BAB XI 9 Bintang

468 25 0
                                    

Ridwan sekarang sudah duduk di kelas XII-IPS. Ini adalah akhir dari seluruh pendidikan yang telah ia kenyam selama ini. Dan dia sekarang sedang mengikuti kegiatan perkemahan sabtu minggu. Dia dan Nayla duduk di tepi lapangan sepak bola. Perkemahan sabtu minggu itu kembali memberikan kenangan bagaimana Ridwan dan Nayla bertemu malam itu. Nayla biasa curhat kepada Ridwan, juga sebaliknya. Dan malam ini adalah malam yang akan terlupakan oleh Ridwan. Di mana Nayla memberitahukan sembilan bintang yang ia ingin raih.

Nayla mulai terbiasa dengan cara Ridwan yang mendekatinya. Walaupun sebenarnya Nayla tak ada rasa apapun kepada Ridwan. Tapi perlakuan Ridwan bolehlah dianggapnya sebagai sahabat. Toh sampai sekarang Ridwan tak keberatan dengan hal itu. Ridwan juga sama sekali tak pernah mengutarakan cinta atau nembak dia. Pasalnya dia kepingin dapat cowok dari anak band, biar kesukaannya sama. Itulah keinginan dari Nayla. Mendengar itu saja sepertinya Ridwan tak punya kesempatan untuk bisa mendekati Nayla.

Malam telah larut. Mereka berdua duduk di dekat api unggun yang tinggal baranya saja. Beberapa teman-temannya menggunakan panas api unggun itu untuk membakar ketela yang mereka dapatkan dari kebun sekolah. Tampak Nayla membawa gitarnya dan memainkan melodi-melodi yang membuat anak-anak yang lain tertidur di dekat api unggun. Kehangatan tak cukup menyentuh kulit mereka, tapi juga sampai ke dada mereka.

Ridwan dan Nayla terlibat percakapan akhirnya.

"Kau tahu Rid, lagu sembilan bintang yang aku ciptakan?" tanya Nayla.

"Tahu dong. Lagu itu jadi hits banget selama ini. Aku pun menjadikannya sebagai lagu favoritku," kata Ridwan.

"Itu lagu sebenarnya adalah sembilan impianku," tutur Nayla.

"Sembilan impian? Emangnya kenapa harus sembilan? Kan impian orang itu banyak," kata Ridwan sambil membolak-balikkan singkong yang ia taruh di atas bara api bekas api unggun.

"Menurutku angka sembilan adalah angka yang ajaib. Maka dari itulah kalau sembilan impian sudah terpenuhi maka kita bisa merencanakan sembilan berikutnya, hingga tak terbatas. Kalau langsung seratus impian terlalu jauh, kita keder sendiri. Kalau terlalu sedikit, maka kita akan malas menggapainya. Tapi dengan kata sembilan impian rasanya kita akan tertantang untuk itu," jelas Nayla.

Ridwan mengangguk-angguk. "Trus apa aja sembilan impian itu?"

"Pertama nih ya, aku kepingin punya cowok nantinya dari anak band," kata Nayla.

"Oh, trus?"

"Kedua, aku kepingin bisa kuliah dan lulus dengan nilai terbaik. Ketiga aku ingin nanti kalau punya anak akan menamakan anakku dengan nama Laila. Keempat nanti aku ingin punya rumah yang halamannya gedheeee banget. Kelima aku ingin bisa membahagiakan kedua orang tuaku. Keenam aku ingin bisa punya panti asuhan. Ketujuh aku ingin membawa kedua orang tuaku ke Mekkah. Kedelapan aku ingin bisa jalan-jalan ke Jepang. Kesembilan, aku ingin bisa pakai jilbab," kata Nayla.

Mendengar itu telinga Ridwan seperti salah dengar. Mungkin terasa aneh cita-citanya yang nomor sembilan. Ridwan sebenarnya tak mau menanyakannya tapi akhirnya keluar juga dari mulutnya. Justru hal itu sesuai dengan apa yang diinginkan olehnya. Hatinya sedikit gembira

"Kenapa dengan cita-cita yang nomor sembilan?" tanya Ridwan.

"Aku nggak boleh pakai jilbab oleh orang tuaku Rid," jawabnya.

Saat itulah Ridwan menarik nafas dalam-dalam.

"Kenapa tak boleh?"

"Kata ayahku, kalau seorang cewek pakai jilbab itu nggak bakal bisa kerja katanya. Ribet untuk urusan kerja inilah, itulah, macem-macem. Padahal aku kepengen bisa kaya' kalian. Kepengen bisa seperti temen-temen SKI. Mereka bisa pakai jilbab dan nyaman. Kau mungkin tahu pada acara bulan Ramadhan kemarin aku pakai jilbab ya hanya saat itu, setelah sampai di rumah dilepas. Sedih rasanya," kata Nayla. "Ingin aku istiqomah menjalankan ini. Tapi susah."

9 BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang