07 💧 Tiga bersaudara.

94 5 22
                                    

Rasanya begitu nyaman tidur di punggung lebar Conner dengan cara terbangnya yang mulus. Aku nyenyak hingga merasa seperti tidur beberapa jam padahal hanya dalam hitungan menit. Kalau saja suara dobrakan pintu yang kencang tidak tertangkap oleh pendengaran ku, mungkin aku masih berleha-leha tidur di punggung Conner. Pintu apartemen sungguh malang nasibnya, ditendang Conner hingga terlempar ke dalam dan membentur dinding area ruang tamu. Ana yang duduk-duduk di sofa sambil selonjoran kaki dengan tangan yang memegang pisang setengah dimakan langsung terlonjak dari duduknya.

"Apaan sih datang-datang nendang pintu?" Ana protes. Sebelumnya Conner juga pernah menendang sofa dengan tenaganya hingga membuat dinding jebol. Untung yang sekarang hanya pintu, sehingga bagian yang hancur hanya benda itu saja.

"Aku kesal." Conner menjawab singkat.

Begitu tiba di dalam, aku turun dari punggung Conner dan langsung merebahkan diri di sofa panjang. Dalam keadaan tengkurap, aku menggunakan lengan sebagai bantal. Niatnya ingin lanjut tidur karena benar-benar dalam mood yang tidak baik.

"Kak Resti kenapa? Kakak akhir-akhir beda banget deh, kayak orang ilang semangat." Ana bertanya, suara cukup dekat. Saat aku menoleh, mataku menangkap ia yang sudah berpindah tempat duduk di lantai di samping sofaku berbaring.

"Dia baru saja putus dengan Dick." Hanya perasaanku saja atau Conner memang menyebut nama Dick dengan penekanan seakan mengumpat? Ah, sepertinya perasaanku saja.

"APA? KOK BISA?!" Ana meninggikan suaranya. Tangannya reflek membalik badanku yang sudah lemas lunglai ini. "Kakak serius putus sama Kak Dick?"

Aku mengangguk lemah.

"Kok bisa? Padahal kalian selalu pamer uwu-uwuan di depanku kok tiba-tiba putus aja." Ana menjejali pertanyaan.

"Aku tidak tahu kejadian aslinya bagaimana tapi tadi aku melihat Kak Res bertengkar dengannya dan katanya kalau tidak salah ... Dick selingkuh." Conner menjelaskan singkatnya.

"Oh," respon Ana di luar dugaan.

"Cuma gitu responmu, An?" tanyaku.

"Ini Gotham, Kak."

"Ini metropolis, An."

"Ini DC, Kak."

Kalau saja ini adalah chatting aku akan membalas perkataan Ana dengan sebuah emoji dua telapak tangan menyatu. Seperti ini, /emoji

Ucapannya mengingatkanku pada momentum di masa kehidupanku dahulu, Ana merespon dengan cara yang sama ketika aku bercerita perihal Barbara yang selingkuh dari Dick dan tidur dengan Batman. Atau ketika Dick masih berhubungan dengan Barbara ketika dirinya sudah menjalin asmara dengan mendiang kekasihnya dulu yaitu Kori. DC tidak suka memberikan takdir yang bagus dalam hal percintaan. Membayangkan itu terjadi pada diriku sendiri membuat mataku lagi-lagi memanas.

"Aku bukan karakter DC, An. Harusnya aku gak kebagian kesialan-kesialannya DC dong." Aku cemberut.

"Emang bukan karakter tapi kita udah hidup di dalam dunia DC, skenarionya kalau gak gelap ya angst." Ana menjelaskan dan itu makin menyakitkan buatku.

"Jadi ada apa Kakak sama Kak Dick?" imbuh Ana lagi.

Pada akhirnya aku menceritakan pada Ana dan Conner perihal masalahku dengan Dick. Dimulai dari beberapa waktu lalu ketika aku datang ke apartemen Dick dan mendapati mereka berdua sedang berduaan di dalam kamar.

"Mau ke mana?" Aku bertanya karena tiba-tiba Conner berdiri dari duduknya dan hendak pergi.

"Akan aku pukuli dia lagi." Conner menjawab. Aku segera bangkit dari rebahanku dan duduk di sofa, tanganku terulur menyentuh lengan Conner yang belum melangkah.

"Apanya yang mau kamu pukuli, dari tadi yang kena pukul kamu doang tuh." Rupanya ucapanku membuat Conner makin kesal. Kulihat, rahangnya mengeras bersamaan urat lehernya yang menonjol.

"Oh, muka bonyoknya big bro karena dipukuli Kak Dick?" Ana bertanya dan aku mengangguk mengiyakan. "Wah, muka bonyok banyak begitu. Jangan pergi!"

"Betul tuh kata Ana." Aku menimpali.

Conner berdecak sebal lalu kembali duduk di single sofa dekat kami.

"Kalau begitu, BIAR AKU AJA YANG MEMBALASKAN DENDAM KALIAN!" Malah Ana yang menggebu-gebu. Di mataku rasanya muncul asap-asap dari kedua lubang hidung Ana.

"Kamu juga jangan, An," ucapku pada akhirnya. Mereka berdua pun tidak ke mana-mana dan tetap stay di tempat.  Berlanjut pada masalah Superman yang sebenarnya hanya peralihan dari kemumetan kepalaku pada saat itu.

"Aku sempat menduga Kak Res kerasukan arwah si botak Luthor waktu itu." Komentar dari Conner sungguh tidak diduga-duga.

"Ayah kita masih hidup, Con," sanggahku dan orang yang dimaksud hanya mengedikkan bahu.

Aku melanjutkan ceritaku, Dick yang katanya mau berbaikan dan aku yang sudah berlapang dada untuk menerima segalanya. Kupikir akan mendapatkan permintaan maaf atau hal apapun di Bludhaven sebab ia dulu yang mengajak bertemu, tetapi aku malah memergoki Dick kembali bersama dengan Barbara di sana. Sampai pada akhir kisah Conner dan Dick berkelahi, hingga aku yang diboyong pulang ke rumah. Aku ceritakan sampai habis.

Aku tidak begitu memperhatikan kedua adikku, entah sejak kapan mereka berdua sudah berada di sisi kanan dan kiriku. Lengan mereka merangkulku cukup erat.

"Tidak apa-apa. Nanti akan aku hajar dia. Kak Resti fokus move on saja, lagipula aku yakin pasti ada orang yang lebih baik dari Dick suatu saat nanti." Tumben si Conner ini berbicara bijak? Dan oh, apa-apaan lagi yang kudengar barusan itu? Dia sedang mengumpat atau sedang menyebut nama?

"Betul, Kak. Aku bantuin biar cepat move on, deh. Ayo bikin 1001 list melupakan asmara dengan Dick Grayson." Ana mencoba menyemangati.

"Padahal biasanya aku bikin 1001 list alasan mencintai Dick Grayson."

Oh, suasananya kembali menjadi suram berkat ucapanku.

.

906 Kata ~

.

A/N : Conner gak boleh gitu!

You Cheated On Me, Dick! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang