Chapter 21. | Orion

33 6 0
                                    

CHAPTER 21.
ORION

Ketika sang takdir mulai memperkenalkan dirinya.

—○●○—

HERA menatap anak sulungnya dengan cemas. Belakangan ini Ben sering melamun. Tiap malam, ia selalu terbangun dengan suara teriakan yang mampu membangunkan seisi mansion. Saat ini, ia bersama dengan Sinclair dan seorang healer sedang berdiskusi tentang gangguan yang Ben alami.

"Apa yang saat itu tidak mempan?" Tanya Hera.

Terakhir kali, healer memblokir pikiran Ben tentang mimpi-mimpi itu agar tidak kembali. Namun, sepertinya itu berlaku lagi. Perlindungan yang diberikan tidak cukup kuat untuk menghalangi mimpi itu datang.

"Ada sesuatu yang kuat dalam diri Ben," kata sang healer. "Bahkan perlindungan yang telah aku beri tidak cukup untuk menahan agar mimpi itu tidak kembali."

Hera menghela napas. "Mengapa bisa begitu?"

"Mungkin Harlan benar." Sang healer mengusap janggut putihnya sembari menatap Sinclair. Sudah bukan menjadi rahasia lagi orang-orang yang bekerja dengan Sinclair mengetahui bahwa Harlan dan Leo dapat melihat masa depan, meski tidak secara spesifik, tetapi mereka dapat merasakannya.

"Mimpi itu membawa sebuah pesan."

"Kalau memang begitu, Ben tidak akan mungkin merasa tersiksa tiap mimpi itu datang," bantah Hera.

Sang healer terdiam sejenak sebelum melanjutkan, "Ben merasa tersiksa karena dia masih belum dapat berdamai dengan mimpi itu."

"Bisakah kita mengetahui secara detail tentang mimpinya?"

"Hanya jika Ben mengizinkan."

Ketiganya tidak tahu bahwa Ben mendengar semuanya dari luar ruangan. Ia menghela napas. Bahkan sampai detik ini, mimpi itu masih terlalu abu-abu untuk dapat dimengertinya. Tidak ada yang bisa ia ceritakan selain dirinya yang terdampar di padang ilalang, hingga suara bisikan terdengar di telinganya. Ben juga tidak yakin bahwa hal-hal semacam itu memiliki sebuah arti.

"Hei, Kak." Tubuhnya terlonjak saat sebuah tepukan mampir di bahunya.

"Leo?"

"Mau secangkir teh?"

Leo membawa Ben menuju ke sebuah ruangan kecil berisi rak-rak kayu yang memuat berbagai botol kaca. Di sana juga terdapat Harlan yang sibuk mengaduk sesuatu yang ada di dalam teko.

"Hai, Kak!" Sapanya dengan senyuman manis. Ia menarik Ben untuk mendekat ke arah teko. Seketika Ben dapat mencium aroma jahe, kayu manis, dan cengkeh yang menjadi satu. "Bagaimana?" Tanyanya dengan antusias.

Harlan tergila-gila dengan teh. Ia banyak membaca penelitian mengenai teh, dan terkadang menciptakan cita rasa tehnya sendiri—yang seringkali gagal. Kali ini, ia sengaja mencampurkan jahe, kayu manis, serta cengkeh ke dalam teh hitamnya. Ben tidak bohong jika teh buatan Harlan hari ini terlihat menggiurkan.

"Aromanya sedap," balas Ben. Ia mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan, mengabaikan Harlan yang terkekeh dan mulai menuangkan teh ke dalam tiga cangkir kecil.

Ben tidak asing dengan ruangan meracik teh milik Harlan. Ruangan ini baru dibangun sekitar enam bulan yang lalu untuk memenuhi hasrat Harlan mengenai teh. Tidak banyak benda di dalamnya. Ruangan kecil itu dikelilingi oleh rak berisi botol-botol kaca untuk menyimpan bahan-bahan membuat teh, satu lemari pendingin, meja untuk meracik teh—lengkap dengan peralatan di atasnya—serta sebuah meja bundar kecil dan empat kursi. Tidak sembarang orang dapat menginjakkan kaki di sini, kecuali atas izin Harlan.

ETERNAL BONDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang