CHAPTER 40.
KEHIDUPAN DI FLALLEVEN
—○●○—
LANGIT biru menghiasi pemukiman negeri Flalleven yang kini menjadi tempat tinggal sementara Ben. Udara kali ini tidak sedingin biasanya, bahkan permukaan yang biasanya putih itu perlahan menunjukkan adanya kehidupan. Rumput hijau tumbuh disertai bunga-bunga kecil warna-warni.
Ben keluar dari pondok milik Rua, dan mendapati peri kecil itu sedang memberi air tanaman sayur yang sudah ia tanam sejak seminggu yang lalu. Senyumnya mengembang melihat kedatangan Ben.
"Selamat pagi, Tuan Muda," sapanya. Ben mulai terbiasa dengan panggilan itu. Ia tidak lagi protes atau mengingatkan Rua serta peri lainnya agar memanggilnya hanya dengan nama.
"Selamat pagi, Rua," balas Ben. Ia duduk pada salah satu bangku yang ada di sana sambil memperhatikan Rua yang kembali sibuk dengan tanamannya. Hingga tak lama kemudian, perhatiannya teralihkan pada sosok lain berambut merah panjang sepinggang yang tanpa sengaja melintas di depan pondok.
Tanpa sengaja kedua kaki Ben melangkah mendekatinya, sedangkan Rua hanya memperhatikan.
"Hei," panggil Ben.
Gadis berambut merah itu menoleh, sekilas mengingatkannya akan sosok berambut merah lain yang sudah lama tidak ia jumpai.
"Selamat pagi, Tuan Muda," balasnya.
Ben berani bersumpah bahwa ia mendengar suaranya yang lembut, membuatnya merasakan desiran halus pada dadanya. Gadis itu melangkah menjauh dari Ben setelah menyapanya. Ia berjalan menuju sebuah bukit. Ben baru menyadari bahwa perempuan itu membawa sebuah kendi.
"Apa yang ingin kau lakukan?" Tanya Ben. Ia mengikuti perempuan itu dan berjalan tepat di sampingnya.
Keduanya tiba di atas bukit, di bawah pohon elm yang besar. Kendi yang dibawa perempuan itu berisi air. Ia menuangkan isinya pada gundukan tanah tepat di bawah pohon elm. Di atas gundukan itu tumbuh bunga marigold berwarna kuning yang cantik. Setelahnya ia merapatkan kedua tangan di depan dada dan menunduk. Ben hanya berdiri di belakangnya, memperhatikan. Tanpa ia bertanya pun, ia tahu gundukan tanah itu adalah makam.
"Kenapa Tuan Muda mengikuti saya?" Tanya gadis itu setelah selesai dengan kegiatannya. "Ah, tidak sopan sekali saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Vee." Gadis bernama Vee itu kemudian menunduk pada Ben.
"Tidak usah terlalu formal begitu." Begitu Ben amati, Vee memiliki mata hijau zamrud yang terlihat indah, kontras dengan rambut merahnya. Ia tidak memiliki sayap seperti peri Flalleven—hal itulah yang membuat ia penasaran dengan asal-usul Vee. Ia tidak tampak seperti peri.
"Kami semua di sini sangat menghormati Tuan Muda," balas Vee, membuyarkan lamunan Ben tentangnya.
Ben menghela napasnya. "Mereka berlebihan."
Keduanya terkekeh. Angin pagi itu menerbangkan helaian rambut merah Vee, dan membuatnya tampak lebih indah di mata Ben. Namun, baru saja ia ingin membuka mulut memuji kecantikannya, suara Rua mengeinterupsi.
"Tuan Muda, sarapan sudah siap."
Dengan helaan napas penuh kekecewaan, Ben memandang Vee. Ia lupa jika dirinya belum makan apapun sejak semalam. "Aku harus pergi. Sampai ketemu nanti lagi, Vee."
Ben berjalan lebih dulu, tanpa tahu bahwa Rua baru saja melayangkan tatapan penuh tanya dengan sikap manisnya pada Vee. Lalu, setelah itu, ia beralih memandang Vee dengan tatapan tajamnya. Kedua mata Rua memancarkan kilat kemerahan, walau hanya beberapa detik, seolah memberikan Vee sebuah peringatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ETERNAL BOND
FantasyDamara membenci situasi di mana semesta selalu tidak pernah bersahabat dengannya, termasuk memiliki mate seperti Benjamin Sinclair. Sebab, menjadi mate-nya itu berarti ia harus menentang keluarganya sendiri, Noir pack yang tidak pernah akur dengan H...