sendiri nggak tahu bagaimana antum bisa memilih ana. Apa tidak ada kandidat yang lain? Ana masih banyak kekurangan di sana-sini."

"Kandidatnya banyak, bahkan terlalu banyak. Hanya saja ana milih anti karena sudah mantab setelah shalat berkali-kali. Kalau misalnya anti keberatan, ana nggak masalah." kata Ridwan.

"Bukan masalah itunya, ana masih kaget. Baiklah, ana akan kabari lagi seminggu atau dua minggu," kata Neishira.

Dua minggu ibaratnya penantian yang sangat membuat Ridwan grogi setengah hidup. Dia benar-benar kebingungan apakah maksudnya kemarin bisa diterima ataukah tidak. Kalau diurutkan, kegalauannya itu lebih kepada tidak diterima. Sebagai seorang yang baru saja mengatakan akan melamar seorang akhwat tentunya akan sangat tidak mau kalau ia sampai ditolak. Terlebih ia tak pernah pacaran sebelumnya, entah dengan Nayla bisa disebut pacaran atau tidak. Tapi yang jelas mereka tak pernah bilang cinta koq.

Hampir selama seminggu Ridwan makan saja tidak enak. Tidur saja tidak nyenyak. Ia bahkan kebayang kalau dia tidak diterima. Ia pun kemudian pulang ke rumah, mudik sehari dua hari. Kemudian mengutarakan maksudnya kepada sang ibu, bahwa ia kepingin menikah.

"Menikah? Serius Rid?" tanya ibunya.

"Begitulah bu, tolong ya boleh ya? Pliiiss," kata Ridwan.

Sang ibu menggeleng-geleng, "Kamu itu baru kerja beberapa bulan sambil kuliah saja seolah-olah sudah mendapatkan dunia seluruhnya. Jangan dulu, selesaikan kuliahmu dulu, baru setelah itu menikah!"

"Bu, aku sebenarnya nggak ingin melihat ibu sendirian di sini. Kalau aku sudah menikah, aku janji akan lebih banyak di rumah. Lebih banyak bersama ibu. Toh nanti kalau ibu sudah punya cucu, ibu juga akan senang."

"Bukan masalah itunya ngger. Ibu itu khawatir kamu nggak menyelesaikan kuliahmu. Jangan merasa besar dulu. Tolong itu sayapmu ditelungkupkan. Kamu itu masih seperti burung pipit, disangka terbangnya udah tinggi, tapi sadarlah ada burung elang yang terbangnya lebih tinggi dari kamu."

Ridwan lalu menghela nafas. Ia tak ingin membantah ibunya. Baiklah kalau begitu, pikirnya. Ia akan bilang ke Neishira, nggak jadi melamarnya. Tapi tentunya juga nggak bakal semudah itu, sedangkan dia sudah benar-benar serius koq. Apalagi kalau misalnya Neishira bilang bersedia, kemudian dia katakan nggak jadi. Bukankah tambah ruwet?

Ridwan tak ingin memikirkannya lagi. Ia akan hadapi hari esok. Ia pun tertidur di kamarnya, melepaskan seluruh rasa kelelahannya. Malam itu ia tak bermimpi apapun. Bangun juga seperti biasa. Rasanya tak ada beban apapun. Dia lalu melakukan shalat Subuh di masjid dekat rumahnya. Tak ada perasaan atau firasat apapun hingga ketika ia pulang dari masjid dan membuka pintu rumah tampak ibunya menunggu dirinya.

Ridwan sedikit kaget. Wajah ibunya yang tampak tersirat sebuah rasa kelelahan tiba-tiba cerah. Ridwan tak mengerti apa yang terjadi.

"Le, ngger. Sini duduk!" kata ibunya.

Ridwan kemudian duduk di kursi di depan ibunya.

"Ada apa bu?"

"Ibu telah berpikir tadi malam. Kalau memang itu keinginanmu. Ibu tak bisa menolak. Sebenarnya hanya kamu satu-satunya yang bisa ibu harapkan. Kau tahu sendiri keadaan kita seperti apa. Dengan kamu menikah, bebanmu makin banyak. Apa kamu sudah siap? Ibu tak akan memaksamu hanya ingin menasehati. Kalau misalnya nanti misalnya ketika berkeluarga kamu mendapatkan ujian, maka jangan pernah kamu menyesalinya. Karena ini adalah pilihanmu. Kamu sanggup?"

Ridwan terdiam. Apa yang dikatakan ibunya ada benarnya. Sanggupkah dia menerima konsekuensi ini? Bukan hal yang mudah untuk membangun sebuah rumah tangga. Bukan juga hal yang mudah untuk bertahan. Tapi Ridwan harus bertindak. Akhirnya kata-kata yang keluar dari mulutnya adalah, "Saya siap ibu."


9 BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang